Jumat, 10 Juni 2022

Sejarah Persatuan Wartawan Indonesia

 Persatuan Wartawan Indonesia

Persatuan Wartawan Indonesia selanjutnya dikenal dengan nama PWI adalah organisasi profesi wartawan pertama di Indonesia.[1] PWI berdiri pada 9 Februari 1946 di Surakarta bertepatan dengam Hari Pers Nasional.[1] PWI beranggotakan wartawan yang tersebar di seluruh Indonesia.[1] Saat ini PWI dipimpin oleh Atal Sembiring Depari selaku ketua umum yang menjabat sejak 2018 hingga 2023.[2]

Sejarah

Berdirinya organisasi PWI menjadi awal perjuangan Indonesia dalam menentang kolonialisme di Indonesia melalui media dan tulisan.[1] Setelah berdirinya PWI, organisasi serupa juga didirikan.[1] Organisasi tersebut adalah Serikat Penerbit Suratkabar atau SPS pada 8 Juni 1946.[1] Serikat Penerbit Suratkabar mengganti namanya menjadi Serikat Perusahaan Pers pada 2011, bertepatan dengan hari jadi SPS yang ke-65.[1][3][4] Kepentingan untuk mendirikan SPS pada waktu itu bertolak dari pemikiran bahwa barisan penerbit pers nasional perlu segera ditata dan dikelola, dalam segi idiil dan komersialnya, mengingat saat itu pers penjajah dan pers asing masih hidup dan tetap berusaha mempertahankan pengaruhnya.[5] Karena jarak waktu pendiriannya yang berdekatan dan memiliki latar belakang sejarah yang serupa, PWI dan SPS diibaratkan sebagai "kembar siam" dalam dunia jurnalistik.[5]

Panitia usaha

Sebelum didirikan, PWI membentuk sebuah panitia persiapan pada awal awal tahun 1946.[5] Panitia persiapan tersebut dibentuk pada tanggal 9-10 Februari 1946 di balai pertemuan Sono Suko, Surakarta, saat diadakannya pertemuan antar wartawan Indonesia.[5] Pertemuan itu dihadiri oleh beragam wartawan, diantaranya adalah tokoh-tokoh pers yang sedang memimpin surat kabarmajalahwartawan dan pejuang.[5] Pertemuan tersebut menghasilkan dua keputusan, diantaranya adalah:[5]

  • Disetujui membentuk organisasi wartawan Indonesia dengan nama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), yang diketuai oleh Mr. Sumanang Surjowinoto dengan sekretaris Sudarjo Tjokrosisworo.[5]
  • Disetujui membentuk sebuah komisi beranggotakan:
  1. Sjamsuddin Sutan Makmur (Harian Rakyat Jakarta),
  2. B.M. Diah (Harian Merdeka, Jakarta).
  3. Abdul Rachmat Nasution (kantor berita Antara, Jakarta).
  4. Ronggodanukusumo (Suara RakyatMojokerto).
  5. Mohammad Kurdie (Suara MerdekaTasikmalaya).
  6. Bambang Suprapto (Penghela RakyatMagelang).
  7. Sudjono (Surat Kabar BerjuangMalang)
  8. Suprijo Djojosupadmo (Surat Kabar Kedaulatan Rakyat,Yogyakarta).[5]


Ke-8 orang tersebut dibantu oleh Mr. Sumanang  dan Sudarjo Tjokrosisworo. Tugas mereka adalah merumuskan hal-ihwal persuratkabaran nasional waktu itu dan usaha mengkoordinasinya ke dalam satu barisan pers nasional di mana ratusan jumlah penerbitan harian dan majalah semuanya terbit dengan hanya satu tujuan, yaitu “Menghancurkan sisa-sisa kekuasaan Belanda, mengobarkan nyala revolusi, dengan mengobori semangat perlawanan seluruh rakyat terhadap bahaya penjajahan, menempa persatuan nasional, untuk keabadian kemerdekaan bangsa dan penegakan kedaulatan rakyat.”

Komisi 10 orang tersebut dinamakan juga “Panitia Usaha” yang dibentuk oleh Kongres PWI di Surakarta tanggal 9-10 Februari 1946. Kurang tiga minggu kemudian komisi bertemu lagi di kota itu bertepatan para anggota bertugas menghadiri sidang Komite Nasional Indonesia Pusat yang berlangsung dari 28 Februari hingga Maret 1946. Komisi bersidang dan membahas masalah pers yang dihadapi, kemudian pada prinsipnya sepakat perlunya segera membentuk sebuah wadah untuk mengkoordinasikan persatuan pengusaha surat kabar, waktu itu disebut Serikat Perusahaan Suratkabar.

26 tahun kemudian menyusul lahir Serikat Grafika Pers (SGP), antara lain karena  pengalaman pers nasional menghadapi kesulitan di bidang percetakan pada pertengahan tahun 1960-an. Kesulitan tersebut meningkat sekitar tahun 1965 sampai 1968 berhubung makin merosotnya peralatan cetak di dalam negeri, sementara di luar Indonesia sudah digunakan teknologi grafika mutakhir, yaitu sistem cetak offset menggantikan  sistem cetak letter-press atau proses ‘timah panas’. Mesin-mesin dan peralatan cetak letter-press yang sudah tua, matrys dengan huruf-huruf yang campur-aduk, teknik klise yang tidak lagi mampu menghasilkan gambar-gambar yang baik, semuanya menambah suramnya kehidupan pers nasional. Oleh karena itu, tergeraklah keinginan untuk meminta pemerintah ikut mengatasi kesulitan tersebut. Pada bulan Januari 1968 sebuah nota permohonan, yang mendapat dukungan SPS dan PWI, dilayangkan kepada Presiden Soeharto waktu itu, agar pemerintah turut membantu memperbaiki keadaan pers nasional, terutama dalam mengatasi pengadaan peralatan cetak dan bahan baku pers.

Undang-undang penanaman modal dalam negeri yang menyediakan fasilitas keringanan pajak dan bea masuk serta dimasukkannya grafika pers dalam skala prioritas telah memacu berdirinya usaha-usaha percetakan baru. Menyusul berbagai kegiatan persiapan, akhirnya berlangsung Seminar Grafika Pers Nasional ke-1 pada bulan Maret 1974 di Jakarta. Keinginan untuk membentuk wadah grafika pers SGP terwujud pada 13 April 1974. Pengurus pertamanya terdiri ketua H.G. Rorimpandey, bendahara M.S.L. Tobing, dan anggota-anggota Soekarno Hadi Wibowo dan P.K. Ojong. Kelahiran SGP  dikukuhkan dalam kongres pertamanya di Jakarta, 4-6 Juli 1974.

Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) ditetapkan sebagai anggota organisasi pers nasional berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pers. Bidang periklanan sebelumnya diwadahi oleh Persatuan Biro Reklame Indonesia (PBRI) yang berdiri sejak September 1949 dan didominasi perusahaan-perusahaan milik Belanda. Pada tahun 1953 di Jakarta dibentuk organisasi saingan bernama Serikat Biro Reklame Nasional (SBRN).  Setahun kemudian keduanya bergabung dengan nama PBRI. Tahun 1956 Muhammad Napis menggantikan F. Berkhout sebagai ketua. Bulan Desember 1972 rapat anggota PBRI memilih A.M. Chandra sebagai ketua baru menggantikan Napis dan bersamaan dengan itu nama organisasi diubah menjadi Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia. Berdasarkan UU pers tahun 1982, organisasi periklanan dinyatakan sebagai komponen keluarga pers nasional. Juga ditetapkan bahwa bidang usaha (aspek komersial) periklanan berada di bawah pembinaan Departemen Perdagangan & Koperasi sedangkan bidang operasionalnya (aspek idiilnya) ditempatkan dalam pembinaan Departemen Penerangan.

Sejauh ini, sebagaimana para jurnalis Indonesia di masa penggalangan kesadaran bangsa, para wartawan dari generasi 1945 yang masih aktif tetap menjalankan profesinya dengan semangat mengutamakan perjuangan bangsa, kendati rupa-rupa kendala menghadang kiprahnya. Mengingat sejarah pers nasional sebagai pers perjuangan dan pers pembangunan, maka tepatlah keputusan Presiden Soeharto tanggal 23 Januari 1985 untuk menetapkan tanggal 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional



Sumber: 

https://id.wikipedia.org/wiki/Persatuan_Wartawan_Indonesia

https://www.pwi.or.id/detail/622/Sejarah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selamat Datang di Website Imas Siti Nurjanah " Pendidikan, Kepramukaan, Materi SMP/MTS, Perangkat Pembelajaran" Kunjungi Youtube kami di Https://bit.ly/YT-ImasSN