A. Pengertian Konflik
Apa yang dimaksud dengan konflik?
Konflik bisa berarti macam-macam. Menurut Webster, konflik adalah fight,
battle atau struggle. Konflik bisa juga berarti
ketidaksepakatan. Selain itu konflik juga bermakna perbedaan kepentingan atau
ketidaksesuaian antara pihak yang terlibat.
B. Pengertian Konflik Organisasi
Berkaitan dengan
hal tersebut, Handoko (1995:346) mengemukakan bahwa:
“Konflik organisasi adalah ketidaksesuaian antara dua atau lebih
anggota-anggota atau kelompok-kelompok organisasi yang timbul karena adanya
kenyataan bahwa mereka harus membagi sumber daya- sumber daya yang terbatas
atau kegiatan-kegiatan dan /atau karena kenyataannbahwa mereka mempunyai
perbedaan status, tujuan, nilai atau persepsi”.
C. Situasi konflik dalam
organisasi
Organisasi
mengakui bahwa adanya kebutuhan untuk mengkoordinasikan pola interaksi para
angora organisasi secara formal. Struktur organisasi menetapkan bagaimana tugas
akan dibagi, siapa melapor kepada siapa, dan mekanisme koordinasi yang formal
serta pola interaksi yang akan diikuti.
Robin (1990:6) mengemukakan
bahwa sebuah struktur organisasi mempunyai tiga komponen: (1) kompleksitas, (2)
formalisasi, (3) sentralisasi.
Kompleksitas, mempertimbangkan
tingkat diferensiasi yang ada dalam organisasi. Termasuk di dalamnya tingkat
spesialisasi atau tingkat pembagian kerja. Hierarki organisasi serta sejauhmana
unit-unit organisasi tersebar.
Formalisasi, melihat sejauhmana
sebuah organisasi menyandarkan dirinya kepada peraturan dan prosedur untuk
mengukur prilaku dari para anggota organisasi. Umumnya organisasi beroperasi
dengan pedoman yang telah telah distandarisasi secara minimum.
Sentralisasi, mempertimbangkan dimana
letak pengambilan keputusan. Umumnya organisasi, mengambil keputusan sangat
sentralisasi. Masalah-masalah dialirkan ke top manajemen dan dipilih tindakan
yang tepat atau kekuasaan tersebar ke bawah di dalam hierarki tetapi keputusan
tetap pada top manajemen.
Jika
memperhatikan komponen struktur organisasi tersebut, tampak salah satu tugas
penting dalam organisasi adalah mengharmonisasikan suatu kelompok orang-orang
berbeda. Mempertemukan macam-macam
kepentingan dan memanfaatkan kemampuan-kemampuan kesemuanya ke suatu arah
tujuan.
D. Faktor- Faktor
Penyebab Timbulnya Konflik
Konflik dalam organisasi timbul
sebagai hasil adanya masalah-masalah komunikasi, hubungan pribadi, atau
struktur organisasi. Handoko (1995:345) menyatakan bahwa penyebab-penyebab
konflik yaitu:
(1) Komunikasi:
salah pengertian berkenaan dengan kalimat, bahasa yang sulit dimengerti, atau
informasi yang mendua dan tidak lengkap, serta gaya individu manajer yang tidak
konsisten;
(2) Struktur,: pertarungan kekuasaan antar
departemen dengan kepentingan-kepentingan atau system penilaian yang
bertentangan, persaingan untuk memperebutkan sumber daya-sumber daya yang
terbatas, atau saling ketergantungan dua atau lebih kelompok-kelompok kegiatan
kerja untuk mencapai tujuan mereka;
(3) Pribadi: ketidak
sesuaian tujuan atau nilai-nilai social pribadi karyawan dengan perilaku yangdiperankan
pada jabatan mereka, dan perbedaan dalam nilai-nilai atau persepsi.
E.
Bentuk Konflik Dalam Organisasi
Richard
(1969:2) mengemukakan, terdapat dua macam konflik dalam organisasi yangtidak
dapat di hindari, yaitu :
1. Substantive conflict,
yaitu konflik secara substantive yang meliputi ketidaksesuaian paham tentang
hal-hal seperti tujuan, kebijakan dan prosedur-prosedur serta penugasan
pegawai;
2. Emotional conflict,
yaitu timbul karena perasaan-perasaan marah, idakperketcayaan, takut dan sikap
menentang, maupun bentrokan-bentrokan kepribadian.
Kedua konflik tersebut dapat memiliki sisi
konstruktif dan destruktif.
(1) Konflik
destruktif
Konflik destrukitif
menimbulkan kerugian bagi individu atau organisasi yang terlibat didalamnya,
misalnya apabila dua orang karyawan tidak dapat bekerjasama karena tejadi sikap permusuhan antara
perorangan atau
Menurut Winardi (1994:6) macam-macam
kerugian yang ditimbulkan karena konflik destruktif, yaitu:
(a)
Perasaan cemas/tegang
(stress) yang mencekam
(b)
Komunikasi yang menyusut
(c)
Persaingan yang semakin
menghebat
(d)
Perhatian yang
makinmenyusutterhadap tujuan bersama
(2) Konflik
konstruktif
Konflik
konstruktif menyebabkan banyak keuntungan bagi
individu atau organisasi yang terlibat di dalamnya.
Adapun
keuntungan yang dapat dicapai menurut Winari (1994:6) adalah:
(a)
Kreativitas dan inovasi
yang meningkat. Akibat adanya konflik
orang-orang berupaya berprilaku
dengan cara-cara baru yang lebih baik
(b)
Upaya yang meningkat
(intensitasnya) konflik dapat menyebabkan orang-orang yang terlibat dengannya
bekerja lebih keras
(c)
Ikatan (kohesi) yang
makin kuat. Konflik yang terjadi dengan pihak luar menyebabkan diperkuatnya
identitas kelompok dan diperkuatnya komitmen untuk mencapai tujuan bersama
(d)
Ketegangan yang menyusut.
Konflik dapat membantu menyusutnya ketegangan-ketegangan antar pribadi.
F. Mengelola Konflik dalam Organisasi dan
Penyelesaiannya
Dalam
proses interaksi antara suatu sub sistem dengan sub sistem lainnya tidak ada
jaminan akan selalu terjadi kesesuaian atau kecocokan antara individu
pelaksananya. Setiap saat ketegangan dapat saja muncul, baik antar individu
maupun antar kelompok dalam organisasi. Banyak faktor yang melatarbelakangi
munculnya ketidakcocokan atau ketegangan, antara lain: sifat-sifat pribadi yang
berbeda, perbedaan kepentingan, komunikasi yang “buruk”, perbedaan nilai, dan
sebagainya. Perbedaan-perbedaan inilah yang akhirnya membawa organisasi ke
dalam suasana konflik. Agar organisasi dapat tampil efektif, maka individu dan
kelompok yang saling tergantung itu harus menciptakan hubungan kerja yang
saling mendukung satu sama lain, menuju pencapaian tujuan organisasi.
Namun,
sebagaimana dikatakan oleh Gibson, et.al. (1997:437), selain dapat
menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan
konflik. Hal ini terjadi jika masing-masing komponen organisasi memiliki
kepentingan atau tujuan sendiri-sendiri dan tidak saling bekerjasama satu sama
lain. Konflik dapat menjadi masalah yang serius dalam setiap organisasi, tanpa
peduli apapun bentuk dan tingkat kompleksitas organisasi tersebut. Konflik
dapat menurunkan kinerja organisasi yang bersangkutan, jika konflik tersebut
dibiarkan berlarut-larut tanpa penyelesaian. Karena itu keahlian untuk
mengelola konflik sangat diperlukan bagi setiap pimpinan atau manajer
organisasi.
Jika
dikelola, konflik sebenarnya memiliki nilai positif bagi interaksi manusia.
Masalahnya pengetahuan dan ketrampilan yang memadai untuk mengelola konflik
sering tidak dimiliki oleh mereka yang terlibat konflik ataupun yang menangani
konflik. Akibatnya konflik tidak hanya tidak berhasil dikelola, dalam banyak
kasus bahkan memperparah konflik yang terjadi.
Konflik
di sini tidak selamanya harus dimaknai permusuhan atau pertikaian, karena dalam
kajian sosiologis, konflik itu juga bisa bermakna kompetisi, tegangan (tension)
atau sekadar ketidaksepahaman. Itu pula sebabnya, kehadiran konflik itu tidak
selamanya harus dimaknai sebagai sebuah kekuatan yang menghancurkan – a
necessarily destructif force, karena dalam banyak hal konflik itu juga
bernilai positif, bahkan konstruktif, dan karenanya fungsional.
Persisnya,
dengan konflik dinamika lahir, dengan konflik kreativitas muncul. Bahkan
menurut pakar sosiologi, konflik asal Jerman, George Mills, konflik adalah
penggerak sejarah sekaligus sumber perubahan, dan karenanya, konflik akan besar
sumbangannya dalam mencegah kebekuan sosial.
Untuk meminimalkan terjadinya konflik maka
perlu adanya manajemen konflik, yaitu mengelola konflik yang akan terjadi.
Mengelola konflik di sini tidak berarti kita harus menghindari konflik, apalagi
menguburnya, karena bagaimanapun konflik memang harus ada. Menekan konflik
sering menimbulkan lahirnya sebuah kebijakan yang prematur. Menekan konflik
juga cenderung mengundang hadirnya kesalahpahaman yang tidak mewakili
kepentingan siapa pun. Bahkan menurut penulis buku “Social Conflict”
itu, tanpa konflik, keadilan sulit bisa diwujudkan. Karenanya, mengubur konflik
akan sama artinya dengan menyimpan bom sosial yang siap meledak kapan saja
ketika ada kesempatan yang memicunya.
Namun
sebaliknya, mengelola konflik itu juga tidak berarti harus membiarkan apalagi
menumbuhsuburkan konflik. Mengelola konflik di sini berarti cerdas memilih dan
menentukan strategi pengelolaannya. Dalam bukunya yang berjudul “Social
Conflict” (1986), Rubin dan Pruitt mengajukan beberapa strategi dasar yang
bisa digunakan dalam pengelolaan konflik sosial yang sifatnya sangat alami itu.
Pertama,
adalah strategi yang disebut dengan contending atau bertanding.
Intinya, masing-masing pihak yang akan berebut kepentingan bisa melakukan
segala upaya untuk menjadi pemenang tanpa harus memperhatikan kepentingan pihak
lain yang menjadi lawan politiknya, bahkan berusaha agar pihak lain menyerah
atau mengalah. Bentuknya pun sangat beragam. Bisa dengan membuat janji,
ancaman, atau bahkan hukuman. Bahkan bisa pula dilakukan dengan ditunjukkan
hanya dengan cara membuat argumentasi persuasif kalau bukan dengan cara
sebaliknya, ngotot dengan pendirian sepihaknya. Tentu dengan segala dampak
sosial yang bakal ditimbulkannya.
Berbeda
dengan yang pertama, maka strategi kedua dilakukan dengan cara mencari
alternatif cara yang seoptimal mungkin bisa memuaskan masing-masing pihak yang
akan berebut kepentingan. Itu sebabnya, strategi ini disebut dengan cara problem
solving (pemecahan masalah). Intinya, strategi dasar ini menyarankan
agar masing-masing pihak yang terlibat konflik berusaha mempertahankan aspirasinya,
tetapi sekaligus menghormati akan kepentingan lawan politiknya. Upaya kompromi,
rekonsiliasi, adalah dua bentuk cara yang biasa digunakan dalam strategi kedua
ini.
Memang
tidak mudah untuk mencari cara pemecahan yang bisa memuaskan sepenuhnya semua pihak
yang saling berebut kepentingan, lebih-lebih dalam perebutan kekuasaan. Itu
sebabnya, ada beberapa strategi dasar lain yang lazim muncul dalam proses
mengatasi konflik. Yielding (sikap mengalah), withdrawing (menarik
diri), dan inaction (aksi diam), adalah tiga alternatif
strategi lain yang mesti dijadikan acuan dalam menyelesaikan konflik. Dalam
konteks itu, satu atau beberapa pihak yang terlibat dalam perebutan kepentingan
bersedia menurunkan aspirasinya, bahkan jika perlu mundur menarik diri, atau sekadar
tidak berbuat apa pun semata demi menghindari konflik yang membahayakan karena
sudah cenderung destruktif.
Menurut
Kreitner dan Kinicki (1995) dalam mengelola konflik ada 5 gaya antara lain:
a. Integrating (Problem
Solving). Dalam gaya ini pihak-pihak yang berkepentingan secara bersama-sama
mengidentifikasikan masalah yang dihadapi, kemudian mencari, mempertimbangkan
dan memilih solusi alternatif pemecahan masalah. Gaya ini cocok untuk
memecahkan isu-isu kompleks yang disebabkan oleh salah paham (misunderstanding),
tetapi tidak sesuai untuk memecahkan masalah yang terjadi karena sistem nilai
yang berbeda. Kelemahan utamanya adalah memerlukan waktu yang lama dalam
penyelesaian masalah.
b. Obliging (Smoothing).
seseorang yang bergaya obliging lebih memusatkan perhatian pada upaya untuk
memuaskan pihak lain daripada diri sendiri. Gaya ini sering pula disebut smothing (melicinkan),
karena berupaya mengurangi perbedaan-perbedaan dan menekankan pada persamaan
atau kebersamaan di antara pihak-pihak yang terlibat. Kekuatan strategi ini
terletak pada upaya untuk mendorong terjadinya kerjasama. Kelemahannya,
penyelesaian bersifat sementara dan tidak menyentuh masalah pokok yang ingin
dipecahkan.
c.
Dominating (Forcing). Orientasi pada diri sendiri yang tinggi, dan
rendahnya kepedulian terhadap kepentingan orang lain, mendorong seseorang untuk
menggunakan taktik “saya menang, kamu kalah”. Gaya ini sering disebut
memaksa (forcing) karena menggunakan legalitas formal dalam menyelesaikan
masalah. Gaya ini cocok digunakan jika cara-cara yang tidak populer hendak
diterapkan dalam penyelesaian masalah, masalah yang dipecahkan tidak terlalu
penting, dan waktu untuk mengambil keputusan sudah mepet. Tetapi tidak cocok
untuk menangani masalah yang menghendaki partisipasi dari mereka yang terlibat.
Kekuatan utama gaya ini terletak pada minimalnya waktu yang diperlukan.
Kelemahannya, sering menimbulkan kejengkelan atau rasa berat hati untuk
menerima keputusan oleh mereka yang terlibat.
d.
Avoiding. Taktik menghindar (avoiding) cocok digunakan untuk menyelesaikan
masalah yang sepele atau remeh, atau jika biaya yang harus dikeluarkan untuk
konfrontasi jauh lebih besar daripada keuntungan yang akan diperoleh. Gaya ini
tidak cocok untuk menyelesaikan masalah-malasah yang sulit atau “buruk”.
Kekuatan dari strategi penghindaran adalah jika kita menghadapi situasi yang
membingungkan atau mendua (ambiguous situations), sedangkan kelemahannya,
penyelesaian masalah hanya bersifat sementara dan tidak menyelesaikan pokok
masalah.
e.
Compromising. Gaya ini menempatkan seseorang pada posisi moderat, yang
secara seimbang memadukan antara kepentingan sendiri dan kepentingan orang
lain. Ini merupakan pendekatan saling memberi dan menerima (give-and-take
approach) dari pihak-pihak yang terlibat. Kompromi cocok digunakan untuk
menangani masalah yang melibatkan pihak-pihak yang memiliki tujuan berbeda
tetapi memiliki kekuatan yang sama. Misalnya, dalam negosiasi kontrak antara
buruh dan majikan. Kekuatan utama dari kompromi adalah pada prosesnya yang
demokratis dan tidak ada pihak yang merasa dikalahkan. Tetapi penyelesaian
konflik kadang bersifat sementara dan mencegah munculnya kreativitas dalam
penyelesaian masalah.
G. Konflik di Lingkungan Organisasi
Sekolah
Konflik dapat diartikan sebagai suatu keadaan
dimana seseorang dihadapkan dengan motif, keyakinan, nilai dan tujuan yang
saling bertentangan. Konflik bisa dialami oleh siapapun dan di manapun,
termasuk oleh komunitas di sekolah. Siswa, guru, atau pun kepala sekolah dalam
waktu-waktu tertentu sangat mungkin dihadapkan dengan konflik.
Konflik yang dialami individu di sekolah dapat
hadir dalam berbagai bentuk, bisa dalam bentuk individu dengan individu,
individu dengan kelompok atau kelompok dengan kelompok. Misalnya, seorang guru
berhadapan seorang guru, seorang
guru berhadapan dengan sekelompok guru, sekelompok guru tertentu berhadapan
dengan sekelompok guru lainnya., dan sejenisnya. Konflik yang terjadi diantara
mereka bisa bersifat tertutup, terbuka atau bahkan menjadi konfrontasi.
Apabila konflik yang terjadi di
sekolah tidak terkelola dan bersifat destruktif, maka selain dapat mengganggu
kesehatan dan kualitas kehidupan seseorang, juga dapat mengganggu terhadap
pencapaian efektivitas dan efisiensi pendidikan di sekolah secara keseluruhan.
Terkait dengan upaya mengelola konflik
di sekolah, Daniel Robin (2004) dalam sebuah artikelnya menawarkan tujuh sikap
yang diperlukan untuk mencairkan konflik.
1.
Define what the conflict is about
Definisikan secara jelas
konflik apa yang sedang berkembang. Tanyakan pada setiap orang “Ada issue
apa?”, lalu tanyakan pula “Apa kepedulian Anda di sini? atau “Apa yang kamu rasakan dan
manfaat dari pertengkaran ini”. Secara berkala tanyakan pula “Apa yang
ingin Anda capai dan bagamana kita harus mengerjakannya?”
2.
It’s not you versus me; it’s you and me versus the problem
Memiliki keyakinan bahwa
“Ini bukanlah pertentangan antara anda dengan saya, tetapi ini adalah saya
bersama anda melawan masalah itu”. Masalah yang sebenarnya adalah masalah
itu sendiri, yang harsus diselesaikan, bukan terletak pada orangnya. Adalah hal
yang amat bodoh, jika Anda mencoba mengalahkan salah satu dari antara pihak
yang berkonflik, karena suatu saat setelah mereka dikalahkan, meraka akan
kembali melakukan pertempuran ulang (rematch) yang terus-menerus, yang mungkin dengan daya tembak yang lebih kuat. Jangan paksa orang untuk bertekuk
lutut!
3.
Identify your shared concerns against your one shared separation.
Lakukan
identifikasi orang-orang yang memiliki kepedulian yang sama dengan Anda dan
orang–orang yang justru berseberangan dengan Anda. Jika dihadapkan pada suatu
konflik, buatlah semacam kesepakatan dengan kelompok yang memiliki hubungan
paling kuat (dimana Anda menyetujuinya), tidak dengan kelompok yang paling
lemah. Ini akan lebih mudah dan
juga lebih efektif, apabila Anda hendak mengalihkan hal-hal yang disetujui
maupun tidak disetujui. Pahami sudut pandang mereka dan berikan penghargaan atas
perbedaaan yang ada.
4.
Sort out interpretations from facts.
Memilah interpretasi
berdasarkan fakta. Jangan meminta suatu pendapat dari orang yang sedang berkonflik, karena hanya akan
memperoleh pendapat dan penafsiran versi mereka. Tetapi sebaiknya ungkapkan “Apa
yang telah kamu lakukan atau katakan?” pertanyaan semacam ini akan lebih
menggiring pada fakta, yang selanjutnya dapat dijadikan dasar bagi pemecahan
konflik
5.
Develop a sense of forgiveness.
Kembangkan rasa untuk
memaafkan. Tidak mungkin terjadi rekonsiliasi tanpa belajar memaafkan kesalahan
orang lain. Banyak orang melakukan perdamaian tetapi tidak bisa mengubur
kejadian yang sudah-sudah sehingga pada hari kemudian memunculkan lagi
pertengkaran. Oleh karena itu, setiap orang penting untuk dibelajarkan mau memaafkan
orang lain secara tulus. Yang lalu biar berlalu, hari ini kenyataan dan esok
hari adalah harapan!
6.
Learn to listen actively
Belajar mendengar secara
aktif. Putarlah paradigma dari ungkapan “ Ketika
saya bicara, orang lain mendengarkan” menjadi “Ketika saya
mendengarkan, orang lain berbicara kepada saya”. Mendengarkan dengan
tujuan untuk memahami, bukan
untuk menjawab Mulailah dengan
berusaha memahami, kemudian menjadi dipahami. Setidaknya dengan cara ini, akan
membantu melepaskan ego atau uneg-uneg yang
bersangkutan (katarsis)
7.
Purify your heart.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar