Kamis, 19 Mei 2022

JENIS DAN PENDEKATAN PERENCANAAN

 

JENIS DAN PENDEKATAN PERENCANAAN

 

A. Jenis Perencanaan

 Perencanaan  dapat dilihat darti empat macam segi. Pertama, segi besarannya, yakni ruang lingkup yang jadi sasaran kebijakan perencanaan, kedua,  subjek pembuat perencanaan, ketiga, rancangan sistemnya, dan keempat, dilihat dari sisi jangka wkatu kegiatan pelaksanaan perencanaan.

  1. Dilihat dari Besarannya (Magnitude)

Dilihat dari ruang lingkup daerah yang akan jadi sasaran perencanaan, kegiatan ini terbagi kepada tiga besaran, yakni makro, messo, dan mikro. Dalam lingkaran makro, daerah jelajah perencanaan meliput besaran tertinggi dari kegiatan tersebut. Sedangkan messo di daerah pertengahan dan mikro di daerah lapisan bawah. Dengan demikian katagori makro, messo, dan mikro, tergantung posisi si perencanaan tersebut dalam kesatuan organisasi. Bila daerah tertingginya dunia, maka perencanaan pendidikan yang bersifat global merupakan perencanaan makro. Namun bila sasaran perencanaan tersebut daerah terbesarnya adalah negara, maka perencanaan makro tersebut dalam ruang lingkup negara. Untuk kasus Indonesia sebagai suatu organisasi Negara umpamanya, tujuan dari pembangunan pendidikan yang sifatnya makro sekarang masih bertumpu pada jumlah dan mutu hasil didikan yang menunjang pembangunan nasional. Perencanaan tingkat provinsi disebut messo sedangkan daerah kabupaten atau malah kecamatan disebut mikro. Namun bisa saja makro tersebut dalam bentuk perencanaan tingkat departemen. Dalam hal ini maka mikronya dapat dalam tingkatan sekolah atau universitas. Sementara perencanaan tingkat messonya pada dataran kantor Dinas propinsi atau kantor Dinas kebupaten/kota.

Dalam dataran makro dengan contoh kasus tingkat nasional, maka perencanaan akan mengelaborasi hal-hal terkait sebagai berikut.

a.       Formulasi tujuan pendidikan nasional;

b.      Jenis pendekatan untuk mencapai tujuan;

c.       Jenis lembaga pendidikan yang diperlukan sesuai tujuan;

d.      Pengaturan organisasi pendidikan yang konkordan dengan dan bagi tercapainya tujuan nasional;

e.       Jenis dan bentuk program yang diagendakan bagi tercapainya tujuan pendidikan nasional;

f.        Jenis, jumlah dan mutu sumber daya (alam dasn manusia) yang diperlukan;

g.      Kriteria dan indikator keberhasilan usaha pendidikan yang dicanangkan.

Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi supaya perencanaan makro ini dapat berjalan dengan baik, adalah pertama, kejelasan rumusan dan penjabaran rincian tujuan, kedua, peran dan tanggung jawab utama ada pada penyelenggara pemerintahan, ketiga, mobilisasi sumber-sumber pembiayaan secara optimal, khususnya dalam rangka memenuhi ketentuan UUD dan PP tentang pendidikan nasional, keempat, system prioritas sesuai dengan kemampuan pembiayaan terkait dengan jenis, tingkat, dan bentuk pendidikan;  kelima, evaluasi proses dan program harus berkesinambungan;  keenam, setiap SDM terkait harus professional, karena itu perlu peningkatan profesionalitas, baik melalui pendidikan lanjutan gelar atau non gelar.

Perencanaan Messo, merupakan bentuk dan jenis perencanaan satu tingkat di bawah makro. Bentuknya berupa penjabaran makro ke dalam rincian-rincian program dalam dimensi yang lebih kecil,  Bersifat opersional sesuai dengan keadaan daerah, departemen atau unit-unit  antara (intermediate units) yang lain. Penyusunannya harus dalam ruang lingkup yang telah digariskan dalam perencanaan makro. Sedangkan rambu-rambu penyusunannya sama dengan pertanyaan-pertanyaan yang ada pada perencanaan makro.

Perencanaan Mikro, adalah perencanaan pada tingkat lembaga yang jadi sasaran terakhir perencanaan. Perencanaan ini merupakan rincian atau penjabaran lebih lanjut dari perencanaan messo. Pada jenis perencanaan ini dikembangkan kekhususan, hal-hal yang sifatnya lokal,  serta karakter-karakter budaya setempat. Namun demikian tetap dalam koridor rambu-rambu yang terdapat pada perencanaan makro dan messo. Contohnya perencanaan  pembangunan pada tingkat dinas-dinas dalam suatu kabupaten, atau perencanaan strategi pendidikan pada suatu sekolah atau perencanaan pengajaran pada suatu kelas.

  1. Dilihat dari Teba Telaahnya

Manakala kegiatan perencanaan dilihat dari sisi subjek pembuatnya, maka perencaanaan  dapat dikatagori sasikan kepada perencanaan strategik, manajerial, dan operasional.

Perencanaan strategik adalah perencanaan yang bersifat program umum  kegiatan untuk mencapai tujuan yang komprehensif. Hal ini merupakan tugas dan kewajiban manajemen puncak. Keputusan yang dibuat lebih didasarkan kepada pertimbangan-pertimbangan strategik, bukan atas dasar angka-angka statistik. Karena itulah jenis perencanaan ini biasa disebut perencanaan normative. Pada perencanaan strategik, liputan pekerjaannya mencakup penetapan tujuan, pengalokasian sumber-sumber (SDAlam, SDManusia, dan SDDana) yang jadi instrument pencapaian tujuan, serta kebijakan untuk mendapatkan atau menghilangkan yang direncanakan. Pada umumnya dalam perencanaan strategik masalah-masalah tidak atau kurang terstruktur, serta jumlah dan parameter variable, tidak pasti.

Turun setahap dari manajemen puncak terdapat perencanaan manajemen yang bersifat kebijakan pelaksanaan. Inilah yang disebut perencanaan manajerial. Cakupannya semua aspek kegiatan system yang telah digariskan dalam perencanaan strategik. Tujuannya adalah mengarahkan jalannya pelaksanaan, sehingga proses pencapaian berjalan secara efisien dan efektif. Karena itu rincian, data statistic, dan pertimbangan-pertimbangan pendapat umum jadi satu kesatuan.  

Perencanaan Operasional, adalah petunjuk pengoperasian program di lapangan. Perencanaan ini bersifat spesifik dan berfungsi sebagai petunjuk konkrit pelaksanaan dari aturan, prosedur, dan ketentuan yang ditetapkan sebelumnya. Pada tingkat perencanaan ini, pertimbangan individual relative diabaikan, sebab acuan kerja lebih tertumpu pada data statistik yang bersifat kuantitatif dan terukur. Seabagai ujung tombak kegiatan suatu instansi, kegiatan membuat perencanaan ini ditangani oleh personil yang menangani langsung operasi atau kegiatan.

  1. Dilihat dari Rancangan Sistem

Manakala suatu institusi sudah berjalan, maka pembuatan perencanaan berpijak kepada hal yang sudah ada tersebut, tanpa harus merubah sistem yang telah dibuat sebelumnya. Namun kalau sistem yang sudah ada tersebut dirasakan kurang adaptif terhadap perkembangan situasi dan tantangan sasaran perencanaan, maka kalau tidak diperbaiki, alternatif lainnya sistem tersebut dikembangkan.  Karena itu ada dua jenis perencanaan dalam hal ini. Pertama, perencanaan perbaikan dan kedua perencanaan pengembangan.

  1. Dilihat dari Jangka Waktu

Sasaran waktu perencanaan dibagi kepada tiga katagori. Katagori terentang diantara 1-25 tahun. Namun dalam kegiatan yang sifatnya besar, yang untuk pengadministrasiannya saja memerlukan waktu berbulan-bulan, maka rentangan waktu tersebut dapat berubah yakni berkisar antara 5-25 tahun. Dalam rentang waktu demikian, maka perencanaan 5 tahun masuk pada katagori perencanaan jangka pendek. Sementara rentang waktu 10 dan 25 tahun, masuk pada katagori menengah dan panjang.

Dalam negara Republik Indonesia yang pembangunan negaranya terbagi pada pusat dan daerah, maka ada perencanaan yang sifatnya ditangani langsung pemerintah pusat dari a-znya, namun ada juga yang dibagi dua, yakni sebagian yang sifatnya koordinatif ditangani pusat dan yang lainnya rincian opersional ditangani daerah. Dalam hal seluruhnya ditangani Pemerintah Pusat, maka peranan pemerintah jadi wajib, sementara manakala ditangani lebih banyak oleh daerah, maka Pemerintah Pusat hanya bersifat arahan saja.

B. Pendekatan Perencanaan Pendidikan

Sistem Pendekatan (approach system) dalam perencanaan memiliki kedudukan sangat penting sebab merupakan pilihan tentang falsafah dan strategi perencanaan yang pada gilirannya memberi warna terhadap segala pikiran dan perbuatan dalam kegiatan perencanaan pendidikan. Bertahun-tahun dan berbagai negara berusaha mengembangkan berbagai pendekatan bagi perencanaan pendidikan. Pada dasarnya hasil usaha itu dapat dikatagorikan kepada lima model, yakni

1. “intra-educational” extrapolation model;

2. the demographic projection model;

3. the manpower model;

4. the rate of return model; dan

5. the social demand model[1].

Model-model ini tidak sepenuhnya berdiri sendiri. Sebagai contoh, merancang target seluruh kegiatan pendidikan yang bersandar pada model kebutuhan tenaga kerja (the manpower model) bagi pertumbuhan ekonomi, akan memerlukan ektrapolasi dari berbagai komponen system pendidikan, yang dengan demikian berakibat pada target-target bagian. Masing-masing model ini bagaima napun memiliki premis-premis, prosedur berpikir, dan metodologi. Kadang-kadang model keenam, terlihat sebagai pendekatan bagian-bagian dari perencanaan pendidikan, yang juga merupakan kombinasi dari elemen dari beberapa pendekatan tersebut.

Karakteristik dari pendekatan-pendekatan tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut.

1. “Intra-educational” extrapolation model. Konsepnya relative sederhana dan terbuka (straightforward). Namun teknisnya cukup menantang dan kompleks, terlebih manakala terlibat ke dalamnya berbagai pilihan perubahan dari satu ke lain bagian.  Cara kerjanya menghitung implikasi kuantitatif dari karakter yang jadi target pendidikan. Bila ingin mencapai target tertentu pada tahun tertentu, maka perencana pendidikan harus mengektrapolasi dari angka-angka yang ditargetkan tersebut kepada angka lain seperti suplai guru, pembangunan gedung baru, pencetakan buku ajar, serta schedule waktu dari setiap item target. Dalam kaitan ini statistik merupakan instrument penting, supaya analisis tentang capaian, target dari satu bagian ke bagian daerah lain dapat diurai dengan tepat dan baik.

2. The demographic projection model merupakan pendekatan yang secara imajinatif bersifat menyeluruh. Model ini menyiapkan parameter pokok dalam  menghitung jumlah penduduk (variable tingkat kelahiran yang dikaitkan dengan cohort besaran usia) terkait dengan sistem pendidikan masa depan yang harus dipersiapkan. Dari sini diproyeksikan kepada unsur-unsur lain pendidikan seperti komposisi dan jumlah anak didik pada usia tertentu pada tahun-tahun tertentu, kemudian implikasinya terhadap besaran, distribusi pelayanan, tingkat-tingkat pendidikan, maupun tahun-tahun yang ditargetkan, sesuai dengan “the size of the age cohort” anak didik. Cara inilah yang pernah dilakukan oleh Negara-negara di Eropa Barat dan Amerika Utara setelah Perang Dunia kedua.

Dari “the size of the age cohort” juga dihitung pada tahun-tahun mana para perencana harus mempersiapkan jenis dan jenjang pendidikan tertentu, sebab diantara banyak kesalahan perencana dalam kaitan ini adalah kurang mempersiapkan pilihan-pilihan tertentu dari jenis pendidikan antara pendidikan akademik dengan pendidikan vocational. Pendekatan ini juga akan menghasilkan peta sekolah yang didalamnya tergambarkan unsure-unsur yang terkait pada kependudukan,  dan malah meluas pada variable lain sampai pada menentukan lokasi tempat sekolah yang harus dibangun, terkait dengan demografi, geografi, keadaan masyarakat, jenis transportasi serta lokasi sekolah yang harus punya akses maksimal terhadap keberadaan penduduk.

Tiga pendekatan lainnya dari model-model perencanaan pendidikan tersebut di atas, secara konseptual hakikatnya berbeda dilihat dari prediksi terhadap “external demands” yang harus direspon dunia pendidikan. Mengutip hasil survey OECD(1980) Fakry Gaffar (1987:23) menegaskan bahwa hingga saat ini terdapat proses evolusi berpikir tentang perencanaan dari satu tahap ke tahap yang lainnya. Hal ini terjadi, baik pada perencanaan pendidikan yang tujuannya bersifat eksternal maupun internal. Tujuan pendidikan yang sifatnya internal adalah “growth and well being”. 

Sedangkan tujuan pendidikan yang sifatnya eksternal adalah, pertama pemenuhan ketenaga-kerjaan yang kemudian melahirkan perencanaan melalui Pendekatan Ketenagakerjaan (Manpower Approach), dan kedua memenuhi kepentingan masyarakat yang kemudian melahirkan pendekatan Tuntutan Sosial (Social Demand Approach), dan ketiga, pemenuhan pengembalian biaya yang dipakai kegiatan pendidikan (rate of return) yang kemudian melahirkan pendekatan yang bercorak ekonomi yang disebut Pendekatan Analisis Biaya dan Keuntungan (Cost Benefit Analysis) yang di dalamnya sangat kuat penekanannya pada Efektivitas Biaya (Cost Effectiveness).

3. Pendekatan Tuntutan Sosial (Social Demand Approach)

The social demand model, merupakan bentuk yang lebih umum yang menggambarkan kebijakan pendidikan cenderung dipengaruhi oleh ekspresi kepentingan dan kebutuhan masyarakat yang ada. Karena itu dari sudut yang berbeda, model ini dianggap keluar dari analisis ekonomi, serta tidak terkalkulasi baik oleh manpower model atau rate of return models. Model ini sangat strategis manakala perencanaan pendidikan diorientasikan kepada pencapaian tujuan masyarakaat secara umum, seperti kesamaan hak asasi, penekanan pada otentisitas budaya, dan upaya melegitimasi distribusi kekuatan politik. Atau model ini diorientasikan kepada kebutuhan sebagian masyarakat seperti regional tertentu, kelompok bahasa tertentu, yang pada hakikatnya –kadangkala-- berupa tantangan dari kepentingan seorang kuat warga masyarakat.

Dalam hal ini perlu ditegaskan bahwa pada dasarnya hampir dapat dikatakan tidak ada perencanaan yang tidak terkait dengan”the social demand model”, walau bentuk dan sistimatisasi konsepnya dalam pengembangan konteks perencanaan, berubah dari waktu ke waktu.

Prinsip utama pendidikan sebagai tuntutan sosial adalah terpenuhinya hak masyarakat (atau lebih jauh hak warga negara) untuk mendapatkan pendidikan. Dalam kaitan ini seorang perencana pendidikan pada tingkat nasional bertugas merekayasa kegiatan pendidikan nasional supaya setiap warga negara mendapatkan hak pendidikan. Hal ini menegaskan bahwa corak pendekatan ini lebih merupakan strategi politik daripada strategi yang lainnya. Asumsinya adalah dengan pendidikan, warga negara akan terbebas dari ketakutan, kebodohan, dan kemiskinan untuk akhirnya negaranya sendiri terbebas dari penjajahan. Melalui strategi dan asumsi ini dimaksudkan supaya terjadi pemerataan pada setiap warga masyarakat untuk “mengkonsumsi” pendidikan. Sifatnya lebih menekankan aspek kuantitatif daripada kualitatif.

Dari sini muncullah istilah kewajiban belajar. Pada negara yang ekonominya masih lemah, mula-mula terbatas pada usia SD. Bila sudah meningkat batasannya diperluas jadi sampai usia SLTP. Di negara-negara maju ekonominya (seperti Amerika Serikat umpamanya) wajib belajar tersebut sampai usia SLTA. Di negara tersebut orangtua yang tidak menyekolahkan anaknya sampai usia SLTA dianggap menyalahi aturan Negara dan karenanya bisa dipidana. Bila pada negara yang ekonominya lemah targetnya terbatas pada pembebasan buta huruf (free from illiteracy), pada negera-negara maju targetnya adalah pembebasan dari buta keterampilan (free from unskill resources).

4. Pendekatan Ketenagakerjaan (Manpower Approach),

Pemenuhan tenaga kerja pada umumnya merupa kan prioritas pendidikan negara-negara berkembang, tempat tekanan terhadap perkembangan ekonomi sangat kuat. Asumsinya bahwa perkembangan ekonomi tidak mungkin dilaksanakan tanpa dukungan tenaga kerja yang terampil (berpikir ilmiah, bertindak profesional, serta etis dalam hubungan sosial). Dalam pada itu pemerataan kesempatan pendidikan merupakan tuntutan bangsa yang berdemokrasi dan berorientasi kerakyatan. Karena itu sifatnya lebih politis. Bentuk aksinya adalah kewajiban belajar. Pendekatan effektivitas menegaskan pentingnya efisiensi dalam pemanfaatan dana, sehingga kemampuan budget pemerintah atau suatu negara termanfaatkan secara cermat dan optimal.

Pada pendekatan “man power model”, inti persoalannya terletak pada estimasi kebutuhan ekonomi nasional (atau bagiannya) terhadap sumber daya terlatih. Estimasi ini tidak hanya sekedar dimaknai aggregate (aggregate terms) namun juga terms pada level tertentu dari kualifikasi dan periode waktu tertentu,sehingga kegiatan pendidikan dapat memenuhi kebutuhan nasional dalam hal tenaga kerja. Dalam kaitan ini para perencana pendidikan harus fokus pada hasil survey tenaga kerja pada setiap objek yang dibidangi tiap departemen.

  Kesukaran yang dihadapi dalam model perencanaan demikian adalah menetapkan hubungan antara kualifikasi pendidikan dengan kebutuhan skill, kecerdasan, dan perilaku dari jenis-jenis pekerjaan tertentu. Terlebih manakala dikaitkan dengan perubahan kegiatan ekonomi yang berjalan cepat, mememrlukan sumber daya yang juga cepat, sementara lulusan pendidikan memerlukan waktu yang cukup lama, baik dalam proses pendidikan, ataupun dalam beradaptasi dengan lingkungan dan tempat kerja. Berdasarkan alasan dan mungkin pikiran-pikiran lainnya “there has been a marked decline in the degree to which manpower models” digunakan sebagai strategi perencanaan pendidikan.

Prinsip utama pendidikan sebagai “industri” tenaga kerja adalah adanya keterkaitan lulusan sistem pendidikan dengan tuntutan terhadap tenaga kerja pada berbagai bidang  pembangunan seperti bidang  industri, ekonomi, pertanian, perdagangan dan bidang pendidikan sendiri.  Visi demikian terhadap dunia pendidikan melahirkan misi khusus yakni kesejahteraan atau peningkatan kualitas hidup individu peserta pendidikan dan masyarakat tempat individu terdidik tersebut berkarya.

Tantangan yang dihadapi para perencana pendidikan dalam pendekatan ini adalah bagaimana memprediksi jenis dan bidang-bidang pekerjaan masa yang akan dating saat si terdidik selesai mengikuti proses pendidikan. Banyaknya sarjana ilmu-ilmu sosial khususnya sarjana ilmu pendidikan yang menganggur pada akhir dekade 2000an, menunjukkan ketidak sinkron-an antara perencana pendidikan dengan perkembangan dunia kerja. Hal ini disebabakan pertama, melesetnya prediksi kebutuhan tenaga kerja. Kedua, kecepatan perkembangan perubahan dunia kerja sementara proses pendidikan memerlukan waktu yang cukup panjang. Ketiga, kesalahan birokrasi karena terkena penyakit korupsi, kolusi dan nepotisme dalam memberikan ijin pendirian perguruan tinggi. Keempat, kesulitan para penyelenggara pendidikan untuk menyiapkan fasilitas program pendidikan yang dibutuhkan masyarakat lantaran visi dan keterampilan manajemen pendidikan yang lemah.

Diperlukan koordinasi dalam mendisain pembangunan secara makro sehingga terjadi relevansi antar bidang pembangunan, yang dalam kaitan ini adalah relevansi bidang pendidikan dengan bidang pembangunan ekonomi, hukum, budaya, industri, politik, hubungan antar negara, pendidikan dst.nya.  

Pada umumnya saat periode awal pembangunan tuntutan terhadap keterampilan tenaga kerja bidang teknologi sangat dominan. Namun serentak warga masyarakat menikmati hasil teknologi, akan sangat banyak bermunculan tuntutan tentang kejelasan hukum. Idealnya perangkat hukum tersebut disediakan lebih dahulu daripada perangkat keras yang dibangun teknologi. Namun di Negara Indonesia hal ini kurang terantisipasi, sehingga perangkat hukum dikembangkan sesudah adanya kejadian yang dianggap menyimpang rasa keadilan masyarakat, jadi kurang antisipatif.

Implikasi praktis dari manpower approach ini adalah tuntutan kecanggihan rekayasa kurikulum. Kurikulum harus menyiapkan lulusan yang siap pakai di pasaran kerja. Untuk itu kurikulum harus berisi berbagai hal yang berkaitan dengan persyaratan kerja, jenis dan tingkat pekerjaan, jenis dan tingkat keterampilan, cara model dan mobilitas kerja, dlsb.nya sedemikian rupa sehingga para lulusan pendidikan cocok dengan karakteristik dunia kerja yang akan dihadapi.

Di bawah ini dikemukakan bagaimana karakteristik dunia kerja managerial di bidang pendidikan mengalami perubahan paradigma yang sangat dahsyat  pada satu dekade terakhir ini, yang pasti akan sangat mempengaruhi penyusunan kurikulum bidang studi yang terkait dengan manajemen pendidikan. Pada saat yang sama perlu ada penekanan khusus tentang gaya kepemimpinan paradigma baru yang dengan itu memberikan peluang keberhasilan lebih baik sesuai dengan karakteristik masyarakat yang telah berubah sesuai dengan perubahan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang memiliki pengaruh besar terhadap perubahan mental, harga diri serta tinjauan terhadap martabat hidup sebagai manusia.

Transformation Of Higher Education Management (UNESCO)

 

CHARAC              OLD PARA               NEWPARA TERISTIC                       DIGM                         DIGM         

 

STRATEGY            Planned                 Enterpreneurial

STRUCTURE          Hierarchy                  Network

SYSTEM                 Rigid                      Flexible

STAFF                     Title + Rank             Helpful

STYLE                    Probl.Solving         Transformational

SKILLS                   To compete              To build

Shared Values        Better – Sameness    Meaningfull-Difference

FOCUS                   Syst-Institution         Instit-Individual

Source Of Strength Stability                    Change

LEADERSHIP        Dogmatic                  Inspirational

 

Gaya Kepemimpinan Transformational, adalah gaya kepemimpinan yang mengutamakan pemberian kesempatan dan atau mendorong semua unsur yang ada dalam unit akademik untuk bekerja atas dasar system nilai yang luhur sehingga semua unsur (dosen, mahasiswa, pegawai, ortu, masyarakat dsb.nya) bersedia berpartisipasi secara optimal dalam mencapai tujuan ideal urusan atau program studi. Adapun ciri-cirinya adalah sebagai berikut.

 Pertama, mengidentikasikan diri sebagai agen perubahaan; 

kedua, memiliki sifat pemberani; 

ketiga, mempercayai orang lain;

keempat, bertindak atas dasar system nilai (bukan atas dasar kepentingan individu, atau atas dasar kepentingan dan desakan kroninya);

kelima, meningkatkan kemampuannya secara terus menerus sepanjang hayatnya; 

keenam, memiliki kemampuan untuk menghadapi situasi yang rumit, tidak jelas, dan tidak menentu;

ketujuh, memiliki visi ke depan[2]. 

5. Analisis Biaya Dan Keuntungan (Cost Benefit Analysis).

Pendekatan Analisis Biaya Dan Keuntungan (Cost Benefit Analysis), disebut juga The rate of return model, yang menggambarkan investasi sebagian masyarakat atau individu untuk menaikkan pendapatan investor. Karena itu model ini terkait dengan konsep-konsep tehnik dan penelitian mengenai ekonomi pendidikan. Perdebatan difokuskan pada konsep dan tehnik pengukuran. Pertanyaan paling pentingnya adalah hakikat dan penyebab perbedaan antara kembalian biaya  pada masyarakat dan individu. Keragaman tingkat pengembaliaan modal pada tingkat dan sektor pendidikan tertentu, jenis pria dan wanita, serta peran pendidikan dalam masalah politik dan simbol-simbol kehidupan social.

Prinsip utama pendidikan melalui perhitungan untung rugi adalah pendidikan merupakan investasi sumber daya manusia (human capital investment). Karena itu biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan pendidikan harus dapat dikembalikan. Dalam skala kecil seperti individu atau rumah tangga, perhitungan tentang  hal ini demikian bukan sesuatu yang sukar. Namun dalam skala nasional, perhitungannya cukup rumit. Pertanyaan pokoknya adalah bagaimana logika pembangunan pendidikan terkait dengan logika pertumbuhan ekonomi?

Diakui bahwa terdapat kesukaran menentukan besaran kontribusi pembangunan pendidikan terhadap pembangunan ekonomi. Hal ini selain karena hasil akhir pendidikan merupakan resultante dari berbagai faktor interaksi, pada sisi lain diakui hasil akhir ekonomipun terkait pada berbagai faktor. Namun secara sederhana tidak dapat dipungkiri keniscayaan adanya kontribusi pendidikan terhadap pembangunan ekonomi. Keterangannya adalah sebagai berikut.

Pertama pembangunan ekonomi dilaksanakan oleh manusia.

Kedua, diantara faktor dominan yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi adalah keterampilan sumber daya manusia, ilmu pengetahuan, dan teknologi.

Ketiga, bahwa pengembangan ketiga faktor dalam butir dua tersebut, dikembangkan secara lebih terencana, terukur, terobservasi, serta lebih bertanggung jawab dalam dunia pendidikan.

Keempat, bahwa negara-negara yang rakyatnya berpendidikan baik, ternyata mempunyai pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dibanding dengan negara yang rata-rata rakyatnya berpendidikan rendah dan buruk. Karena itu lembaga pendidikan yang bermutu baik, kebanyakan di negara-negara maju, negara-negara yang rata-rata pendapatan perkapitanya tinggi.

Kelima, secara umum terdapat indikasi kuat yang menegaskan semakin tinggi jenjang pendidikan yang dilalui, semakin tinggi tingkat pendapatan yang diperoleh.

Keenam, secara umum terdapat indikasi kuat yang menegaskan semakin terkait suatu bidang ilmu dengan pengembangan keterampilan yang menghasilkan pendapatan tinggi, semakin banyak diminati orang.

Dalam kaitan dengan butir lima dan enam itulah, banyak penyelenggara pendidikan yang memprioritaskan penyelenggaraan program studi jenjang menengah dan tinggi yang terkait langsung dengan keterampilan berpikir dan berkarya bernilai ekonomi tinggi. Sesuatu yang sangat berbeda manakala diperbandingkan dengan sikap penyelenggara pendidikan terhadap program studi yang bernilai ekonomi rendah, walau sangat diperlukan bagi pembangunan idiologi atau sikap hidup bermasyarakat.

Ciri utama keterkaitan jenis program studi dengan nilai ekonomi tersebut adalah jenis ketenaga-kerjaan yang diperlukan masyarakat ekonomi, bisnis, dan industri. Persoalan mendasar dalam hal ini adalah tidak stabilnya pertumbuhan ekonomi, serta kurang cerdasnya memprediksi jenis dan tingkat keterampilan berpikir dan bekerja yang dibutuhkan untuk pertumbuhan ekonomi, atau perolehan penghasilan lulusan. Pada tingkat individu lulusan, contoh paling monumental adalah program studi hukum. Pada saat belum terkait dengan penanganan kejahatan ekonomi dan politik, pamor mereka kurang bersinar, namun begitu banyak kasus ekonomi dan politik tingkat nasional mencuat, serta pakar-pakar hukum masuk ke gelanggang persilatan adu argument untuk memenangkan klien para konglomerat dan pejabat-pejabat tinggi dan malah pejabat lembaga tinggi negara yang untuk menangani satu kasus saja, sudah bernilai ekonomi ratusan juta dan malah milyaran rupiah, maka pamor jenis program studi ini terangkat naik ke atas.

Penegasan lebih lanjut dari bagian pendekatan ini adalah Pendekatan Effektivitas Biaya (Cost Effectiveness Approach). Prinsip utamanya adalah keharusan pelaksanaan pendidikan dengan biaya serendah-rendahnya dan hasil yang setinggi-tinggi nya, baik mutu maupun jumlah. Tentu saja pendekat an ini memerlukan kecanggihan manajemen yang tidak sederhana. Hal yang sangat memprihatinkan justru pada negara-negara miskin kemampuan manajemen ini merupakan titik lemah penyeleng garaan. Akibatnya menyedihkan yakni negara-negara miskin menghabiskan banyak biaya hasil menghu tang untuk penyelenggaraan pendidikan yang kjsutru kurang bermutu.

C. Dua Jenis Perencanaan

Berdasarkan macam-macam pendekatan tersebut, lahirlah dua jenis perencanaan, yakni (a) tehnocratic Education Planning, dan (b) Political or Conflictual Education Planning[3].

Pada jenis perencanaan pendidikan teknokrat, terdapat dua kelompok konseptor yakni kelompok pembuat kebijakan (policy making group) yang tugasnya menentukaan tujuan atau sasaran strategis, dan kelompok pembuat perencanaan (planning team) yang tugasnya merumuskan kebijakan tersebut pada konsep-konsep yang lebih operasional dengan cara-caranya yang tepat sasaran. Sedangkan perencanaan pendidikan yang sifatnya politis, kegiatan lebih terfokus pada latar belakang munculnya kebijakan strategis hasil para tehnokrat. Kiprah para perencana adalah bagaimana mewadahi semua kepentingan politisi atau kelompok penekan atau kelompok kepentingan sehingga semuanya dapat terakomodasi kebutuhannya dalam satu kesatuan konsep kebijakan.

Permasalahan yang dilemmatik tentu saja bakal muncul manakala desakan politis tersebut memiliki kebutuhan yang beragama-ragam, dan malah bertentangan seperti pemenuhan tujuan eksternal dan tujuan internal. Tujuan internal pada umumnya berorientasi pada konsistensi dalam perluasan pendidikan sementara tujuan eksternal biasanya lebih berorientasi pada perubahan masyarakat secara cepat. Manakala hal itu harus dicapai secara serempak dalam satu nafas kegiatan pendidikan, kemungkinannya adalah salah satu bagian mengalami sedikit gangguan.

Hal lain yang perlu jadi perhatian para perencana pendidikan adalah kegiatan politik mengimplikasikan pergantian pemeran politik yang punya effek terhadap pergantian kebijakan politik. Manakala penentu peran politik dikuasai oleh suatu kekuatan mayoritas, kecenderungannya adalah perencanaan pendidikan bersifat outhoritative atau quantitative planning yang sangat rasional. Sementara manakala penentu peran politik merupakan hasil koalisi (yang kemudian melahirkan pluralisme kebijakan) maka kebijakan-kebijakan dasar pendidikan harus mengakomodasi semua partisipan politik.

Model inilah yang disebut Participatory Planning. Gerakan partisipatori di Indonesia pada tahun-tahun sesudah gerakan reformasi yang disponsori Amin Rais (1998) sangat fenomenal sekali, apalagi hal ini kemudian diperkuat oleh konsep otonomi daerah yang lebih memberi peluang dalam pembuatan kebijakan secara desentralisasi.

Pada tahun-tahun mendatang (2004 ke atas) participatory planning punya kecenderungan semakin menguat. Asumsinya adalah model ini (a) lebih demokratis dilihat dari peluang setiap kelompok orang dapat ikut berpartisipasi menentukan kebijakan; (b) Aspirasi rakyat lebih terserap, dan karenanya kebijakan yang dihasilkan lebih representatif. Hal ini karena struktur kekuasaan lebih meluas dan karenanya pusat-pusat penentu kebijakan lebih varian; (c) Kebijakan lebih kaya nuansa, sebab mendapat kontribusi dari berbagai nilai, harapan, tujuan, dan aspirasi kelompok-kelompok masyarakat.

Namun demikian participatory planning model ini mendapat kesukaran manakala diperhadapkan kepada pemisahan dua kelompok secara tegas, yakni planning team dengan policy makin group dalam struktur kekuasaan. Sebab essensi dari participatory palnning justru adanya penyatuan diantara keduanya supaya kesulitan yang kemungkinan muncul di lapangan dapat dihindarkan. Kesukaran lain dari participatory planning adalah orientasi perencanaan yang biasanya (karena harus mewadahi semua aspirasi secara segera) terlalu berjangka pendek. Padahal dunia pendidikan adalah dunia yang bekerja dalam jangka panjang untuk menentukan generasi pelanjut. Sebaliknya dengan pendekatan teknokratis yang menekankan quantitative planning jangka panjang, mengurangi adanya fleksibilitas pada saat tantangan dan kebutuhan berubah cepat lantaran perubahan sosial yang juga sangat cepat.

Dengan demikian persoalan diantara dua pendekatan tersebut adalah bagaimana participatory planning dapat membuat proyeksi bagi perkembangan masa depan yang panjang di satu sisi, serta bagaimana pendekatan teknokratis dapat mengadopsi tuntutan kebutuhan yang berubah seiring dengan perkembangan kebutuhan masyarakat yang akselerasinya semakin cepat.

Dalam kaitan ini sesuai dengan proses perkembangan berpikir dalam perencanaan pendidikan, para perencana hendaklah mengkaji secara cermat hal-hal sebagai berikut.

(a) kepentingan berbagai kekuatan politik, yang menentukan secara signifikan putusan kebijakan atas perencanaan, baik tecknokratik maupun partisipatori;

(b) struktur sistem manajemen pendidikan yang dikembangkan, sebab hal ini akan menentukan letak, posisi, fungsi para perencana dalam mengerjakan tugasnya. Sistem manajemen pendidikan di negara yang bersifat sentralistik, posisi perencana terletak di tingkat nasional, namun pada negara yang bersifat disentralisasi, perencana berada di pusat dan di daerah dengan masing-masing garapan yang berbeda; dan

(c) berbagai disiplin ilmu yang mempengaruhi pendekatan perencanaan pendidikan. Sebagaimana diketahui di atas, pendekatan ilmu ekonomi ternyata jauh berbeda dengan pendekatan ilmu sosial.

D. Perencanaan Pendidikan dan Penelitian

Penelitian yang sistimatik berkenaan dengan proses maupun hasil  perencanaan pendidikan sangat sedikit sekali. Publikasi lebih banyak dalam bentuk handbook (David, 1980, Lewis, 1980, Chesswas, 1969) atau kritik (Weiler, 1980, Levin, 1980), kondisi yang mesukseskan atau menggagalkan perencanaan. Namun belum ada judul berkenaan dengan temuan yang ekstensif dan sistimatik, tidak terkecuali dari IIEP (International Institute of Educational Planning). Padahal kepentingan riset ini sangat substantive, khususnya berkenaan dengan pendidikan dan pengembangan, atau pendidikan dan perubahan social yang langsung atau tidak langsung akan memperbaiki pengertian tentang kondisi, tantangan, dan jalan keluar atau jalan buntunya perencanaan pendidikan.

Disini perlu ditegaskan bahwa disain perencanaan pendidikan dapat melalui antisipasi dan proyeksi perubahan social, hubungan  antara pengembangan sistem pendidikan dan proses perubahan ekonomi dan social. Walau tidak langsung semuanya tetap relevan, penting dan diperlukan untuk perencanaan pendidikan[4].

Beberapa issue yang perlu dalam penelitian perencanaan pendidikan adalah hubungan pendidikan dan pekerjaan, peran wanita di dunia pendidikan, hubungan antar pendidikan dan Negara, kesamaan dalam pendidikan, perbedaan regional dalam pendidikan, dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang relevan.

E. Issu dan Dilemma dalam Perencanaan Pendi dikan

Kritik terhadap perencanaan pendidikan -- sebagai instrument perubahan dan reformasi sistem pendidikan-- terfokus kepada cara dan  praktek perencanaan.

Pertama, bahwa perencanaan pendidikan telah membatasi diri pada tugas memproyeksi masa depan, tanpa ada greget pada upaya implementasi pengembangan tersebut;

Kedua, bahwa banyak perencanaan pendidikan yang tidak lebih dari sekedar tulisan tanpa implementasi;

Ketiga, pada sifat khirarkis dari kegiatan perencanaannya.

Kritik-kritik tersebut membuktikan pertama, kurang luasnya partisipasi yang mempengaruhi hasil perencanaan, dan kedua kurangnya fasilitas perencanaan. Kritik yang lebih serius lagi ditujukan pada konvensi kerjanya  yang cenderung bersifat non teknis. Ditengarai pada saat ada klaim bahwa kekuatan politik bersifata netral dalam tehnik perencanaan, namun pembuatan perencanaan pendidikan memiliki peran penting dalam melegitimasi struktur yang ada dari kekuatan politik. 



[1]    Husen, Torsten and Postlethwaite, T. Neville (1985), The International Encyclopedia of Education, Research and Study, Pergamon Pers Ltd. 1985. p.3923-3925.

[2]  Luthans, 1995. Organizational Behaviour, (7th ed.), New York, McGraw-Hill, Inc. 1995:358

[3]  Fakry Gaffar, Mohammad, (1987) Perencanaan Pendidikan : Teori dan Metodologi, Jakarta: Depdikbud Dirjen Dikti.

 

[4]   Husen, ibid, hal. 3925.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selamat Datang di Website Imas Siti Nurjanah " Pendidikan, Kepramukaan, Materi SMP/MTS, Perangkat Pembelajaran" Kunjungi Youtube kami di Https://bit.ly/YT-ImasSN