Globalisasi Dan Perbenturan Antar Peradaban
A. Wajah Globalisasi dan Peradaban Masa Kini; Sebuah Prolog
1. Definisi globalisasi
Kita
sering mendengar istilah globalisasi, tetapi kiranya perlu kita lebih memahami
arti globalisasi serta dampaknya. Globalisasi telah menjadikan dunia ini suatu
"borderless area", yang tidak tersekat-sekat lagi oleh batas wilayah
dan daerah. Menurut arti harafiahnya, globalisasi adalah suatu proses, suatu
perubahan, suatu fenomena yang mendunia (meng-global). Masyarakat tidak lagi
terkotak-kotak dalam kelompoknya sendiri, tetapi telah berubah menjadi suatu
masyarakat global atau masyarakat dunia.
Dalam bahasa sederhana globalisasi
merupakan fenomena kehidupan manusia yang menafikan sekat-sekat geografis.
Beberapa ahli mencoba mendefinisikan istilah globalisasi dengan cara pandang
yang berbeda. Globalisasi merupakan
istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan
ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia dunia melalui
perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi bias (http://id.wikipedia.org/wiki/Globalisasi).
Banyak sejarawan yang menyebut globalisasi sebagai
fenomena di abad ke-20 ini yang dihubungkan dengan bangkitnya ekonomi
internasional. Padahal interaksi dan globalisasi dalam hubungan antarbangsa di
dunia telah ada sejak berabad-abad yang lalu. Bila ditelusuri, benih-benih
globalisasi telah tumbuh ketika manusia mulai mengenal perdagangan antarnegeri
sekitar tahun 1000 dan 1500 M. Saat itu, para pedagang dari Tiongkok dan India
mulai menelusuri negeri lain baik melalui jalan darat (seperti misalnya jalur sutera) maupun jalan laut untuk berdagang.
Globalisasi
berlangsung cepat dan serentak dan mencakup berbagai bidang kehidupan umat
manusia: ekonomi, teknologi, sosial budaya dan politik dan sebagainya. Meskipun
demikian, istilah globalisasi seringkali lebih ditujukan kepada bidang ekonomi
dimana kekuatan-kekuatan ekonomi nasional telah terintegrasikan sedemikian rupa
sehingga menjadi suatu kekuatan ekonomi global. Hal ini terjadi melalui
perdagangan, investasi, aliran modal, migrasi penduduk serta penyebaran
teknologi.
Thomas
L. Friedman mengemukakan, globalisasi telah mengubah dunia menjadi
"datar" dan "terbuka". Perdagangan global, out-sourching,
jaringan distribusi dan kekuatan-kekuatan politik telah membawa perubahan bagi
dunia, baik perubahaan yang berdampak positif maupun yang negatif. Globalisasi
berlangsung cepat dan tidak dibisa dicegah; dan membawa pengaruh yang besar
terhadap organisasi dan praktek-praktek perusahaan. Sementara itu Gordon Mathis
dalam bukunya "Understanding the Postmodern World" mengutarakan bahwa
globalisasi merupakan suatu revolusi masyarakat dan umat manusia dewasa ini.
2. Dampak
Globalisasi
Sangat
banyak dampak yang ditimbulkan oleh globalisasi dan mengenai hampir semua segi
kehidupan umat manusia dan tata hubungan antar masyarakat, antar bangsa dan
negara. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
Di
bidang Ekonomi, terjadilah pasar global sebagai akibat bebasnya pertukaran
barang dan modal. Dalam kaitan ini, maka di bidang Industrial (trans
nationalization), muncullah pasar-pasar bagi produk-produk dunia, dan akses
yang lebih luas kepada produk-produk asing bagi konsumen dan
perusahaan-perusahaan dalam negeri. Terjadi perpindahan atau pergerakan
material dan barang-barang di antara dan dalam perusahaan-perusahaan
transnasional. Fenomena lain yang juga terjadi adalah lebih mudahnya akses kepada
barang-barang oleh negara-negara dan/atau orang-orang kaya dengan beban biaya
yang ternyata harus ditanggung oleh negara-negara yang miskin dan/atau
orang-orang yang hanya memasok tenaga kerja semata. Sementara itu di bidang
Finansial, muncullah pasar-pasar finansial dunia dan akses yang lebih baik
kepada keuangan dunia. Akan tetapi sejalan dengan itu terjadilah inflasi yang
dapat menggerogoti kekayaan investor, menurunkan harga komoditi dan
barang-barang. Ini semua adalah akibat dari perdagangan
bebas.
Di bidang Politik,
globalisasi telah menciptakan suatu pemerintahan dunia (world government)
yang mengatur tata hubungan di antara negara-negara dan bangsa-bangsa. Salah
satu dampak globalisasi politik adalah bahwa Amerika Serikat telah tampil
sebagai kekuatan politik utama di dunia, karena negara itulah yang paling kuat
ekonominya dan yang paling makmur rakyatnya. Akan tetapi akibat dari globalisasi juga maka
negara China mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Dan kalau China terus
dapat mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonominya yang sangat tinggi seperti
saat ini maka dalam waktu 20 tahun ke depan diperkirakan akan terjadi perubahan
pada peta kekuatan dunia, di mana China dapat menikmati kemakmuran, kemajuan
industri dan teknologi yang mampu bersaing dengan Amerika untuk memperebutkan
posisi kekuatan utama dunia. Kawasan dunia lainnya seperti Uni Eropa, Rusia dan
India pun akan ikut mempengaruhi perkembangan politik dunia masa depan.
Di
bidang Sosial - makin mudahnya orang untuk bepergian ke mana-mana, menyebabkan
bahwa orang-orang yang kaya dari negara-negara makmur banyak melakukan
perjalanan, sebaliknya orang-orang miskin yang jumlahnya lebih banyak dan
berada di negara-negara berkembang tidak dapat menikmati perjalanan atau
kunjungan-kunjungan. Di bidang Kebudayaan - bertumbuhnya kontak-kontak antar
budaya sehingga menimbulkan kesadaran dan identitas budaya, serta sikap dan
perilaku untuk saling menghargai, senang menikmati produk dan budaya asing,
menerapkan praktek dan teknologi baru dan berpartisipasi dalam suatu
"budaya dunia".
Di
bidang Informasi (Informational) - meningkatnya aliran informasi sampai ke
lokasi-lokasi yang paling terpencil di bumi. Ini merupakan akibat dari
perubahan teknologi menyusul penggunaan serta optik dalam industri komunikasi,
satelit dan meningkatnya penggunaan telepon dan Internet.
Di
bidang Lingkungan - tantangan lingkungan global hanya bisa dihadapi dan
dipecahkan dengan kerjasama internasional, seperti misalnya perubahan iklim
akibat pemanasan global, polusi udara, penerobosan batas-batas perairan, serta
penangkapan ikan di lautan.
3. Globalisasi;
Antara Ancaman, Tantangan dan Peluang
Apakah
globalisasi ini merupakan suatu tantangan (treat) ataukah peluang (opportunity),
sangat tergantung kepada bagaimana orang menghadapi atau menyikapinya. Berbagai
upaya harus dilakukan untuk menghadapi tantangan tersebut, dan sekaligus
memanfaatkan peluang-peluang yang dibawa oleh globalisasi.
Sebagai contoh di
bidang ekonomi adalah terjadinya pasar dunia yang bebas dan terbuka. Peluang
pasar bebas ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk mengembangkan industri
dan menghasilkan produk-produk yang diserap pasar. Hal yang sama juga seharusnya terjadi di bidang
industri dan finansial. Untuk ini memang sangat diperlukan masyarakat dan
kalangan dunia usaha yang kreatif dan inovatif untuk dapat menjadi pemain dalam
era globalisasi ini agar tidak terdesak dan hancur.
Di
bidang sumber daya manusia khususnya, terjadi persaingan yang sangat ketat
untuk memperebutkan lapangan pekerjaan yang semakin sempit. Oleh karena itu,
sumber daya manusia kita harus mampu bertarung dalam persaingan itu. Jika
tidak, maka lapangan pekerjaan akan direbut oleh orang lain yang lebih
potensial dan kompeten.
Globalisasi
sudah ada di sini, di tengah kita. Kita tidak bisa menolak atau menghindarinya begitu saja. Kita justru harus
masuk ke dalamnya dan ikut bermain bersama, menjadikan setiap tantangan
globalisasi itu sebagai peluang. (sumber: Wikipedia)
4.
Hakikat Peradaban
Peradaban
mengambil padanaan kata civilization yang berarti nilai hidup satu
kelompok atau bangsa dalam merespon tantangan masa yang dihadapinya dalam era
tertentu (Oxford Dictionary English by Hassan Sadhly :2003).
Pada
pengertian di atas sekurang-kurangnya ada 3 (tiga) inti, yaitu: pertama nilai,
kedua kelompok tertentu, dan ketiga tantangan zaman. Pengertian demikian
memungkinkan respons suatu kelompok orang akan berbeda dengan kelompok lainnya.
Juga bisa tantangan zaman berbeda maka nilai yang dipakai berbeda pula. Dengan
demikian, penegakan satu peradaban tergantung pada kelompok dengan nilai yang
dianutnya, serta tantangan zamannya. Repons dengan cara berbeda itu bahkan yang
tidak beradab sekalipun dimungkin bisa terjadi.
Dalam falsafah negara kita salah satu
silanya adalah “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.” Maksudnya pandangan hidup
bangsa
Nilai agama merupakan sesuatu yang
tak terpisahkan dari upaya mencari manusia yang beradab tersebut. Bentuknya
adalah dalam fungsinya sebagai manusia dalam peradaban. Tegasnya, seorang
manusia menjalankan agamanya dalam peradaban. Atau menghadirkan ajaran Tuhan
dalam dimensi sejarah, dimensi ilmu, dimensi demokrasi, dan dimensi militer,
sehingga kita melihat wajah Tuhan itu ada dalam sejarah, ada dalam ilmu dan
teknologi, ada dalam demokrasi, dan ada dalam konsep militer. Fungsi ajaran Allah Swt itu ada dalam
peradaban manusia.
B.
Globalisasi dan Pendidikan
1. Eksisitensi
Pendidikan di Era Global
Saat ini bangsa
Indonesia sibuk melakukan reformasi di bidang politik, ekonomi dan hukum,
meskipun tak kunjung sampai pada substansinya. Dalam proses reformasi yang
sedang berlangsung ini, ada gejala ke arah dilupakannya peran pendidikan. Hal
ini sungguh amat berbahaya,
yang ongkosnya di masa mendatang harus dipikul oleh seluruh komponen bangsa
berupa keterbelakangan dan "kebodohan" kolektif. Tulisan ini hanya ingin
sekadar mengingatkan akan munculnya bahaya tersebut, terutama dalam wacana
kehidupan global abad ke-21.
Membangun sektor
pendidikan tidak akan pernah selesai dan tuntas, sepanjang peradaban manusia
itu masih ada. Karena jika suatu bangsa selesai menangani satu masalah
pendidikan, akan tumbuh lagi masalah lain yang baru dalam peradaban itu. Hal
ini terjadi karena tuntutan jaman selalu berubah, sebagaimana juga pernah
digambarkan oleh John F Kennedy dalam sebuah metafora. Change is a way of life. Those who
look only to the past or present will miss the future.
Proses pendidikan tidak hanya
sekadar mempersiapkan anak didik untuk mampu hidup dalam masyarakat kini,
tetapi mereka juga harus disiapkan untuk hidup di masyarakat yang akan datang
yang semakin lama semakin sulit diprediksi karakteristiknya. Rowan Gibson
menggambarkan betapa sulitnya memprediksi masa depan dalam sebuah ungkapan
berikut: The lesson of the last three decades is that nobody can drive to
the future on cruise control.
Kesulitan memprediksi karakteristik
masyarakat yang akan datang disebabkan oleh kenyataan bahwa di era global ini
perkembangan masyarakat tidak linier lagi. Perkembangan masyarakat penuh dengan
diskontinuitas. Gambaran seperti ini secara lebih lugas lagi juga dijelaskan
oleh Rowan Gibson dalam rangkaian kalimatnya sebagai berikut: The fact is
that the future will not be a continuation of the past. It will be a series of
discontinuities. But in order to grab hold of the future we have to let go of
the past. We have to challenge and, in many cases, unlearn the old model, the
old paradigms, the old rules, the old strategies, the old assumptions, the old
success recipes.
Oleh karena itu, keberhasilan kita
masa lalu belum tentu memiliki validitas untuk menangani dan menyelesaikan
persoalan pendidikan masa kini dan masa yang akan datang. Dalam bidang
pendidikan politik bagi masyarakat pun kita juga tidak perlu mengandalkan
keberhasilan masa lalu. Bahkan untuk kondisi seperti saat ini kita perlu
merenungkan secara dalam, dan merefleksikan ungkapan Rowan Gibson yang
disebutkan terakhir itu agar kita mampu melupakan luka lama, menghilangkan
dendam-dendam lama, dan belajar meninggalkan paradigma lama, model lama, agar
akhirnya kita mampu membangun masa depan secara bersama demi kemaslahatan
masyarakat, bangsa, dan negara. Oleh karena itu, menurut Prof. Suyanto, dalam
menghadapi globalisasi diperlukan adanya; pertama, pengembangan
teknologi informasi, kedua mengadakan inovasi nasional.
1.a. Pengembangan teknologi
informasi
Dalam kehidupan global batas-batas
negara secara fisik-geografik menjadi tidak penting lagi. Justru faktor yang
paling penting bagi eksistensi suatu bangsa adalah dikuasainya teknologi
informasi. Dengan adanya berbagai penemuan dalam bidang teknologi informasi,
kekuasaan suatu negara dalam arti teritorial menjadi semakin kabur. Di sisi
lain dengan teknologi informasi, kita juga dapat membelajarkan diri dalam suatu
proses pendidikan yang bersifat maya (virtual). Hal ini membawa
implikasi bahwa pendidikan nasional kita harus mampu mempersiapkan bangsa ini
menjadi komunitas yang terberdayakan dalam menghadapi kehidupan global yang
semakin lama semakin menggantungkan diri pada teknologi informasi. Kondisi ini
pada akhirnya juga berakibat pada sistem kehidupan berbangsa dan bernegara yang
mengutamakan pada pola kehidupan atas dasar prinsip interdependensi.
Agar bangsa ini memiliki peran yang
signifikan dalam konteks interdependensi kehidupan, baik yang terjadi dalam
skala lokal, nasional, regional, maupun global, sistem pendidikan harus mampu
memberdayakan masyarakat secara luas. Salah satu ciri masyarakat yang
terberdayakan oleh sistem pendidikan ialah dimilikinya unggulan komparatif dan
unggulan kompetitif dalam konteks global.
Konsekuensinya, pendidikan harus dikonseptualisasikan
sebagai suatu usaha dan proses pemberdayaan, yang benar-benar dan harus
disadari secara kolektif, yang perlu dilakukan oleh individu, keluarga,
masyarakat, dan juga pemerintah dalam rangka melakukan investasi masa depan
bangsa, bukan sekadar upaya tambal sulam program yang tidak akan mampu
memberdayakan masyarakat secara keseluruhan. Pendidikan sebagai investasi masa
depan bangsa akan menjadi realitas dalam kebijakan dan praksis jika masyarakat,
keluarga, dan pemerintah secara bersama memiliki kepedulian yang tinggi
terhadap pencarian solusi bagi semua persoalan dan tantangan pendidikan yang
kita hadapi saat ini dan masa-masa yang akan datang.
Interdependensi kehidupan menuntut
adanya saling percaya (mutual trust) di antara sesama manusia. Oleh
karena itu, pendidikan nasional harus mampu menanamkan nilai-nilai (values)
kepada seluruh lapisan masyarakat agar memiliki sikap hidup yang toleran,
saling mempercayai satu sama lain, sehingga pada akhirnya masyarakat kita
memiliki kemampuan untuk hidup dalam berbagai bentuk pluralitas kehidupan.
1.b. Inovasi Nasional
Dalam sistem kehidupan global
seperti saat ini dan juga di masa yang akan datang, penguasaan teknologi
informasi menjadi sangat penting bagi eksistensi dan perubahan suatu bangsa. Oleh
karena itu, dilihat dari aspek relevansi, era global akan berdampak pada cepat
usangnya hardware dan software bidang pendidikan. Dengan demikian
sektor pendidikan harus diberdayakan setiap saat, berkelanjutan, dan tersistem.
Ini semua menurut adanya kemauan dan niat yang kuat dari pemerintah untuk
selalu menjaga tingkat unggulan kompetitif yang tinggi dari semua outcome
pendidikan nasional.
Untuk menciptakan
unggulan kompetitif, kita memerlukan inovasi yang pesat dalam dunia pendidikan.
Menjadi bangsa yang berharkat memerlukan unggulan kompetitif dalam berbagai
bidang. Bukan jamannya lagi kita mengandalkan murahnya tenaga kerja untuk
mendukung dan pembenar konsep unggulan kompetitif. Dalam konteks untuk
menciptakan unggulan kompetitif outcome pendidikan, patut kiranya kita
mengkaji pendapat Michael Porter dalam ungkapannya: ...the ability to
sustain an advantage from cheap labor or even from economies of scale-these are
the old paradigms. These paradigms are being superseded. Today, the only way to have an
advantage is through innovation and upgrading.
Analog dengan pendapat Porter
tersebut, jika kita ingin menghasilkan berbagai unggulan kompetitif outcome
pendidikan. Inovasi harus menjadi prioritas penting dalam pengembangan sektor
pendidikan. Tanpa ada inovasi yang signifikan, pendidikan kita hanya akan
menghasilkan lulusan yang tidak mandiri, selalu tergantung pada pihak lain.
Dalam perspektif global, hasil pendidikan yang demikian itu justru akan menjadi
beban bagi bangsa dan negara republik ini. Dengan demikian, pendidikan harus
digunakan sebagai inovasi nasional bagi pencapaian dan peningkatan kualitas outcome
secara berkelanjutan dan tersistem agar unggulan kompetitif selalu dapat
dipertahankan.
Strategi pembangunan nasional pada
masa Orde Baru yang terlalu bertumpu pada pertumbuhan ekonomi ternyata tidak
memiliki kekokohan dalam menghadapi krisis secara global maupun regional. Hal
ini terjadi antara lain karena kurang adanya kebijakan pendidikan yang mengacu
pada penyediaan kualitas sumber daya manusia yang memiliki unggulan kompetitif
dalam skala global. Oleh karena itu, dalam membangun paradigma baru sistem
pendidikan di era global abad 21, sektor pendidikan perlu difungsikan sebagai
ujung tombak untuk mempersiapkan sumber daya manusia dan sumber daya bangsa
agar kita memiliki unggulan kompetitif dalam berbangsa dan bernegara di
tengah-tengah kehidupan dunia yang semakin global dan semakin banyak hal yang
dapat dilakukan hanya secara virtual.
Modal dasar bagi terbentuknya
unggulan komparatif dan unggulan kompetitif ialah dimilikinya konsep diri dan
kesadaran diri yang dalam proses belajar. Konsekuensinya, inovasi dalam wacana
pembelajaran menuntut agar semua institusi pendidikan kita mampu menanamkan
kemampuan tentang bagaimana belajar untuk belajar bukan belajar untuk menghafal
dan belajar untuk tergantung kepada pihak lain. Dengan model pembelajaran
seperti itu kreativitas dan tanggung jawab peserta didik akan muncul, dan oleh
karena itu unggulan komparatif dan unggulan kompetitif akan dapat dibudayakan.
Kelemahan proses
pembelajaran selama ini terlalu menekankannya pada aspek kognitif. Dengan
penekanan secara berlebihan pada aspek kognitif itu persoalan afektif yang
terkait dengan sistem nilai kurang dapat dikembangkan. Hal ini berakibat pada
lemahnya sistem nilai yang dimiliki oleh para peserta didik. Karena sistem
nilai yang ada pada diri peserta didik lemah, akibatnya mereka kurang memiliki
visi yang jelas mengenai masa depan mereka. Dengan kata lain, para peserta
didik sebagian besar kurang memiliki sense of crisis, sehingga mereka
kurang menyadari akan pentingnya memiliki unggulan kompetitif untuk mampu hidup
dengan wajar di era global.
Pendidikan nasional,
oleh karena itu, perlu menanamkan kesadaran akan perlunya memiliki unggulan kompetitif
di masa yang akan datang agar mereka mampu hZSWidup dalam konteks
interdependensi. Tanpa memiliki visi yang jauh ke depan, kita akan terjerembab
pada dependensi kehidupan. Jika hal ini terjadi, kita tidak akan mampu menjadi
tuan di negara sendiri, dan dengan demikian tidak tertutup kemungkinan kita
justru akan menjadi warga negara kelas dua di negara sendiri.
2.
Potret Globalisasi Pendidikan Indonesia
John Naisbitt (1988), dalam bukunya Global
Paradox memperlihatkan hal yang justru bersifat paradoks dari fenomena
globalisasi. Naisbitt
(1988) mengemukakan pokok-pokok pikiran lain yang paradoks, yaitu
semakin kita menjadi universal, tindakan kita semakin kesukuan, dan
berpikir lokal, bertindak global. Hal ini menurut Naisbit dimaksudkan
agar kita harus mengkonsentrasikan kepada hal-hal yang bersifat etnis,
yang hanya dimiliki oleh kelompok atau masyarakat itu sendiri sebagai
modal pengembangan ke dunia Internasional.
Apa yang dikemukakan Naisbit adalah wajah ganda globalisasi yang masuk pada
wilayah pemikiran dan sosial. Sementara pada wilayah globalisasi
pendidikan wajah ganda itu juga terlihat dengan kasat mata. Misalnya
ketika semua bangsa sepakat mengumandangkan slogan “education for all”
justru globalisasi pendidikan menciptakan “education for rich people
only”. Hal ini bisa dicermati dari fenomena mahalnya biaya masuk
perguruan tinggi yang berkualitas dan berstandar internasional. Bahkan
perguruan tinggi negeri pun kini sulit terjangkau oleh semua rakyat
karena latah menjadikan dirinya BHMN mengikuti arus kapitalisme
pendidikan yang merupakan bagian penting dari tahap globalisasi
pendidikan tinggi.
Wajah ganda itu
pada akhirnya akan turut menciptakan kapasitas sosial
yang terbelah. Orang-orang berkualitas dan kompetitif hanya akan
dimiliki oleh orang-orang kaya yang mampu membiayai pendidikan yang
mahal. Sementara belahan sosial yang lain adalah orang-orang yang
tidak berkualitas, tidak kompetitif dan hanya akan menjadi orang
pinggiran namun dalam kuantitas yang banyak. Keterbelahan kapasitas
sosial ini pada akhirnya akan berdampak pada makin lebarnya jurang
kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin. Jika ini
dibiarkan
maka persoalan sosial akan makin serius menghantui bangsa Indonesia.
Wajah ganda lain dari globalisasi pendidikan adalah semangat
internasionalisme yang tumbuh di perguruan tinggi yang bertaraf
internasional dan outcome-nya siap berkompetisi secara internasional
dengan bangsa-bangsa lain didunia. Namun di sisi lain nation character
building pelan-pelan tapi pasti akan terkikis melalui sejumlah
kurikulum yang berorientasi Barat. Budaya dan karakter bangsa menjadi
kehilangan ruhnya, dan budaya bangsa pada akhirnya kehilangan
energinya. Meski saat ini belum secara masif diterapkanya Model
Commercial Presence ala WTO di Indonesia, kita bisa mengamati betapa
karakter dan budaya bangsa sudah mulai kehilangan sebagian ruhnya
akibat globalisasi yang tak terbendung melalui tehnologi informasi
yang berkembang secara dahsyat saat ini. Apalagi jika jelas-jelas
Perguruan Tinggi Asing (PTA) akan berdiri di seluruh
Indonesia.
Persoalan
globalisasi pendidikan di Indonesia jika diruntut ke
belakang maka terlihat betapa besar peran negara untuk melegalkan
proyek kapitalisme ini melalui UU No.7 tahun 1994 sebagaimana
dikemukakan pada awal tulisan ini. Dengan legalitas itu upaya untuk
menolak globalisasi pendidikan adalah upaya yang sangat sulit
dilakukan karena menyangkut politik nasional dan internasional. Sangat
sulit berarti bukan tidak bisa, kemungkinan untuk membendung
tantangan pendidikan Indonesia atau setidaknya meminimalisir dampak buruk
globalisasi pendidikan selalu saja ada kemungkinannya.
Siapa
yang memiliki peran strategis membendung globalisasi
pendidikan dan tantangan pendidikan Indonesia? Di sinilah, negara dan
masyarakat kampus lah yang bisa mengambil peran strategis itu. Negara
melalui Departemen Pendidikan Nasional bisa membuat aturan main untuk
menolak Model Commercial Presence yang diyakini banyak kalangan
sebagai model yang paling berbahaya dari globalisasi pendidikan ala
WTO.
Peran
strategis lainya adalah peran yang harus dimainkan oleh
masyarakat kampus. Mereka adalah kaum cendekiawan yang
seharusnya
memiliki ikatan nurani yang kuat terhadap rakyat dan merasakan sejak
dini penderitaan rakyat banyak akibat globalisasi
pendidikan. Peran strategis lainya yang penting dimainkan oleh
masyarakat kampus
adalah upaya keras untuk terus meningkatkan kualitas perguruan tinggi
sebagai bentuk perlawanan aktif terhadap agenda WTO tersebut. Bahwa
tanpa mengikuti Model Commercial Presence nya WTO pun perguruan tinggi
Indonesia bisa bersaing dikancah internasional.
3.
Tantangan Dunia Pendidikan Menghadapi Globalisasi
Secara tradisional pendidikan biasa
diartikan sebagai upaya pewarisan kebudayaan
tertentu kepada peserta didik. Pewarisan nilai-nilai budaya tersebut
bisa bersumber adat-istiadat, agama bahkan bisa berasal dari ideologi tertentu.
Sebagai institusi yang sangat berpengaruh terhadap pembentukkan karakter
manusia (character building) institusi pendidikan---baik yang formal,
informal dan non-formal---merupakan sarana yang efektif bagi pewarisan
kebudayaan tersebut. Melalui institusi maupun kegiatan pendidikanlah masyarakat
atau suatu bangsa melakukan transmisi kebudayaannya dari satu generasi ke
generasi berikutnya.
Tetapi dalam konteks globalisasi
sekarang pewarisan nilai-nilai budaya tersebut diatas menghadapi tantangan
berat. Globalisasi, yang
ditandai dengan kemajuan di bidang informasi, komunikasi dan transportasi, telah
menyebabkan tatanan kehidupan menjadi sedemikian kompleks dan rumit. Kemajuan
ketiga bidang tersebut juga menyebabkan sekat-sekat geografis antarbangsa menjadi
tipis dan kabur, bahkan menjadi hilang.
Manusia kini ibarat hidup dalam sebuah desa-buana (global village),
sebuah dunia yang tanpa batas ( boardless world) dimana pola dan
lalulintas kehidupan warga dunia menjadi sangat terbuka dan bergantung satu dengan
yang lainnnya. Konsekuensinya adalah warga dunia jadinya memiliki perhatian,
kepedulian dan kesamaan pandangan terhadap isu-isu global seperti masalah HAM,
demokrasi, gender, pemanasan global (global warming), kejahatan
transnasional, kemiskinan, kerusakan ekologi dll. Tapi di sisi lain globalisasi
ini juga berdampak buruk terhadap keberadaan nilai-nilai lokal (local wisdom)
karena coraknya yang cenderung 'menyeragamkan'. Di sini, globalisasi yang
bertumpu di atas sistem nilai Barat akan menjadikan Barat sebagai pusat
(centrum), sementara nilai-nilai non-Barat berada di pinggiran (pheriperal).
Jhon Naisbitt dan Aburdene misalnya, dalam bukunya Megatrends 2000, menyebutkan
bahwa penyeragaman tersebut paling tidak terjadi pada 3 F yaitu Food (makanan), Fashion
(busana) dan Fun (hiburan).
Dengan mencermati tantangan globalisasi
dewasa ini maka pendidikan tidak dapat
lagi diletakkan dalam pengertian tradisional seperti tersebut diatas tetapi
memerlukan redefinisi. Oleh karena itu, apapun variasi pengertian yang diberikan terhadap "pendidikan",
yang jelas bahwa secara prinsip definisi pendidikan haruslah dikaitkan dengan usaha untuk mengantar dan menyiapkan peserta
didik untuk menghadapi tantangan hidup
masa depan yang makin kompleks tersebut.
Dengan kata lain, pendidikan bertugas untuk mengembangkan kesadaran atas
tanggung jawab setiap warga negara terhadap
kelanjutan hidupnya, bukan saja terhadap lingkungan masyarakatnya dan negara juga terhadap umat manusia (Tilaar, 2008: 4).
Tilaar (2008: 78) menjelaskan bahwa tantangan pendidikan masa depan ditandai dengan
ciri-ciri seperti: mementingkan kualitas; mengutamakan persaingan untuk mencapai kualitas
yang semakin meningkat; semakin hilangnya
nilai-nilai primer paguyuban dan merosotnya nilai-nilai spiritual; keragaman
budaya yang semakin meningkat; dan munculnya tata nilai baru seperti
intelektualisme kreatif; juga hedonisme dan individualisme.
Menghadapi tantanan demikian, maka
peran pendidikan tidak hanya terfokus pada penyiapan sumberdaya manusia yang siap pakai tetapi juga harus menyiapkan
sumberdaya manusia yang mampu menerima serta menyesuaikan dan mengembangkan
arus perubahan yang terjadi dalam lingkungannya (Faisal 1995:131). Jika
dikaitkan dengan konteks pendidikan Islam maka tantangan tersebut diatas menghendaki visi dan orientasi pendidikan yang
tidak semata-mata menekankan pada pengisian
otak, tetapi juga pengisian jiwa, pembinaan akhlak dan kepatuhan dalam
menjalankan ibadah (Abuddin Nata 2007:83).
C.
Pendidikan dan Tantangan
Perbenturan Antar Peradaban
Sebagaimana
telah dijelaskan diatas bahwa salah satu implikasi tak terhindarkan dari
globalisasi adalah terjadinya penyeragaman warga dunia baik dalam pola pikir,
Pada
titik ini, globalisasi jadinya identik pula dengan westernisasi
(pembaratan), dan ujungnya cenderung menjadikan Barat sebagai kiblatnya.
Artinya globalisasi akhirnya menggiring warga dunia terutama dunia ketiga
menjadi pemuja Barat (westomania) dimana Barat menjadi standar dalam
segala hal baik sejak dari model
pembangunan, konstruksi keilmuan, teori ekonomi bahkan sampai kepada
Oleh
banyak kalangan, terutama Barat, kesadaran baru di atas dianggap berpotensi
mengancam hegemoni nilai-nilai Barat yang sudah mapan selama ini. Dalam
pandangan Barat, gerakan perlawanan tersebut tidak sekedar berjuang
mempertahankan nilai-nilai budaya lokal
dari ancaman globalisasi tapi juga ingin menghancurkan serta mengganti
nilai-nilai budaya Barat yang sudah ada. Dalam bentuknya yang kasat mata,
perlawanan budaya itu tampak dari aksi-aksi terorisme yan dilakukan beberapa
kelompok radikal di beberapa belahan
dunia.
Pada
1993 isu tentang perbenturan peradaban dunia ini akhirnya benar-benar menarik
perhatian banyak orang menyusul tesis yang dikemukakan Samuel P Huntington,
seorang ahli ilmu politik dari Universitas Harvard. Huntington mengelompokkan peradaban dunia saat ini
menjadi beberapa kelompok yaitu
peradaban Barat, India, Cina, Jepang dan Islam. Menurutnya peradaban Cina
(yang berbasis agama Konghucu) dan Jepang (yang berbasis Shinto) maupun India
(yang berbasis Hindu) dianggap tidak begitu membahayakan Barat karena ketiga
peradaban tersebut relatif 'toleran',
fleksibel bahkan telah 'terintegrasi' ke dalam peradaban Barat yang berbasis
Kapitalisme. Tapi Islam, menurut Huntington, menjadi satu-satunya peradaban
yang dianggap paling resisten bahkan berpotensi melawan Barat.
Oleh karena itu, menurut Huntington setelah
keruntuhan Komunisme, Islam menjadi satu-satunya ancaman bagi peradaban sekuler
Barat. Karena itu pula dia merekomendasikan agar negara-negara Barat bersatu, saling menbantu serta mengambil langkah-langkah yang
diperlukan guna mengerem laju ancaman Islam tersebut. Dengan analisis tersebut Huntington
berkesimpulan bahwa perbenturan peradaban ke depan akan terjadi antara Islam
dan Barat (tentang gagasan dan respon terhadap gagasan Huntington lihat Jurnal Ulumul
Quran No. 5 Vol. IV Thn 1993).
Adanya potensi benturan bahkan ancaman
peradaban Islam tersebut dimungkinkan karena Islam memiliki sistem nilai dan ajaran
yang lengkap dan komprehensif. Bahkan nilai-nilai tersebut dianggap lebih tinggi
dari peradaban manapun. Menurut Ahmad Juwaini (1992:48), potensi perlawanan
atau perbenturan peradaban Islam tersebut dimungkinkan karena: pertama,
pada saat ini hanya keduanya yang memiliki massa cukup besar. Ideologi lain,
kalaupun ada, tidak menghasilkan peradaban (hadharah). Kedua,
arus globalisasi akan menyatukan dunia. Dan globalisasi Islam akan mengantarkan
umatnya ke satu pandangan dan persepsi. Ketiga, di tengah kesimaharajaan
kapitalisme, fakta yang ada menunjukkan
bahwa umat Islam di berbagai belahan negara sedang berupaya untuk
menunjukkan eksistensninya (seperti kemenangan partai FIS di Aljazair; Mujahidin
di Afghanistan, dll)
Oleh
karena itu, sebagai bagian dari ajaran Islam yang bercorak rahmatan
lilalamin, sistem pendidikan Islam jelas dihadapkan pada tantangan berat
untuk merespon berbagai perkembangan tersebut. Di sini sistem pendidikan Islam,
bersama sistem pendidikan lainnya, harus secara bersama-sama merumuskan satu
formula yang memungkinkan terciptanya tatanan dunia (social order) yang
damai, egaliter dan saling menghormati keragaman masing-masing. Dengan demikian,
sistem pendidikan masa depan harus mampu melahirkan kesadaran global dan bercorak
multikultural sehingga benturan peradaban (clash of civilization) sebagaimana
diramalkan Huntington tidak terjadi.
D. Kesimpulan
Membincang
Globalisasi berarti membincang hubungan antara manusia yang satu dengan yang
lainnya, lintas agama, etnik dan ideologi. Dunia tidak lagi ada batas-batas
Geograpi. Eksistensi manusia semakin dipertanyakan jika tidak membuat
globalisasi sebagai sebuah peluang untuk maju.
Globalisasi
merambah pada hampir semua lini kehidupan manusia tidak saja pada wilayah
ekonomi, namun juga pada wilayah budaya dan pendidikan. Menurut Samuel
Hutington bahwa budaya menjadi wilayah paling potensial untuk membuat budaya
antar negara saling bertemu dan
berbenturan.
Begitu
pun dalam wilayah pendidikan. Globalisasi menuntut pendidikan semakin maju,
mengikuti arus informasi yang semakin hari kian berkembang. Pendidikan akan
tertinggal jika masih menggunakan kerangka berpikit konvensional dan enggan
menerima kemajuan sebagai sesuatu yang niscaya.
Daftar
Pustaka
Abuddin Nata, 2007.
Manajemen Pendidikan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Ahmad Juwaini, 1992.
Islam Vs Kapitalisme: Babak Terakhir
Perang Ideologi Abad Ini,
Suara Hidayatullah, Edisi 12/Thn
IV/April.
HAR Tilaar, 2008.
Manajemen Pendidikan Nasional: Kajian
Pendidikan Masa Depan,
Remaja Rosdakarya, Bandung.
Jusuf Amir Faisal. 1995,
Reorientasi Pendidikan Islam, Gema Insani Press, Jakarta.
Jurnal Ulumul Quran No. 5, Vol. IV Thn. 1993
(Jakarta: Lembaga Studi Agama
dan Filsafat, LSAF).
Josep E, Stiglizt. 2007,
Making Globalization Work (Menyiasati Globalisasi menuju dunia yang
lebih adil), Mizan, Bandung.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Globalisasi).
(http://artikel.sabda.org/globalisasi)
(http://www.lakpesdam.or.id/publikasi/105/membincang-benturan-antar-peradaban-huntington).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar