Kamis, 19 Mei 2022

Globalisasi Dan Perbenturan Antar Peradaban

 

Globalisasi Dan Perbenturan Antar Peradaban

 

A. Wajah Globalisasi dan Peradaban Masa Kini; Sebuah Prolog

1. Definisi globalisasi

            Kita sering mendengar istilah globalisasi, tetapi kiranya perlu kita lebih memahami arti globalisasi serta dampaknya. Globalisasi telah menjadikan dunia ini suatu "borderless area", yang tidak tersekat-sekat lagi oleh batas wilayah dan daerah. Menurut arti harafiahnya, globalisasi adalah suatu proses, suatu perubahan, suatu fenomena yang mendunia (meng-global). Masyarakat tidak lagi terkotak-kotak dalam kelompoknya sendiri, tetapi telah berubah menjadi suatu masyarakat global atau masyarakat dunia.

                        Dalam bahasa sederhana globalisasi merupakan fenomena kehidupan manusia yang menafikan sekat-sekat geografis. Beberapa ahli mencoba mendefinisikan istilah globalisasi dengan cara pandang yang berbeda. Globalisasi  merupakan istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi bias (http://id.wikipedia.org/wiki/Globalisasi).

                        Banyak sejarawan yang menyebut globalisasi sebagai fenomena di abad ke-20 ini yang dihubungkan dengan bangkitnya ekonomi internasional. Padahal interaksi dan globalisasi dalam hubungan antarbangsa di dunia telah ada sejak berabad-abad yang lalu. Bila ditelusuri, benih-benih globalisasi telah tumbuh ketika manusia mulai mengenal perdagangan antarnegeri sekitar tahun 1000 dan 1500 M. Saat itu, para pedagang dari Tiongkok dan India mulai menelusuri negeri lain baik melalui jalan darat (seperti misalnya jalur sutera) maupun jalan laut untuk berdagang.

            Globalisasi berlangsung cepat dan serentak dan mencakup berbagai bidang kehidupan umat manusia: ekonomi, teknologi, sosial budaya dan politik dan sebagainya. Meskipun demikian, istilah globalisasi seringkali lebih ditujukan kepada bidang ekonomi dimana kekuatan-kekuatan ekonomi nasional telah terintegrasikan sedemikian rupa sehingga menjadi suatu kekuatan ekonomi global. Hal ini terjadi melalui perdagangan, investasi, aliran modal, migrasi penduduk serta penyebaran teknologi.

            Thomas L. Friedman mengemukakan, globalisasi telah mengubah dunia menjadi "datar" dan "terbuka". Perdagangan global, out-sourching, jaringan distribusi dan kekuatan-kekuatan politik telah membawa perubahan bagi dunia, baik perubahaan yang berdampak positif maupun yang negatif. Globalisasi berlangsung cepat dan tidak dibisa dicegah; dan membawa pengaruh yang besar terhadap organisasi dan praktek-praktek perusahaan. Sementara itu Gordon Mathis dalam bukunya "Understanding the Postmodern World" mengutarakan bahwa globalisasi merupakan suatu revolusi masyarakat dan umat manusia dewasa ini.

 

2. Dampak Globalisasi

            Sangat banyak dampak yang ditimbulkan oleh globalisasi dan mengenai hampir semua segi kehidupan umat manusia dan tata hubungan antar masyarakat, antar bangsa dan negara. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:

            Di bidang Ekonomi, terjadilah pasar global sebagai akibat bebasnya pertukaran barang dan modal. Dalam kaitan ini, maka di bidang Industrial (trans nationalization), muncullah pasar-pasar bagi produk-produk dunia, dan akses yang lebih luas kepada produk-produk asing bagi konsumen dan perusahaan-perusahaan dalam negeri. Terjadi perpindahan atau pergerakan material dan barang-barang di antara dan dalam perusahaan-perusahaan transnasional. Fenomena lain yang juga terjadi adalah lebih mudahnya akses kepada barang-barang oleh negara-negara dan/atau orang-orang kaya dengan beban biaya yang ternyata harus ditanggung oleh negara-negara yang miskin dan/atau orang-orang yang hanya memasok tenaga kerja semata. Sementara itu di bidang Finansial, muncullah pasar-pasar finansial dunia dan akses yang lebih baik kepada keuangan dunia. Akan tetapi sejalan dengan itu terjadilah inflasi yang dapat menggerogoti kekayaan investor, menurunkan harga komoditi dan barang-barang. Ini semua adalah akibat dari perdagangan bebas.

            Di bidang Politik, globalisasi telah menciptakan suatu pemerintahan dunia (world government) yang mengatur tata hubungan di antara negara-negara dan bangsa-bangsa. Salah satu dampak globalisasi politik adalah bahwa Amerika Serikat telah tampil sebagai kekuatan politik utama di dunia, karena negara itulah yang paling kuat ekonominya dan yang paling makmur rakyatnya. Akan tetapi akibat dari globalisasi juga maka negara China mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Dan kalau China terus dapat mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonominya yang sangat tinggi seperti saat ini maka dalam waktu 20 tahun ke depan diperkirakan akan terjadi perubahan pada peta kekuatan dunia, di mana China dapat menikmati kemakmuran, kemajuan industri dan teknologi yang mampu bersaing dengan Amerika untuk memperebutkan posisi kekuatan utama dunia. Kawasan dunia lainnya seperti Uni Eropa, Rusia dan India pun akan ikut mempengaruhi perkembangan politik dunia masa depan.

            Di bidang Sosial - makin mudahnya orang untuk bepergian ke mana-mana, menyebabkan bahwa orang-orang yang kaya dari negara-negara makmur banyak melakukan perjalanan, sebaliknya orang-orang miskin yang jumlahnya lebih banyak dan berada di negara-negara berkembang tidak dapat menikmati perjalanan atau kunjungan-kunjungan. Di bidang Kebudayaan - bertumbuhnya kontak-kontak antar budaya sehingga menimbulkan kesadaran dan identitas budaya, serta sikap dan perilaku untuk saling menghargai, senang menikmati produk dan budaya asing, menerapkan praktek dan teknologi baru dan berpartisipasi dalam suatu "budaya dunia".

            Di bidang Informasi (Informational) - meningkatnya aliran informasi sampai ke lokasi-lokasi yang paling terpencil di bumi. Ini merupakan akibat dari perubahan teknologi menyusul penggunaan serta optik dalam industri komunikasi, satelit dan meningkatnya penggunaan telepon dan Internet.

            Di bidang Lingkungan - tantangan lingkungan global hanya bisa dihadapi dan dipecahkan dengan kerjasama internasional, seperti misalnya perubahan iklim akibat pemanasan global, polusi udara, penerobosan batas-batas perairan, serta penangkapan ikan di lautan.

 

3. Globalisasi; Antara Ancaman, Tantangan dan Peluang

            Apakah globalisasi ini merupakan suatu tantangan (treat) ataukah peluang (opportunity), sangat tergantung kepada bagaimana orang menghadapi atau menyikapinya. Berbagai upaya harus dilakukan untuk menghadapi tantangan tersebut, dan sekaligus memanfaatkan peluang-peluang yang dibawa oleh globalisasi.

            Sebagai contoh di bidang ekonomi adalah terjadinya pasar dunia yang bebas dan terbuka. Peluang pasar bebas ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk mengembangkan industri dan menghasilkan produk-produk yang diserap pasar. Hal yang sama juga seharusnya terjadi di bidang industri dan finansial. Untuk ini memang sangat diperlukan masyarakat dan kalangan dunia usaha yang kreatif dan inovatif untuk dapat menjadi pemain dalam era globalisasi ini agar tidak terdesak dan hancur.

            Di bidang sumber daya manusia khususnya, terjadi persaingan yang sangat ketat untuk memperebutkan lapangan pekerjaan yang semakin sempit. Oleh karena itu, sumber daya manusia kita harus mampu bertarung dalam persaingan itu. Jika tidak, maka lapangan pekerjaan akan direbut oleh orang lain yang lebih potensial dan kompeten.

            Globalisasi sudah ada di sini, di tengah kita. Kita tidak bisa menolak atau menghindarinya begitu saja. Kita justru harus masuk ke dalamnya dan ikut bermain bersama, menjadikan setiap tantangan globalisasi itu sebagai peluang. (sumber: Wikipedia)

 

4. Hakikat Peradaban

            Peradaban mengambil padanaan kata civilization yang berarti nilai hidup satu kelompok atau bangsa dalam merespon tantangan masa yang dihadapinya dalam era tertentu (Oxford Dictionary English by Hassan Sadhly :2003).

            Pada pengertian di atas sekurang-kurangnya ada 3 (tiga) inti, yaitu: pertama nilai, kedua kelompok tertentu, dan ketiga tantangan zaman.  Pengertian demikian memungkinkan respons suatu kelompok orang akan berbeda dengan kelompok lainnya. Juga bisa tantangan zaman berbeda maka nilai yang dipakai berbeda pula. Dengan demikian, penegakan satu peradaban tergantung pada kelompok dengan nilai yang dianutnya, serta tantangan zamannya. Repons dengan cara berbeda itu bahkan yang tidak beradab sekalipun dimungkin bisa terjadi.

Dalam falsafah negara kita salah satu silanya adalah “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.” Maksudnya pandangan hidup bangsa Indonesia mestilah menegakkan nilai-nilai kemanusiaan berupa nilai agama, kebebasan serta kemerdekaan dengan cara adil dan melalui cara yang benar sesuai dengan kepantasan sopan santun.

            Nilai agama merupakan sesuatu yang tak terpisahkan dari upaya mencari manusia yang beradab tersebut. Bentuknya adalah dalam fungsinya sebagai manusia dalam peradaban. Tegasnya, seorang manusia menjalankan agamanya dalam peradaban. Atau menghadirkan ajaran Tuhan dalam dimensi sejarah, dimensi ilmu, dimensi demokrasi, dan dimensi militer, sehingga kita melihat wajah Tuhan itu ada dalam sejarah, ada dalam ilmu dan teknologi, ada dalam demokrasi, dan ada dalam konsep militer. Fungsi ajaran Allah Swt itu ada dalam peradaban manusia.

 

B. Globalisasi dan Pendidikan

1. Eksisitensi Pendidikan di Era Global

            Saat ini bangsa Indonesia sibuk melakukan reformasi di bidang politik, ekonomi dan hukum, meskipun tak kunjung sampai pada substansinya. Dalam proses reformasi yang sedang berlangsung ini, ada gejala ke arah dilupakannya peran pendidikan. Hal ini sungguh amat berbahaya, yang ongkosnya di masa mendatang harus dipikul oleh seluruh komponen bangsa berupa keterbelakangan dan "kebodohan" kolektif. Tulisan ini hanya ingin sekadar mengingatkan akan munculnya bahaya tersebut, terutama dalam wacana kehidupan global abad ke-21.

            Membangun sektor pendidikan tidak akan pernah selesai dan tuntas, sepanjang peradaban manusia itu masih ada. Karena jika suatu bangsa selesai menangani satu masalah pendidikan, akan tumbuh lagi masalah lain yang baru dalam peradaban itu. Hal ini terjadi karena tuntutan jaman selalu berubah, sebagaimana juga pernah digambarkan oleh John F Kennedy dalam sebuah metafora. Change is a way of life. Those who look only to the past or present will miss the future.

            Proses pendidikan tidak hanya sekadar mempersiapkan anak didik untuk mampu hidup dalam masyarakat kini, tetapi mereka juga harus disiapkan untuk hidup di masyarakat yang akan datang yang semakin lama semakin sulit diprediksi karakteristiknya. Rowan Gibson menggambarkan betapa sulitnya memprediksi masa depan dalam sebuah ungkapan berikut: The lesson of the last three decades is that nobody can drive to the future on cruise control.

            Kesulitan memprediksi karakteristik masyarakat yang akan datang disebabkan oleh kenyataan bahwa di era global ini perkembangan masyarakat tidak linier lagi. Perkembangan masyarakat penuh dengan diskontinuitas. Gambaran seperti ini secara lebih lugas lagi juga dijelaskan oleh Rowan Gibson dalam rangkaian kalimatnya sebagai berikut: The fact is that the future will not be a continuation of the past. It will be a series of discontinuities. But in order to grab hold of the future we have to let go of the past. We have to challenge and, in many cases, unlearn the old model, the old paradigms, the old rules, the old strategies, the old assumptions, the old success recipes.

            Oleh karena itu, keberhasilan kita masa lalu belum tentu memiliki validitas untuk menangani dan menyelesaikan persoalan pendidikan masa kini dan masa yang akan datang. Dalam bidang pendidikan politik bagi masyarakat pun kita juga tidak perlu mengandalkan keberhasilan masa lalu. Bahkan untuk kondisi seperti saat ini kita perlu merenungkan secara dalam, dan merefleksikan ungkapan Rowan Gibson yang disebutkan terakhir itu agar kita mampu melupakan luka lama, menghilangkan dendam-dendam lama, dan belajar meninggalkan paradigma lama, model lama, agar akhirnya kita mampu membangun masa depan secara bersama demi kemaslahatan masyarakat, bangsa, dan negara. Oleh karena itu, menurut Prof. Suyanto, dalam menghadapi globalisasi diperlukan adanya; pertama, pengembangan teknologi informasi, kedua mengadakan inovasi nasional.

 

1.a. Pengembangan teknologi informasi

            Dalam kehidupan global batas-batas negara secara fisik-geografik menjadi tidak penting lagi. Justru faktor yang paling penting bagi eksistensi suatu bangsa adalah dikuasainya teknologi informasi. Dengan adanya berbagai penemuan dalam bidang teknologi informasi, kekuasaan suatu negara dalam arti teritorial menjadi semakin kabur. Di sisi lain dengan teknologi informasi, kita juga dapat membelajarkan diri dalam suatu proses pendidikan yang bersifat maya (virtual). Hal ini membawa implikasi bahwa pendidikan nasional kita harus mampu mempersiapkan bangsa ini menjadi komunitas yang terberdayakan dalam menghadapi kehidupan global yang semakin lama semakin menggantungkan diri pada teknologi informasi. Kondisi ini pada akhirnya juga berakibat pada sistem kehidupan berbangsa dan bernegara yang mengutamakan pada pola kehidupan atas dasar prinsip interdependensi.

            Agar bangsa ini memiliki peran yang signifikan dalam konteks interdependensi kehidupan, baik yang terjadi dalam skala lokal, nasional, regional, maupun global, sistem pendidikan harus mampu memberdayakan masyarakat secara luas. Salah satu ciri masyarakat yang terberdayakan oleh sistem pendidikan ialah dimilikinya unggulan komparatif dan unggulan kompetitif dalam konteks global.

            Konsekuensinya, pendidikan harus dikonseptualisasikan sebagai suatu usaha dan proses pemberdayaan, yang benar-benar dan harus disadari secara kolektif, yang perlu dilakukan oleh individu, keluarga, masyarakat, dan juga pemerintah dalam rangka melakukan investasi masa depan bangsa, bukan sekadar upaya tambal sulam program yang tidak akan mampu memberdayakan masyarakat secara keseluruhan. Pendidikan sebagai investasi masa depan bangsa akan menjadi realitas dalam kebijakan dan praksis jika masyarakat, keluarga, dan pemerintah secara bersama memiliki kepedulian yang tinggi terhadap pencarian solusi bagi semua persoalan dan tantangan pendidikan yang kita hadapi saat ini dan masa-masa yang akan datang.

            Interdependensi kehidupan menuntut adanya saling percaya (mutual trust) di antara sesama manusia. Oleh karena itu, pendidikan nasional harus mampu menanamkan nilai-nilai (values) kepada seluruh lapisan masyarakat agar memiliki sikap hidup yang toleran, saling mempercayai satu sama lain, sehingga pada akhirnya masyarakat kita memiliki kemampuan untuk hidup dalam berbagai bentuk pluralitas kehidupan.

 

1.b. Inovasi Nasional

            Dalam sistem kehidupan global seperti saat ini dan juga di masa yang akan datang, penguasaan teknologi informasi menjadi sangat penting bagi eksistensi dan perubahan suatu bangsa. Oleh karena itu, dilihat dari aspek relevansi, era global akan berdampak pada cepat usangnya hardware dan software bidang pendidikan. Dengan demikian sektor pendidikan harus diberdayakan setiap saat, berkelanjutan, dan tersistem. Ini semua menurut adanya kemauan dan niat yang kuat dari pemerintah untuk selalu menjaga tingkat unggulan kompetitif yang tinggi dari semua outcome pendidikan nasional.

            Untuk menciptakan unggulan kompetitif, kita memerlukan inovasi yang pesat dalam dunia pendidikan. Menjadi bangsa yang berharkat memerlukan unggulan kompetitif dalam berbagai bidang. Bukan jamannya lagi kita mengandalkan murahnya tenaga kerja untuk mendukung dan pembenar konsep unggulan kompetitif. Dalam konteks untuk menciptakan unggulan kompetitif outcome pendidikan, patut kiranya kita mengkaji pendapat Michael Porter dalam ungkapannya: ...the ability to sustain an advantage from cheap labor or even from economies of scale-these are the old paradigms. These paradigms are being superseded. Today, the only way to have an advantage is through innovation and upgrading.

            Analog dengan pendapat Porter tersebut, jika kita ingin menghasilkan berbagai unggulan kompetitif outcome pendidikan. Inovasi harus menjadi prioritas penting dalam pengembangan sektor pendidikan. Tanpa ada inovasi yang signifikan, pendidikan kita hanya akan menghasilkan lulusan yang tidak mandiri, selalu tergantung pada pihak lain. Dalam perspektif global, hasil pendidikan yang demikian itu justru akan menjadi beban bagi bangsa dan negara republik ini. Dengan demikian, pendidikan harus digunakan sebagai inovasi nasional bagi pencapaian dan peningkatan kualitas outcome secara berkelanjutan dan tersistem agar unggulan kompetitif selalu dapat dipertahankan.

            Strategi pembangunan nasional pada masa Orde Baru yang terlalu bertumpu pada pertumbuhan ekonomi ternyata tidak memiliki kekokohan dalam menghadapi krisis secara global maupun regional. Hal ini terjadi antara lain karena kurang adanya kebijakan pendidikan yang mengacu pada penyediaan kualitas sumber daya manusia yang memiliki unggulan kompetitif dalam skala global. Oleh karena itu, dalam membangun paradigma baru sistem pendidikan di era global abad 21, sektor pendidikan perlu difungsikan sebagai ujung tombak untuk mempersiapkan sumber daya manusia dan sumber daya bangsa agar kita memiliki unggulan kompetitif dalam berbangsa dan bernegara di tengah-tengah kehidupan dunia yang semakin global dan semakin banyak hal yang dapat dilakukan hanya secara virtual.

            Modal dasar bagi terbentuknya unggulan komparatif dan unggulan kompetitif ialah dimilikinya konsep diri dan kesadaran diri yang dalam proses belajar. Konsekuensinya, inovasi dalam wacana pembelajaran menuntut agar semua institusi pendidikan kita mampu menanamkan kemampuan tentang bagaimana belajar untuk belajar bukan belajar untuk menghafal dan belajar untuk tergantung kepada pihak lain. Dengan model pembelajaran seperti itu kreativitas dan tanggung jawab peserta didik akan muncul, dan oleh karena itu unggulan komparatif dan unggulan kompetitif akan dapat dibudayakan.

            Kelemahan proses pembelajaran selama ini terlalu menekankannya pada aspek kognitif. Dengan penekanan secara berlebihan pada aspek kognitif itu persoalan afektif yang terkait dengan sistem nilai kurang dapat dikembangkan. Hal ini berakibat pada lemahnya sistem nilai yang dimiliki oleh para peserta didik. Karena sistem nilai yang ada pada diri peserta didik lemah, akibatnya mereka kurang memiliki visi yang jelas mengenai masa depan mereka. Dengan kata lain, para peserta didik sebagian besar kurang memiliki sense of crisis, sehingga mereka kurang menyadari akan pentingnya memiliki unggulan kompetitif untuk mampu hidup dengan wajar di era global.

            Pendidikan nasional, oleh karena itu, perlu menanamkan kesadaran akan perlunya memiliki unggulan kompetitif di masa yang akan datang agar mereka mampu hZSWidup dalam konteks interdependensi. Tanpa memiliki visi yang jauh ke depan, kita akan terjerembab pada dependensi kehidupan. Jika hal ini terjadi, kita tidak akan mampu menjadi tuan di negara sendiri, dan dengan demikian tidak tertutup kemungkinan kita justru akan menjadi warga negara kelas dua di negara sendiri.

 

2. Potret Globalisasi  Pendidikan Indonesia

John Naisbitt (1988), dalam bukunya Global Paradox memperlihatkan hal yang justru bersifat paradoks dari fenomena globalisasi. Naisbitt
(1988) mengemukakan pokok-pokok pikiran lain yang paradoks, yaitu
semakin kita menjadi universal, tindakan kita semakin kesukuan, dan
berpikir lokal, bertindak global. Hal ini menurut Naisbit dimaksudkan
agar kita harus mengkonsentrasikan kepada hal-hal yang bersifat etnis,
yang hanya dimiliki oleh kelompok atau masyarakat itu sendiri sebagai
modal              pengembangan            ke        dunia   Internasional.

Apa yang dikemukakan Naisbit adalah wajah ganda globalisasi yang masuk pada wilayah pemikiran dan sosial. Sementara pada wilayah globalisasi
pendidikan wajah ganda itu juga terlihat dengan kasat mata. Misalnya
ketika semua bangsa sepakat mengumandangkan slogan “education for all”

justru globalisasi pendidikan menciptakan “education for rich people
only”. Hal ini bisa dicermati dari fenomena mahalnya biaya masuk
perguruan tinggi yang berkualitas dan berstandar internasional. Bahkan
perguruan tinggi negeri pun kini sulit terjangkau oleh semua rakyat
karena latah menjadikan dirinya BHMN mengikuti arus kapitalisme
pendidikan yang merupakan bagian penting dari tahap globalisasi
pendidikan tinggi.

            Wajah ganda itu pada akhirnya akan turut menciptakan kapasitas sosial
yang terbelah. Orang-orang berkualitas dan kompetitif  hanya akan
dimiliki oleh orang-orang kaya yang mampu membiayai pendidikan yang
mahal. Sementara belahan sosial yang lain adalah orang-orang yang
tidak berkualitas, tidak kompetitif dan hanya akan menjadi orang
pinggiran namun dalam kuantitas yang banyak. Keterbelahan kapasitas
sosial ini pada akhirnya akan berdampak pada makin lebarnya jurang
kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin.
Jika ini dibiarkan
maka persoalan sosial akan makin serius menghantui bangsa Indonesia.
Wajah ganda lain dari globalisasi pendidikan adalah semangat
internasionalisme yang tumbuh di perguruan tinggi yang bertaraf
internasional dan outcome-nya siap berkompetisi secara internasional
dengan bangsa-bangsa lain didunia. Namun di sisi lain nation character
building
  pelan-pelan tapi pasti akan terkikis melalui sejumlah
kurikulum yang berorientasi Barat. Budaya dan karakter bangsa menjadi
kehilangan ruhnya, dan budaya bangsa pada akhirnya kehilangan
energinya. Meski saat ini belum secara masif diterapkanya Model
Commercial Presence ala WTO di Indonesia, kita bisa mengamati betapa
karakter dan budaya bangsa sudah mulai kehilangan sebagian ruhnya
akibat globalisasi yang tak terbendung melalui tehnologi informasi
yang berkembang  secara dahsyat saat ini. Apalagi jika jelas-jelas
Perguruan Tinggi Asing (PTA) akan berdiri di seluruh Indonesia.   

            Persoalan globalisasi pendidikan di Indonesia jika diruntut ke
belakang maka terlihat betapa besar peran negara untuk melegalkan
proyek kapitalisme ini melalui UU No.7 tahun 1994 sebagaimana
dikemukakan pada awal tulisan ini. Dengan legalitas itu upaya untuk
menolak globalisasi pendidikan adalah upaya yang sangat sulit
dilakukan karena menyangkut politik nasional dan internasional. Sangat
sulit berarti bukan tidak bisa, kemungkinan untuk membendung
tantangan pendidikan Indonesia atau setidaknya meminimalisir dampak buruk
globalisasi pendidikan selalu saja ada kemungkinannya.
                        Siapa yang memiliki peran strategis membendung globalisasi
pendidikan dan tantangan pendidikan Indonesia? Di sinilah, negara dan
masyarakat kampus lah yang bisa mengambil peran strategis itu. Negara
melalui Departemen Pendidikan Nasional bisa membuat aturan main untuk
menolak Model Commercial Presence yang diyakini banyak kalangan
sebagai model yang paling berbahaya dari globalisasi pendidikan ala
WTO.

            Peran strategis lainya adalah peran yang harus dimainkan oleh
masyarakat kampus.
Mereka adalah kaum cendekiawan yang seharusnya
memiliki ikatan nurani yang kuat terhadap rakyat dan merasakan sejak
dini penderitaan rakyat banyak akibat globalisasi pendidikan.   Peran strategis lainya yang penting dimainkan oleh masyarakat kampus
adalah upaya keras untuk terus meningkatkan kualitas perguruan tinggi
sebagai bentuk perlawanan aktif terhadap agenda WTO tersebut. Bahwa
tanpa mengikuti Model Commercial Presence nya WTO pun perguruan tinggi
Indonesia bisa bersaing dikancah internasional.

 

3. Tantangan Dunia Pendidikan Menghadapi Globalisasi

            Secara tradisional pendidikan biasa diartikan sebagai upaya pewarisan kebudayaan  tertentu kepada peserta didik. Pewarisan nilai-nilai budaya tersebut bisa bersumber adat-istiadat, agama bahkan bisa berasal dari ideologi tertentu. Sebagai institusi yang sangat berpengaruh terhadap pembentukkan karakter manusia (character building) institusi pendidikan---baik yang formal, informal dan non-formal---merupakan sarana yang efektif bagi pewarisan kebudayaan tersebut. Melalui institusi maupun kegiatan pendidikanlah masyarakat atau suatu bangsa melakukan transmisi kebudayaannya dari satu generasi ke generasi berikutnya.

            Tetapi dalam konteks globalisasi sekarang pewarisan nilai-nilai budaya tersebut diatas menghadapi tantangan berat. Globalisasi, yang ditandai dengan kemajuan di bidang informasi, komunikasi dan transportasi, telah menyebabkan tatanan kehidupan menjadi sedemikian kompleks dan rumit. Kemajuan ketiga bidang tersebut juga menyebabkan sekat-sekat geografis antarbangsa menjadi tipis dan kabur,  bahkan menjadi hilang. Manusia kini ibarat hidup dalam sebuah desa-buana (global village), sebuah dunia yang tanpa batas ( boardless world) dimana pola dan lalulintas kehidupan warga dunia menjadi sangat terbuka dan bergantung satu dengan yang lainnnya. Konsekuensinya adalah warga dunia jadinya memiliki perhatian, kepedulian dan kesamaan pandangan terhadap isu-isu global seperti masalah HAM, demokrasi, gender, pemanasan global (global warming), kejahatan transnasional, kemiskinan, kerusakan ekologi dll. Tapi di sisi lain globalisasi ini juga berdampak buruk terhadap keberadaan nilai-nilai lokal (local wisdom) karena coraknya yang cenderung 'menyeragamkan'. Di sini, globalisasi yang bertumpu di atas sistem nilai Barat akan menjadikan Barat sebagai pusat (centrum), sementara nilai-nilai non-Barat berada di pinggiran (pheriperal). Jhon Naisbitt dan Aburdene misalnya, dalam bukunya Megatrends 2000, menyebutkan bahwa penyeragaman tersebut paling tidak terjadi pada 3 F  yaitu Food (makanan), Fashion (busana) dan Fun (hiburan).  

            Dengan mencermati tantangan globalisasi dewasa ini maka  pendidikan tidak dapat lagi diletakkan dalam pengertian tradisional seperti tersebut diatas tetapi memerlukan redefinisi. Oleh karena itu, apapun variasi  pengertian yang diberikan terhadap "pendidikan", yang jelas bahwa secara prinsip definisi pendidikan haruslah dikaitkan dengan  usaha untuk mengantar dan menyiapkan peserta didik untuk  menghadapi tantangan hidup masa depan yang makin kompleks tersebut.  Dengan kata lain, pendidikan bertugas untuk mengembangkan kesadaran atas tanggung jawab  setiap warga negara terhadap kelanjutan hidupnya, bukan saja terhadap lingkungan masyarakatnya dan negara  juga terhadap umat manusia (Tilaar, 2008: 4). Tilaar (2008: 78) menjelaskan bahwa tantangan pendidikan masa depan ditandai dengan ciri-ciri seperti: mementingkan kualitas;  mengutamakan persaingan untuk mencapai kualitas yang  semakin meningkat; semakin hilangnya nilai-nilai primer paguyuban dan merosotnya nilai-nilai spiritual; keragaman budaya yang semakin meningkat; dan munculnya tata nilai baru seperti intelektualisme kreatif; juga hedonisme dan individualisme.

            Menghadapi tantanan demikian, maka peran pendidikan tidak hanya terfokus pada penyiapan sumberdaya manusia yang  siap pakai tetapi juga harus menyiapkan sumberdaya manusia yang mampu menerima serta menyesuaikan dan mengembangkan arus perubahan yang terjadi dalam lingkungannya (Faisal 1995:131). Jika dikaitkan dengan konteks pendidikan Islam maka tantangan tersebut diatas  menghendaki visi dan orientasi pendidikan yang tidak semata-mata  menekankan pada pengisian otak, tetapi juga pengisian jiwa, pembinaan akhlak dan kepatuhan dalam menjalankan ibadah (Abuddin Nata 2007:83). 

 

C.    Pendidikan dan Tantangan Perbenturan Antar Peradaban

            Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa salah satu implikasi tak terhindarkan dari globalisasi adalah terjadinya penyeragaman warga dunia baik dalam pola pikir, gaya hidup, bahkan selera. Namun demikian, globalilsasi sendiri sebenarnya berwatak ganda: di satu sisi menyebabkan terjadinnya penyeragaman namun di sisi lain globalisasi juga membangkitkan sentimen bagi kebangkitan nilai-nilai dan budaya lokal. Di sini nilai-nilai dan budaya lokal yang merasa terancam digerus oleh globalisasi bangkit untuk melakukan perlawanan. Karena nilai-nilai yang dibawa globalisasi bersumber dari Barat---lebih khusus lagi Amerika Serikat---maka sulit dibantah bahwa pada akhirnya globalisasi identik dengan, dan atau lebih mencerminkan cita-rasa Barat.

                        Pada titik ini, globalisasi jadinya identik pula dengan westernisasi (pembaratan), dan ujungnya cenderung menjadikan Barat sebagai kiblatnya. Artinya globalisasi akhirnya menggiring warga dunia terutama dunia ketiga menjadi pemuja Barat (westomania) dimana Barat menjadi standar dalam segala hal baik sejak dari  model pembangunan, konstruksi keilmuan, teori ekonomi bahkan sampai kepada gaya hidup (lifestyle). Oleh karena itu, kesadaran akan ancaman globalisasi yan berwatak hegemonik tersebut telah memunculkan kesadaran untuk melakukan perlawanan. Di sini ancaman globalisasi tersebut telah melahirkan kesadaran sebagian warga dunia ketiga untuk kembali kepada akar-akar budaya mereka sendiri (dalam lapangan filsafat dan keilmuan, momentum ini kemudian bertemu dengan aliran Postmodernisme/Pascamodernisme yang di Barat sendiri cukup marak).

                        Oleh banyak kalangan, terutama Barat, kesadaran baru di atas dianggap berpotensi mengancam hegemoni nilai-nilai Barat yang sudah mapan selama ini. Dalam pandangan Barat, gerakan perlawanan tersebut tidak sekedar berjuang mempertahankan  nilai-nilai budaya lokal dari ancaman globalisasi tapi juga ingin menghancurkan serta mengganti nilai-nilai budaya Barat yang sudah ada. Dalam bentuknya yang kasat mata, perlawanan budaya itu tampak dari aksi-aksi terorisme yan dilakukan beberapa kelompok radikal di beberapa  belahan dunia.

                        Pada 1993 isu tentang perbenturan peradaban dunia ini akhirnya benar-benar menarik perhatian banyak orang menyusul tesis yang dikemukakan Samuel P Huntington, seorang ahli ilmu politik dari Universitas Harvard. Huntington mengelompokkan peradaban dunia saat ini menjadi beberapa kelompok  yaitu peradaban Barat, India,  Cina,  Jepang dan Islam. Menurutnya peradaban Cina (yang berbasis agama Konghucu) dan Jepang (yang berbasis Shinto) maupun India (yang berbasis Hindu) dianggap tidak begitu membahayakan Barat karena ketiga peradaban tersebut relatif  'toleran', fleksibel bahkan telah 'terintegrasi' ke dalam peradaban Barat yang berbasis Kapitalisme. Tapi Islam, menurut Huntington, menjadi satu-satunya peradaban yang dianggap paling resisten bahkan berpotensi melawan Barat.

                        Oleh karena itu, menurut Huntington setelah keruntuhan Komunisme, Islam menjadi satu-satunya ancaman bagi peradaban sekuler Barat. Karena itu pula dia merekomendasikan agar negara-negara  Barat bersatu, saling menbantu  serta mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna mengerem laju ancaman Islam tersebut. Dengan analisis tersebut Huntington berkesimpulan bahwa perbenturan peradaban ke depan akan terjadi antara Islam dan Barat (tentang gagasan dan respon terhadap gagasan Huntington lihat Jurnal Ulumul Quran No. 5 Vol. IV Thn 1993).

                         Adanya potensi benturan bahkan ancaman peradaban Islam tersebut dimungkinkan karena Islam memiliki sistem nilai dan ajaran yang lengkap dan komprehensif. Bahkan nilai-nilai tersebut dianggap lebih tinggi dari peradaban manapun. Menurut Ahmad Juwaini (1992:48), potensi perlawanan atau perbenturan peradaban Islam tersebut dimungkinkan karena: pertama, pada saat ini hanya keduanya yang memiliki massa cukup besar. Ideologi lain, kalaupun ada, tidak menghasilkan peradaban (hadharah). Kedua, arus globalisasi akan menyatukan dunia. Dan globalisasi Islam akan mengantarkan umatnya ke satu pandangan dan persepsi. Ketiga, di tengah kesimaharajaan kapitalisme, fakta yang ada menunjukkan  bahwa umat Islam di berbagai belahan negara sedang berupaya untuk menunjukkan eksistensninya (seperti kemenangan partai FIS di Aljazair; Mujahidin di Afghanistan, dll)

                        Oleh karena itu, sebagai bagian dari ajaran Islam yang bercorak rahmatan lilalamin, sistem pendidikan Islam jelas dihadapkan pada tantangan berat untuk merespon berbagai perkembangan tersebut. Di sini sistem pendidikan Islam, bersama sistem pendidikan lainnya, harus secara bersama-sama merumuskan satu formula yang memungkinkan terciptanya tatanan dunia (social order) yang damai, egaliter dan saling menghormati keragaman masing-masing. Dengan demikian, sistem pendidikan masa depan harus mampu melahirkan kesadaran global dan bercorak multikultural sehingga benturan peradaban (clash of civilization) sebagaimana diramalkan Huntington tidak terjadi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

D.    Kesimpulan

                       

                        Membincang Globalisasi berarti membincang hubungan antara manusia yang satu dengan yang lainnya, lintas agama, etnik dan ideologi. Dunia tidak lagi ada batas-batas Geograpi. Eksistensi manusia semakin dipertanyakan jika tidak membuat globalisasi sebagai sebuah peluang untuk maju.

                        Globalisasi merambah pada hampir semua lini kehidupan manusia tidak saja pada wilayah ekonomi, namun juga pada wilayah budaya dan pendidikan. Menurut Samuel Hutington bahwa budaya menjadi wilayah paling potensial untuk membuat budaya antar negara  saling bertemu dan berbenturan.

                        Begitu pun dalam wilayah pendidikan. Globalisasi menuntut pendidikan semakin maju, mengikuti arus informasi yang semakin hari kian berkembang. Pendidikan akan tertinggal jika masih menggunakan kerangka berpikit konvensional dan enggan menerima kemajuan sebagai sesuatu yang niscaya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

       

Abuddin Nata, 2007.

Manajemen Pendidikan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Ahmad Juwaini, 1992.

Islam Vs Kapitalisme: Babak Terakhir Perang Ideologi Abad Ini, Suara  Hidayatullah, Edisi 12/Thn IV/April. 

HAR Tilaar, 2008.

Manajemen Pendidikan Nasional: Kajian Pendidikan Masa Depan, Remaja Rosdakarya, Bandung.

Jusuf Amir Faisal. 1995,

Reorientasi Pendidikan Islam, Gema Insani Press, Jakarta.

Jurnal Ulumul Quran  No. 5, Vol. IV Thn. 1993

(Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, LSAF).

Josep E, Stiglizt. 2007,

Making Globalization Work (Menyiasati Globalisasi menuju dunia yang lebih adil), Mizan, Bandung.

Oxford Dictionary English by Hassan Sadhly :2003

(http://id.wikipedia.org/wiki/Globalisasi).

(http://artikel.sabda.org/globalisasi)

(http://www.lakpesdam.or.id/publikasi/105/membincang-benturan-antar-peradaban-huntington).

 

 

 

 

                       

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selamat Datang di Website Imas Siti Nurjanah " Pendidikan, Kepramukaan, Materi SMP/MTS, Perangkat Pembelajaran" Kunjungi Youtube kami di Https://bit.ly/YT-ImasSN