JENIS DAN PENDEKATAN PERENCANAAN
A. Jenis Perencanaan
Perencanaan
dapat dilihat darti empat macam segi. Pertama, segi besarannya, yakni
ruang lingkup yang jadi sasaran kebijakan perencanaan, kedua, subjek pembuat perencanaan, ketiga, rancangan
sistemnya, dan keempat, dilihat dari sisi jangka wkatu kegiatan pelaksanaan
perencanaan.
- Dilihat dari Besarannya (Magnitude)
Dilihat dari ruang lingkup daerah yang akan
jadi sasaran perencanaan, kegiatan ini terbagi kepada tiga besaran, yakni makro, messo, dan mikro. Dalam
lingkaran makro, daerah jelajah perencanaan meliput besaran tertinggi dari
kegiatan tersebut. Sedangkan messo di daerah pertengahan dan mikro di daerah
lapisan bawah. Dengan demikian katagori makro, messo, dan mikro, tergantung
posisi si perencanaan tersebut dalam kesatuan organisasi. Bila daerah
tertingginya dunia, maka perencanaan pendidikan yang bersifat global merupakan
perencanaan makro. Namun bila sasaran perencanaan tersebut daerah terbesarnya
adalah negara, maka perencanaan
makro tersebut dalam ruang lingkup negara. Untuk kasus
Dalam dataran makro dengan contoh kasus
tingkat nasional, maka perencanaan akan mengelaborasi hal-hal terkait sebagai
berikut.
a. Formulasi tujuan pendidikan nasional;
b. Jenis pendekatan untuk mencapai tujuan;
c. Jenis lembaga pendidikan yang diperlukan
sesuai tujuan;
d. Pengaturan organisasi pendidikan yang
konkordan dengan dan bagi tercapainya tujuan nasional;
e. Jenis dan bentuk program yang diagendakan
bagi tercapainya tujuan pendidikan nasional;
f.
Jenis,
jumlah dan mutu sumber daya (alam dasn manusia) yang diperlukan;
g. Kriteria dan indikator keberhasilan usaha
pendidikan yang dicanangkan.
Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi
supaya perencanaan makro ini dapat berjalan dengan baik, adalah pertama,
kejelasan rumusan dan penjabaran rincian tujuan, kedua, peran dan tanggung
jawab utama ada pada penyelenggara pemerintahan, ketiga, mobilisasi
sumber-sumber pembiayaan secara optimal, khususnya dalam rangka memenuhi
ketentuan UUD dan PP tentang pendidikan nasional, keempat, system prioritas
sesuai dengan kemampuan pembiayaan terkait dengan jenis, tingkat, dan bentuk
pendidikan; kelima, evaluasi proses
dan program harus berkesinambungan; keenam, setiap SDM terkait harus
professional, karena itu perlu peningkatan profesionalitas, baik melalui
pendidikan lanjutan gelar atau non gelar.
Perencanaan
Messo, merupakan bentuk
dan jenis perencanaan satu tingkat di bawah makro. Bentuknya berupa penjabaran
makro ke dalam rincian-rincian program dalam dimensi yang lebih kecil, Bersifat opersional sesuai dengan keadaan daerah,
departemen atau unit-unit antara
(intermediate units) yang lain. Penyusunannya harus dalam ruang lingkup yang telah digariskan dalam
perencanaan makro. Sedangkan rambu-rambu penyusunannya sama dengan
pertanyaan-pertanyaan yang ada pada perencanaan makro.
Perencanaan
Mikro, adalah perencanaan
pada tingkat lembaga yang jadi sasaran terakhir perencanaan. Perencanaan ini
merupakan rincian atau penjabaran lebih lanjut dari perencanaan messo. Pada
jenis perencanaan ini dikembangkan kekhususan, hal-hal yang sifatnya
lokal, serta karakter-karakter budaya
setempat. Namun demikian tetap dalam koridor rambu-rambu yang terdapat pada
perencanaan makro dan messo. Contohnya perencanaan pembangunan pada tingkat dinas-dinas dalam
suatu kabupaten, atau perencanaan strategi pendidikan pada suatu sekolah atau
perencanaan pengajaran pada suatu kelas.
- Dilihat dari Teba Telaahnya
Manakala kegiatan perencanaan dilihat dari
sisi subjek pembuatnya, maka perencaanaan
dapat dikatagori sasikan kepada perencanaan strategik, manajerial, dan operasional.
Perencanaan
strategik adalah
perencanaan yang bersifat program umum
kegiatan untuk mencapai tujuan yang komprehensif. Hal ini merupakan
tugas dan kewajiban manajemen puncak. Keputusan yang dibuat lebih didasarkan
kepada pertimbangan-pertimbangan strategik, bukan atas dasar angka-angka
statistik. Karena itulah jenis perencanaan ini biasa disebut perencanaan
normative. Pada perencanaan strategik, liputan pekerjaannya mencakup penetapan
tujuan, pengalokasian sumber-sumber (SDAlam, SDManusia, dan SDDana) yang jadi
instrument pencapaian tujuan, serta kebijakan untuk mendapatkan atau
menghilangkan yang direncanakan. Pada umumnya dalam perencanaan strategik
masalah-masalah tidak atau kurang terstruktur, serta jumlah dan parameter variable,
tidak pasti.
Turun setahap dari manajemen puncak
terdapat perencanaan manajemen yang bersifat kebijakan pelaksanaan. Inilah yang
disebut perencanaan manajerial. Cakupannya
semua aspek kegiatan system yang telah digariskan dalam perencanaan strategik. Tujuannya
adalah mengarahkan jalannya pelaksanaan,
sehingga proses pencapaian berjalan secara efisien dan efektif. Karena itu
rincian, data statistic, dan pertimbangan-pertimbangan pendapat umum jadi satu
kesatuan.
Perencanaan Operasional, adalah petunjuk
pengoperasian program di lapangan. Perencanaan ini bersifat spesifik dan
berfungsi sebagai petunjuk konkrit pelaksanaan dari aturan, prosedur, dan
ketentuan yang ditetapkan sebelumnya. Pada tingkat perencanaan ini,
pertimbangan individual relative diabaikan, sebab acuan kerja lebih tertumpu
pada data statistik yang bersifat kuantitatif dan terukur. Seabagai ujung
tombak kegiatan suatu instansi, kegiatan membuat perencanaan ini ditangani oleh
personil yang menangani langsung operasi atau kegiatan.
- Dilihat dari Rancangan Sistem
Manakala suatu institusi sudah berjalan, maka
pembuatan perencanaan berpijak kepada hal yang sudah ada tersebut, tanpa harus
merubah sistem yang telah dibuat sebelumnya. Namun kalau sistem yang sudah ada
tersebut dirasakan kurang adaptif terhadap perkembangan situasi dan tantangan
sasaran perencanaan, maka kalau tidak diperbaiki, alternatif lainnya sistem
tersebut dikembangkan. Karena itu ada
dua jenis perencanaan dalam hal ini. Pertama, perencanaan perbaikan dan kedua
perencanaan pengembangan.
- Dilihat dari Jangka Waktu
Sasaran waktu perencanaan dibagi kepada tiga
katagori. Katagori terentang diantara 1-25 tahun. Namun dalam kegiatan yang
sifatnya besar, yang untuk pengadministrasiannya saja memerlukan waktu
berbulan-bulan, maka rentangan waktu tersebut dapat berubah yakni berkisar
antara 5-25 tahun. Dalam rentang waktu demikian, maka perencanaan 5 tahun masuk
pada katagori perencanaan jangka pendek. Sementara rentang waktu 10 dan 25
tahun, masuk pada katagori menengah dan panjang.
Dalam negara Republik Indonesia yang
pembangunan negaranya terbagi pada pusat dan daerah, maka ada perencanaan yang
sifatnya ditangani langsung pemerintah pusat dari a-znya, namun ada juga yang
dibagi dua, yakni sebagian yang sifatnya koordinatif ditangani pusat dan yang
lainnya rincian opersional ditangani daerah. Dalam hal seluruhnya ditangani
Pemerintah Pusat, maka peranan pemerintah jadi wajib, sementara manakala
ditangani lebih banyak oleh daerah, maka Pemerintah Pusat hanya bersifat arahan
saja.
B.
Pendekatan Perencanaan Pendidikan
Sistem Pendekatan
(approach system) dalam perencanaan memiliki kedudukan sangat penting sebab
merupakan pilihan tentang falsafah dan strategi perencanaan yang pada
gilirannya memberi warna terhadap segala pikiran dan perbuatan dalam kegiatan
perencanaan pendidikan. Bertahun-tahun dan berbagai negara berusaha
mengembangkan berbagai pendekatan bagi perencanaan pendidikan. Pada dasarnya
hasil usaha itu dapat dikatagorikan kepada
1. “intra-educational” extrapolation model;
2. the demographic projection model;
3. the manpower model;
4. the rate of return model; dan
5. the social demand model[1].
Model-model ini tidak sepenuhnya berdiri sendiri. Sebagai
contoh, merancang target seluruh kegiatan pendidikan yang bersandar pada model
kebutuhan tenaga kerja (the manpower model) bagi pertumbuhan ekonomi, akan
memerlukan ektrapolasi dari berbagai komponen system pendidikan, yang dengan
demikian berakibat pada target-target bagian. Masing-masing model ini bagaima napun
memiliki premis-premis, prosedur berpikir, dan metodologi. Kadang-kadang model
keenam, terlihat sebagai pendekatan bagian-bagian dari perencanaan pendidikan,
yang juga merupakan kombinasi dari elemen dari beberapa pendekatan tersebut.
Karakteristik
dari pendekatan-pendekatan tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut.
1. “Intra-educational” extrapolation model. Konsepnya relative sederhana dan terbuka (straightforward). Namun teknisnya cukup
menantang dan kompleks, terlebih manakala terlibat ke dalamnya berbagai pilihan
perubahan dari satu ke lain bagian. Cara
kerjanya menghitung implikasi kuantitatif dari karakter yang jadi target
pendidikan. Bila ingin mencapai target tertentu pada tahun tertentu, maka
perencana pendidikan harus mengektrapolasi dari angka-angka yang ditargetkan
tersebut kepada angka lain seperti suplai guru, pembangunan gedung baru,
pencetakan buku ajar, serta schedule waktu dari setiap item target. Dalam
kaitan ini statistik merupakan instrument penting, supaya analisis tentang
capaian, target dari satu bagian ke bagian daerah lain dapat diurai dengan
tepat dan baik.
2. The demographic projection model merupakan pendekatan yang secara
imajinatif bersifat menyeluruh. Model ini menyiapkan parameter pokok
dalam menghitung jumlah penduduk
(variable tingkat kelahiran yang dikaitkan dengan cohort besaran usia) terkait
dengan sistem pendidikan masa depan yang harus dipersiapkan. Dari sini
diproyeksikan kepada unsur-unsur lain pendidikan seperti komposisi dan jumlah
anak didik pada usia tertentu pada tahun-tahun tertentu, kemudian implikasinya
terhadap besaran, distribusi pelayanan, tingkat-tingkat pendidikan, maupun
tahun-tahun yang ditargetkan, sesuai dengan “the size of the age cohort” anak
didik. Cara inilah yang pernah dilakukan oleh Negara-negara di Eropa Barat dan
Amerika Utara setelah Perang Dunia kedua.
Dari “the size of
the age cohort” juga dihitung pada tahun-tahun mana para perencana harus
mempersiapkan jenis dan jenjang pendidikan tertentu, sebab diantara banyak
kesalahan perencana dalam kaitan ini adalah kurang mempersiapkan
pilihan-pilihan tertentu dari jenis pendidikan antara pendidikan akademik
dengan pendidikan vocational. Pendekatan ini juga akan menghasilkan peta
sekolah yang didalamnya tergambarkan unsure-unsur yang terkait pada
kependudukan, dan malah meluas pada
variable lain sampai pada menentukan lokasi tempat sekolah yang harus dibangun,
terkait dengan demografi, geografi, keadaan masyarakat, jenis transportasi
serta lokasi sekolah yang harus punya akses maksimal terhadap keberadaan
penduduk.
Tiga pendekatan
lainnya dari model-model perencanaan pendidikan tersebut di atas, secara
konseptual hakikatnya berbeda dilihat dari prediksi terhadap “external demands”
yang harus direspon dunia pendidikan. Mengutip hasil survey OECD(1980) Fakry
Gaffar (1987:23) menegaskan bahwa hingga saat ini terdapat proses evolusi
berpikir tentang perencanaan dari satu tahap ke tahap yang lainnya. Hal ini
terjadi, baik pada perencanaan pendidikan yang tujuannya bersifat eksternal
maupun internal. Tujuan pendidikan yang sifatnya internal adalah “growth and
well being”.
Sedangkan tujuan
pendidikan yang sifatnya eksternal adalah, pertama
pemenuhan ketenaga-kerjaan yang kemudian melahirkan perencanaan melalui
Pendekatan Ketenagakerjaan (Manpower Approach), dan kedua memenuhi kepentingan masyarakat
yang kemudian melahirkan pendekatan Tuntutan Sosial (Social Demand Approach),
dan ketiga, pemenuhan pengembalian biaya yang dipakai kegiatan pendidikan (rate
of return) yang kemudian melahirkan pendekatan yang bercorak ekonomi yang
disebut Pendekatan Analisis Biaya dan Keuntungan (Cost Benefit Analysis) yang
di dalamnya sangat kuat penekanannya pada Efektivitas Biaya (Cost
Effectiveness).
3.
Pendekatan Tuntutan Sosial (Social Demand
Approach)
The
social demand model,
merupakan bentuk yang lebih umum yang menggambarkan kebijakan pendidikan
cenderung dipengaruhi oleh ekspresi kepentingan dan kebutuhan masyarakat yang
ada. Karena itu dari sudut yang berbeda, model ini dianggap keluar dari analisis
ekonomi, serta tidak terkalkulasi baik oleh manpower model atau rate of return
models. Model ini sangat strategis manakala perencanaan pendidikan
diorientasikan kepada pencapaian tujuan masyarakaat secara umum, seperti
kesamaan hak asasi, penekanan pada otentisitas budaya, dan upaya melegitimasi
distribusi kekuatan politik. Atau model ini diorientasikan kepada kebutuhan
sebagian masyarakat seperti regional tertentu, kelompok bahasa tertentu, yang
pada hakikatnya –kadangkala-- berupa tantangan dari kepentingan seorang kuat
warga masyarakat.
Dalam hal ini perlu ditegaskan bahwa pada
dasarnya hampir dapat dikatakan tidak ada perencanaan yang tidak terkait
dengan”the social demand model”,
walau bentuk dan sistimatisasi konsepnya dalam pengembangan konteks
perencanaan, berubah dari waktu ke waktu.
Prinsip utama pendidikan sebagai tuntutan
sosial adalah terpenuhinya hak
masyarakat (atau lebih jauh hak warga negara) untuk mendapatkan pendidikan.
Dalam kaitan ini seorang perencana pendidikan pada tingkat nasional bertugas
merekayasa kegiatan pendidikan nasional supaya setiap warga negara mendapatkan
hak pendidikan. Hal ini menegaskan bahwa corak pendekatan ini lebih merupakan
strategi politik daripada strategi yang lainnya. Asumsinya adalah dengan
pendidikan, warga negara akan terbebas dari ketakutan, kebodohan, dan
kemiskinan untuk akhirnya negaranya sendiri terbebas dari penjajahan. Melalui
strategi dan asumsi ini dimaksudkan supaya terjadi pemerataan pada setiap warga
masyarakat untuk “mengkonsumsi” pendidikan. Sifatnya lebih menekankan aspek
kuantitatif daripada kualitatif.
Dari sini muncullah istilah kewajiban
belajar. Pada negara yang ekonominya masih lemah, mula-mula terbatas pada usia
SD. Bila sudah meningkat batasannya diperluas jadi sampai usia SLTP. Di
negara-negara maju ekonominya (seperti Amerika Serikat umpamanya) wajib belajar
tersebut sampai usia SLTA. Di negara tersebut orangtua yang tidak menyekolahkan
anaknya sampai usia SLTA dianggap menyalahi aturan Negara dan karenanya bisa
dipidana. Bila pada negara yang ekonominya lemah targetnya terbatas pada
pembebasan buta huruf (free from illiteracy), pada
negera-negara maju targetnya adalah pembebasan dari buta keterampilan (free
from unskill resources).
4.
Pendekatan Ketenagakerjaan (Manpower
Approach),
Pemenuhan tenaga kerja pada umumnya merupa
Pada pendekatan “man power model”, inti persoalannya
terletak pada estimasi kebutuhan ekonomi nasional (atau bagiannya) terhadap
sumber daya terlatih. Estimasi ini tidak hanya sekedar dimaknai aggregate
(aggregate terms) namun juga terms pada level tertentu dari kualifikasi dan
periode waktu tertentu,sehingga kegiatan pendidikan dapat memenuhi kebutuhan
nasional dalam hal tenaga kerja. Dalam kaitan ini para perencana pendidikan
harus fokus pada hasil survey tenaga kerja pada setiap objek yang dibidangi
tiap departemen.
Kesukaran yang dihadapi dalam model
perencanaan demikian adalah menetapkan hubungan antara kualifikasi pendidikan
dengan kebutuhan skill, kecerdasan, dan perilaku dari jenis-jenis pekerjaan
tertentu. Terlebih manakala dikaitkan dengan perubahan kegiatan ekonomi yang
berjalan cepat, mememrlukan sumber daya yang juga cepat, sementara lulusan
pendidikan memerlukan waktu yang cukup lama, baik dalam proses pendidikan,
ataupun dalam beradaptasi dengan lingkungan dan tempat kerja. Berdasarkan
alasan dan mungkin pikiran-pikiran lainnya “there has been a marked decline in the
degree to which manpower models” digunakan sebagai strategi perencanaan
pendidikan.
Prinsip utama pendidikan sebagai “industri” tenaga
kerja adalah adanya keterkaitan lulusan
sistem pendidikan dengan tuntutan terhadap tenaga kerja pada berbagai bidang pembangunan seperti bidang industri, ekonomi, pertanian, perdagangan dan
bidang pendidikan sendiri. Visi
demikian terhadap dunia pendidikan melahirkan misi khusus yakni kesejahteraan
atau peningkatan kualitas hidup individu peserta pendidikan dan masyarakat
tempat individu terdidik tersebut berkarya.
Tantangan yang dihadapi para perencana pendidikan
dalam pendekatan ini adalah bagaimana memprediksi jenis dan bidang-bidang
pekerjaan masa yang akan dating saat si terdidik selesai mengikuti proses
pendidikan. Banyaknya sarjana ilmu-ilmu sosial khususnya sarjana ilmu
pendidikan yang menganggur pada akhir dekade 2000an, menunjukkan ketidak
sinkron-an antara perencana pendidikan dengan perkembangan dunia kerja. Hal ini
disebabakan pertama, melesetnya prediksi kebutuhan tenaga kerja. Kedua,
kecepatan perkembangan perubahan dunia kerja sementara proses pendidikan
memerlukan waktu yang cukup panjang. Ketiga, kesalahan birokrasi karena terkena
penyakit korupsi, kolusi dan nepotisme dalam memberikan ijin pendirian perguruan
tinggi. Keempat, kesulitan para penyelenggara pendidikan untuk menyiapkan
fasilitas program pendidikan yang dibutuhkan masyarakat lantaran visi dan
keterampilan manajemen pendidikan yang lemah.
Diperlukan koordinasi dalam mendisain pembangunan secara
makro sehingga terjadi relevansi antar bidang pembangunan, yang dalam kaitan
ini adalah relevansi bidang pendidikan dengan bidang pembangunan ekonomi,
hukum, budaya, industri, politik, hubungan antar negara, pendidikan dst.nya.
Pada umumnya saat periode awal pembangunan tuntutan
terhadap keterampilan tenaga kerja bidang teknologi sangat dominan. Namun
serentak warga masyarakat menikmati hasil teknologi, akan sangat banyak
bermunculan tuntutan tentang kejelasan hukum. Idealnya perangkat hukum tersebut
disediakan lebih dahulu daripada perangkat keras yang dibangun teknologi. Namun
di Negara
Implikasi praktis dari manpower approach ini adalah tuntutan kecanggihan rekayasa
kurikulum. Kurikulum harus menyiapkan lulusan yang siap pakai di pasaran kerja.
Untuk itu kurikulum harus berisi berbagai hal yang berkaitan dengan persyaratan
kerja, jenis dan tingkat pekerjaan, jenis dan tingkat keterampilan, cara model
dan mobilitas kerja, dlsb.nya sedemikian rupa sehingga para lulusan pendidikan
cocok dengan karakteristik dunia kerja yang akan dihadapi.
Di bawah ini dikemukakan bagaimana karakteristik dunia
kerja managerial di bidang pendidikan mengalami perubahan paradigma yang sangat
dahsyat pada satu dekade terakhir ini,
yang pasti akan sangat mempengaruhi penyusunan kurikulum bidang studi yang terkait
dengan manajemen pendidikan. Pada saat yang sama perlu ada penekanan khusus
tentang gaya kepemimpinan paradigma baru yang dengan itu memberikan peluang
keberhasilan lebih baik sesuai dengan karakteristik masyarakat yang telah
berubah sesuai dengan perubahan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
yang memiliki pengaruh besar terhadap perubahan mental, harga diri serta
tinjauan terhadap martabat hidup sebagai manusia.
Transformation Of Higher
Education Management (UNESCO)
CHARAC OLD
STRATEGY Planned Enterpreneurial
STRUCTURE Hierarchy Network
SYSTEM Rigid Flexible
STAFF Title
+ Rank Helpful
STYLE Probl.Solving Transformational
SKILLS To
compete To build
Shared Values Better –
Sameness Meaningfull-Difference
FOCUS Syst-Institution Instit-Individual
Source Of Strength Stability Change
LEADERSHIP Dogmatic Inspirational
Gaya Kepemimpinan
Transformational, adalah
gaya kepemimpinan yang mengutamakan pemberian kesempatan dan atau mendorong
semua unsur yang ada dalam unit akademik untuk bekerja atas dasar system nilai
yang luhur sehingga semua unsur (dosen, mahasiswa, pegawai, ortu, masyarakat
dsb.nya) bersedia berpartisipasi secara optimal dalam mencapai tujuan ideal
urusan atau program studi. Adapun ciri-cirinya adalah sebagai berikut.
Pertama, mengidentikasikan diri sebagai
agen perubahaan;
kedua, memiliki sifat pemberani;
ketiga, mempercayai orang lain;
keempat, bertindak atas dasar system nilai (bukan
atas dasar kepentingan individu, atau atas dasar kepentingan dan desakan
kroninya);
kelima, meningkatkan kemampuannya secara terus
menerus sepanjang hayatnya;
keenam, memiliki kemampuan untuk menghadapi
situasi yang rumit, tidak jelas, dan tidak menentu;
ketujuh, memiliki visi ke depan[2].
5.
Analisis Biaya Dan Keuntungan (Cost
Benefit Analysis).
Pendekatan Analisis Biaya Dan Keuntungan (Cost Benefit Analysis), disebut juga The rate of return model, yang
menggambarkan investasi sebagian masyarakat atau individu untuk menaikkan
pendapatan investor. Karena itu model ini terkait dengan konsep-konsep tehnik
dan penelitian mengenai ekonomi pendidikan. Perdebatan difokuskan pada konsep
dan tehnik pengukuran. Pertanyaan paling pentingnya adalah hakikat dan penyebab
perbedaan antara kembalian biaya pada
masyarakat dan individu. Keragaman tingkat pengembaliaan modal pada tingkat dan
sektor pendidikan tertentu, jenis pria dan wanita, serta peran pendidikan dalam
masalah politik dan simbol-simbol kehidupan social.
Prinsip utama pendidikan melalui
perhitungan untung rugi adalah pendidikan merupakan investasi sumber daya
manusia (human capital investment). Karena itu biaya yang dikeluarkan
untuk kegiatan pendidikan harus dapat dikembalikan. Dalam skala kecil seperti
individu atau rumah tangga, perhitungan tentang
hal ini demikian bukan sesuatu yang sukar. Namun dalam skala nasional,
perhitungannya cukup rumit. Pertanyaan pokoknya adalah bagaimana logika
pembangunan pendidikan terkait dengan logika pertumbuhan ekonomi?
Diakui bahwa terdapat kesukaran menentukan
besaran kontribusi pembangunan pendidikan terhadap pembangunan ekonomi. Hal ini
selain karena hasil akhir pendidikan merupakan resultante dari berbagai faktor
interaksi, pada sisi lain diakui hasil akhir ekonomipun terkait pada berbagai
faktor. Namun secara sederhana tidak dapat dipungkiri keniscayaan adanya
kontribusi pendidikan terhadap pembangunan ekonomi. Keterangannya adalah
sebagai berikut.
Pertama pembangunan ekonomi dilaksanakan oleh
manusia.
Kedua, diantara faktor dominan yang mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi adalah keterampilan sumber daya manusia, ilmu pengetahuan,
dan teknologi.
Ketiga, bahwa pengembangan ketiga faktor dalam
butir dua tersebut, dikembangkan secara lebih terencana, terukur, terobservasi,
serta lebih bertanggung jawab dalam dunia pendidikan.
Keempat, bahwa negara-negara yang rakyatnya
berpendidikan baik, ternyata mempunyai pertumbuhan ekonomi yang lebih baik
dibanding dengan negara yang rata-rata rakyatnya berpendidikan rendah dan
buruk. Karena itu lembaga pendidikan yang bermutu baik, kebanyakan di
negara-negara maju, negara-negara yang rata-rata pendapatan perkapitanya
tinggi.
Kelima, secara umum terdapat indikasi kuat yang
menegaskan semakin tinggi jenjang pendidikan yang dilalui, semakin tinggi
tingkat pendapatan yang diperoleh.
Keenam, secara umum terdapat indikasi kuat yang
menegaskan semakin terkait suatu bidang ilmu dengan pengembangan keterampilan
yang menghasilkan pendapatan tinggi, semakin banyak diminati orang.
Dalam kaitan dengan butir
Ciri utama keterkaitan jenis program studi dengan
nilai ekonomi tersebut adalah jenis ketenaga-kerjaan yang diperlukan masyarakat
ekonomi, bisnis, dan industri. Persoalan mendasar dalam hal ini adalah tidak stabilnya pertumbuhan ekonomi, serta
kurang cerdasnya memprediksi jenis dan tingkat keterampilan berpikir dan
bekerja yang dibutuhkan untuk pertumbuhan ekonomi, atau perolehan penghasilan
lulusan. Pada tingkat individu lulusan, contoh paling monumental adalah
program studi hukum. Pada saat belum terkait dengan penanganan kejahatan
ekonomi dan politik, pamor mereka kurang bersinar, namun begitu banyak kasus
ekonomi dan politik tingkat nasional mencuat, serta pakar-pakar hukum masuk ke
gelanggang persilatan adu argument untuk memenangkan klien para konglomerat dan
pejabat-pejabat tinggi dan malah pejabat lembaga tinggi negara yang untuk
menangani satu kasus saja, sudah bernilai ekonomi ratusan juta dan malah
milyaran rupiah, maka pamor jenis program studi ini terangkat naik ke atas.
Penegasan lebih lanjut dari
bagian pendekatan ini adalah Pendekatan
Effektivitas Biaya (Cost Effectiveness Approach). Prinsip utamanya adalah
keharusan pelaksanaan pendidikan dengan biaya serendah-rendahnya dan hasil yang
setinggi-tinggi nya, baik mutu maupun jumlah. Tentu saja pendekat an ini
memerlukan kecanggihan manajemen yang tidak sederhana. Hal yang sangat memprihatinkan
justru pada negara-negara miskin kemampuan manajemen ini merupakan titik lemah
penyeleng garaan. Akibatnya menyedihkan yakni negara-negara miskin menghabiskan
banyak biaya hasil menghu tang untuk penyelenggaraan pendidikan yang kjsutru
kurang bermutu.
C. Dua Jenis Perencanaan
Berdasarkan macam-macam pendekatan
tersebut, lahirlah dua jenis perencanaan, yakni (a) tehnocratic Education
Planning, dan (b) Political or Conflictual Education Planning[3].
Pada jenis perencanaan
pendidikan teknokrat, terdapat dua kelompok konseptor yakni kelompok
pembuat kebijakan (policy making group) yang tugasnya menentukaan tujuan atau
sasaran strategis, dan kelompok pembuat perencanaan (planning team) yang
tugasnya merumuskan kebijakan tersebut pada konsep-konsep yang lebih
operasional dengan cara-caranya yang tepat sasaran. Sedangkan perencanaan pendidikan yang sifatnya
politis, kegiatan lebih terfokus pada latar belakang munculnya kebijakan
strategis hasil para tehnokrat. Kiprah para perencana adalah bagaimana mewadahi
semua kepentingan politisi atau kelompok penekan atau kelompok kepentingan
sehingga semuanya dapat terakomodasi kebutuhannya dalam satu kesatuan konsep
kebijakan.
Permasalahan yang dilemmatik tentu saja bakal muncul
manakala desakan politis tersebut memiliki kebutuhan yang beragama-ragam, dan
malah bertentangan seperti pemenuhan tujuan eksternal dan tujuan internal.
Tujuan internal pada umumnya berorientasi pada konsistensi dalam perluasan
pendidikan sementara tujuan eksternal biasanya lebih berorientasi pada
perubahan masyarakat secara cepat. Manakala hal itu harus dicapai secara
serempak dalam satu nafas kegiatan pendidikan, kemungkinannya adalah salah satu
bagian mengalami sedikit gangguan.
Hal lain yang perlu jadi perhatian para perencana
pendidikan adalah kegiatan politik mengimplikasikan pergantian pemeran politik
yang punya effek terhadap pergantian kebijakan politik. Manakala penentu peran
politik dikuasai oleh suatu kekuatan mayoritas, kecenderungannya adalah
perencanaan pendidikan bersifat outhoritative atau quantitative planning yang
sangat rasional. Sementara manakala penentu peran politik merupakan hasil
koalisi (yang kemudian melahirkan pluralisme kebijakan) maka
kebijakan-kebijakan dasar pendidikan harus mengakomodasi semua partisipan
politik.
Model inilah yang disebut Participatory Planning.
Gerakan partisipatori di Indonesia pada tahun-tahun sesudah gerakan reformasi
yang disponsori Amin Rais (1998) sangat fenomenal sekali, apalagi hal ini
kemudian diperkuat oleh konsep otonomi daerah yang lebih memberi peluang dalam
pembuatan kebijakan secara desentralisasi.
Pada tahun-tahun mendatang (2004 ke atas)
participatory planning punya kecenderungan semakin menguat. Asumsinya adalah
model ini (a) lebih demokratis dilihat dari peluang setiap kelompok orang dapat
ikut berpartisipasi menentukan kebijakan; (b) Aspirasi rakyat lebih terserap,
dan karenanya kebijakan yang dihasilkan lebih representatif. Hal ini karena
struktur kekuasaan lebih meluas dan karenanya pusat-pusat penentu kebijakan
lebih varian; (c) Kebijakan lebih kaya nuansa, sebab mendapat kontribusi dari
berbagai nilai, harapan, tujuan, dan aspirasi kelompok-kelompok masyarakat.
Namun demikian participatory planning model ini
mendapat kesukaran manakala diperhadapkan kepada pemisahan dua kelompok secara
tegas, yakni planning team dengan policy makin group dalam struktur kekuasaan.
Sebab essensi dari participatory palnning justru adanya penyatuan diantara
keduanya supaya kesulitan yang kemungkinan muncul di lapangan dapat
dihindarkan. Kesukaran lain dari participatory planning adalah orientasi
perencanaan yang biasanya (karena harus mewadahi semua aspirasi secara segera)
terlalu berjangka pendek. Padahal dunia pendidikan adalah dunia yang bekerja
dalam jangka panjang untuk menentukan generasi pelanjut. Sebaliknya dengan
pendekatan teknokratis yang menekankan quantitative planning jangka panjang,
mengurangi adanya fleksibilitas pada saat tantangan dan kebutuhan berubah cepat
lantaran perubahan sosial yang juga sangat cepat.
Dengan demikian persoalan diantara dua
pendekatan tersebut adalah bagaimana participatory planning dapat membuat
proyeksi bagi perkembangan masa depan yang panjang di satu sisi, serta
bagaimana pendekatan teknokratis dapat mengadopsi tuntutan kebutuhan yang
berubah seiring dengan perkembangan kebutuhan masyarakat yang akselerasinya
semakin cepat.
Dalam kaitan ini sesuai dengan proses
perkembangan berpikir dalam perencanaan pendidikan, para perencana hendaklah
mengkaji secara cermat hal-hal sebagai berikut.
(a) kepentingan berbagai kekuatan politik,
yang menentukan secara signifikan putusan kebijakan atas perencanaan, baik tecknokratik
maupun partisipatori;
(b) struktur sistem manajemen pendidikan
yang dikembangkan, sebab hal ini akan menentukan letak, posisi, fungsi para
perencana dalam mengerjakan tugasnya. Sistem manajemen pendidikan di negara
yang bersifat sentralistik, posisi perencana terletak di tingkat nasional,
namun pada negara yang bersifat disentralisasi, perencana berada di pusat dan
di daerah dengan masing-masing garapan yang berbeda; dan
(c) berbagai disiplin ilmu yang
mempengaruhi pendekatan perencanaan pendidikan. Sebagaimana diketahui di atas,
pendekatan ilmu ekonomi ternyata jauh berbeda dengan pendekatan ilmu sosial.
D. Perencanaan Pendidikan dan Penelitian
Penelitian yang
sistimatik berkenaan dengan proses maupun hasil
perencanaan pendidikan sangat sedikit sekali. Publikasi lebih banyak
dalam bentuk handbook (David, 1980, Lewis, 1980, Chesswas, 1969) atau kritik
(Weiler, 1980, Levin, 1980), kondisi yang mesukseskan atau menggagalkan
perencanaan. Namun belum ada judul berkenaan dengan temuan yang ekstensif dan
sistimatik, tidak terkecuali dari IIEP (International Institute of Educational
Planning). Padahal kepentingan riset ini sangat substantive, khususnya
berkenaan dengan pendidikan dan pengembangan, atau pendidikan dan perubahan
social yang langsung atau tidak langsung akan memperbaiki pengertian tentang
kondisi, tantangan, dan jalan keluar atau jalan buntunya perencanaan
pendidikan.
Disini perlu
ditegaskan bahwa disain perencanaan pendidikan dapat melalui antisipasi dan
proyeksi perubahan social, hubungan
antara pengembangan sistem pendidikan dan proses perubahan ekonomi dan
social. Walau tidak langsung semuanya tetap relevan, penting dan diperlukan
untuk perencanaan pendidikan[4].
Beberapa issue yang perlu dalam penelitian
perencanaan pendidikan adalah hubungan pendidikan dan pekerjaan, peran wanita
di dunia pendidikan, hubungan antar pendidikan dan Negara, kesamaan dalam
pendidikan, perbedaan regional dalam pendidikan, dan pertanyaan-pertanyaan
lainnya yang relevan.
E.
Issu dan Dilemma dalam Perencanaan Pendi dikan
Kritik terhadap
perencanaan pendidikan -- sebagai instrument perubahan dan reformasi sistem
pendidikan-- terfokus kepada cara dan praktek perencanaan.
Pertama, bahwa
perencanaan pendidikan telah membatasi diri pada tugas memproyeksi masa depan,
tanpa ada greget pada upaya implementasi pengembangan tersebut;
Kedua, bahwa
banyak perencanaan pendidikan yang tidak lebih dari sekedar tulisan tanpa
implementasi;
Ketiga, pada sifat khirarkis dari
kegiatan perencanaannya.
Kritik-kritik
tersebut membuktikan pertama, kurang luasnya partisipasi
yang mempengaruhi hasil perencanaan, dan kedua kurangnya fasilitas perencanaan. Kritik yang lebih serius lagi
ditujukan pada konvensi kerjanya yang
cenderung bersifat non teknis. Ditengarai pada saat ada klaim bahwa kekuatan
politik bersifata netral dalam tehnik perencanaan, namun pembuatan perencanaan
pendidikan memiliki peran penting dalam melegitimasi struktur yang ada dari
kekuatan politik.
[1] Husen, Torsten and
Postlethwaite, T. Neville (1985), The International Encyclopedia of Education,
Research and Study, Pergamon Pers Ltd. 1985. p.3923-3925.
[2] Luthans, 1995.
Organizational Behaviour, (7th ed.), New York, McGraw-Hill, Inc.
1995:358
[3] Fakry Gaffar, Mohammad, (1987) Perencanaan Pendidikan
: Teori dan Metodologi,
[4] Husen, ibid, hal. 3925.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar