PERENCANAAN PENDIDIKAN TINGGI
Bagian
ini akan menggambarkan scope dan penerapan perencanaan pendidikan tinggi.
Pendidikan tinggi disini dimaksudkan sebagai pelatihan formal yang dilaksanakan
suatu institusi pada para lulusan pendidikan menengah.
A. Bentuk Lapangan
Perencanaan
pendidikan tinggi berkembang sesuai dengan perubahan yang terjadi pada fungsi
pendidikan tinggi, disamping sebagai konsekuensi dari perluasan peran
perencanaan. Usaha sistimatik pertama perubahan perencanaan pendidikan tinggi
dibuat Uni Soviet dengan mengorganisasi staf universitas pada tahun 1920. Pada
tahun 1930 mereka meramalkan kebutuhan tenaga kerja untuk
Sementara
pendidikan tinggi meluas ke berbagai negara, bidang, sifat, dan lapangan
penerapan perencanaan-pun menjadi semakin meluas.
1) Sifat Perencanaan.
Disini terdapat jarak antara perencanaan kuantitatif (pendaftar, staf,
pengeluaran) dengan perencanaan kualitatif (bidang, kurikulum, dan pengajaran).
Pada hakikatnya kedua bidang tersebut kadangkala tumpang tindih.
2) Konteks Perencanaan.
Perencanaan pendidikan tinggi memiliki keragaman tujuan ideal dengan perbedaan
perencanaan yang bercirikan hal-hal berkenaan dengan ekonomi. Contoh,
perencanaan ekonomi secara terpusat dengan perencanaan normatif, atau ekonomi pasar
dengan perencanaan indikatif;
keterlibatan pembiayaan negara bagian pada pendidikan tinggi; dan
perbedaan perkembangaan ekonomi.
3) Tingkat kesatuan. Hal
ini dapat pada perencanaan tingkat provinsi atau negara kesatuan, atau
perencanaan kelembagaan, yang doipraktekkan oleh lembaga-lembaga pendidikan
individual.
4) Phase Perencanaan. Jarak utamanya antara
pengenalan perencanaan (ramalan, prediksi, dan permodelan) dengan implementasi
(penguatan atau kebijakan untuk mencapai target).
5) Masa Perencanaan. Dapat berbentuk long term
plan yakni 10 atau 15 tahun sebagai pembimbing umum tingkat nasional, short
term plans dalam rangka bimbingan yang lebih rinci, atau medium term plans
untuk perencanaan yang bersifat penyesuaian dan putaran.
A. Metode Perencanaan
Pendidikan Tinggi
Model-model
perencanaan pendidikan tinggi telah berkembang menyentuh bidang-bidang lain.
Namun pada garis besarnya dapat dikatagorisasikan pada dua model yakni outline
model nasional dan model institusional. Keduanya digunakan untuk ekonomi pasar
dan pendekatan mengikuti perencanaan pemerintah pusat.
1) Pendekatan Kebutuhan
Masyarakaat (The Social Demand Approach)
Model
ini terkait dengan jumlah tuntutan individu pada pelayanan pendidikan tinggi
sesuai biaya yang ditentukan. Faktanya, pendekatan ini memprediksi jumlah pendaftar yang akan datang dengan
didasari perhitungan terhadap faktor yang menentukan kebutuhan masyarakat.
Pertimbangan
faktro-faktor ini terkait pada pendaftar mahasiswa baru masa yang akan datang,
dan para perencana dapat menyerap keadaan yang konservatif atau yang aktif.
Kebijakan posisi aktif biasanya untuk mendorong kebutuhan masyarakat dan
menciptakan peluang-peluang yang sama. Dengan demikian, perencanaan yang
diasarkan pada kebutuhan masyarakat sering terkait dengan kebijakan pemasukan
dan rendahnya biaya pengeluaran, bantuan siswa dan program yang menjadi
orientasi kelompok minoritas.
Tehnik
memprediksi pendaftar memiliki beberapa prinsip, seperti metode ratio
pendaftar, yang didasarkan pada perhitungan antara pendaftar ke perguruan
dengan populasi usia mahasiswa, dan metode cohort (cohort survival method), yang dikaitkan dengan kemungkinan cohort
pada tingkat keberhasilan. Keduanya sama-sama memerlukan data mahasiswa
mengulang, dropouts, bahkan data tentang faktor penentu kebutuhan masyarakat.
Perencanaan pada negara-negara miskin juga perlu memperhitungkan kendala lain
yakni kapasitas lembaga..
Manakala
tujuan nasional lebih rendah dari jumlah warga yang terdidik, pendekatan model
ini kurang diminati. Dan lantaran model ini muncul atas dasar teori ekonomi
bagian (particular economic theory)
maka model ini menawarkan sekaligus dua hal, yakni implikasi pembiayaan dan
konsekuensi SDM dari ramalannya.
2)
Pendekatan SDM (Manpower
Approach)
Ide
dasarnya adalah bahwa pertumbuhan ekonomi harus disiapkan dengan tenaga
terampil dan karenanya harus direncanakan berdasar kebutuhan masyarakat
terhadap buruh. Dalam kerangka pikir ini struktur keterampilan SDM harus
diramal dan kemudian hasil ramalan tersebut dirubah pada kemungkinan angka
pendaftar di perguruan tinggi. Teori terkuat dari model ini adalah bahwa pasar
tidak dapat dirinci lebih ditil, juga kekosongan waktu dan karena itu harus
dipantau oleh instrumen perencanaan untuk penyesuaian pada perubahan jumlah
harga.
Beberapa
asumsi terkait dengan ragam metode perencanaan yang berorientasi SDM di
perguruan tinggi ini, bahwa ada hubungan pasti antara input kualifiaksi SDM
dengan penghasilan ekonomi; bahwa pekerja tidak dapat berreaaksi secara lancar
(smoothly) untuk merubah gajih/penghasilan; bahwa elastisitas bagian antara
para para pekerja dari pelatihan yang berbeda adalah mendekati nol; dan bahwa
suplai SDM yang memenuhi kualifikasi, tidak terikat pada kebutuhan.
Metode-metode
berikut dapat dibedakan dalam meramal kebutuhan SDM.
2a)
Metode Meramal Pekerja. Hasil survei pekerja tentang lowongan kerja masa depan
agak meragukan. Terdapat inkonsistensi yang tinggi sebagai hasil dari penurunan
respon para pekerja, sebab kurangnya definisi yang sama dari kualifikasi, dan
sebab ketidaksamaan pasaran kerja.
2b)
Metode Perbandingan. Metode ini menghitung ramalan persyaratan masa depan SDM
melalui observasi hubungan antara struktur pekerjaan dan struktur pendidikan
pada negara-negara terpilih yang secara ekonomi ada di barisan terdepan negara.
Berdasarkan pada hipotesis penyimpangan universal dari pertumbuhan, metode ini
kesimpulannya bersifat kasar.
2c)
Metode ratio pekerjaan. Tulang punggung metode ini adalah membagi secara adil
jenis-jenis SDM kepada parameter populasi : tenaga kerja/buruh, segmen lain
dari buruh terampil, pendaftar pendidikan tinggi, keperluan jenis pelayanan.
Rationya diproyeksikan kepada perkiraan persyaratan masa depan.
2d)
Metode “fixed coeffcient”. Metode ini berdasarkan kepada struktur ramalan pekerjaan,
produktivitas buruh, output tiap industri, dan melalui kesamaan pekerjaan dan
kualifikasi pendidikan tinggi. Ramalan sektor kebutuhan spesialis dan pendaftar
dibuat sebagai dasar hubungan pasti.
2e)
Ramalan persyaratan SDM untuk spesialis sebagian penduduk. Ratio output buruh,
matrik input-output, coefficient staf,
dan ratio pekerjaan dikombinasi untuk mengestimasi jumlah spesialis yang akan
dilatih untuk pekerjaan khusus seperti dokter atau guru.
3) Cost-Benefit Methods
Tidak
seperti perencanaan berorientasi SDM, metode ini sangat berorientasi pasar dan
isarat-isarat pasar. Untuk mendukung metode ini pendidikan tinggi merupakan
investasi biaya yang pada perhitungan waktu tertentu akan memberi tambahan
penghasilan. Analisis pada metode ini mengkombinasikan informasi tentang biaya
pendidikan tinggi yang berlaku (biaya kontan dan penghasilan yang sedang
berlaku) dan informasi tentang “value” pasaran buruh. Hal ini terkait dengan
orang-orang yang jadi figur llulusan.
Beberapa
masalah yang mengganggu perhitungan penghasilan adalah :
Pertama,
proporsi tambahan pendapatan dapat menjadikan pendidikan tinggi sebagai alat
yang tidak dapat diperkirakan. Kedua, perkiraan keuntungan non moneter dari
hasil pendidikan sukar untuk dipahami. Bagaimanapun analisis cost-benefit
didasarkan kepada observasi lintas sektor, mengabaikan kondisi supply-demand
masa depan, yang merupakan kondisi krusial dalam perencanaan. Konsekuensinya,
metode effektivitas biaya (cost-effectiveness
methods) dipergunakan sebagai cara perbandingan antara perkembangan ekonomi
dengan kegiatan pelatihan.
Walaupun
kedua pendekatan (metode SDM dan metode cost-benefit) ini dianggap memiliki
perbedaan yang tajam, namun keduanya
tidak sama-sama eksklusif. Keduanya memberikan sumbangan yang lebih baik terhadap
sumber daya pendidikan tinggi. Kedua
pendekatan inipun dapat diintegrasikan kepada metode social-demand.
4) Perencanaan
Institusional
Munculnya
biaya-biaya dan naiknya tekanan untuk pertanggung-jawaban yang lebih besar dan
lebih terbuka, telah memperkuat para perencana universitas untuk menyusun
tujuan keluaran yang jelas dan untuk mencoba menghubungkan biaya input pada
output. Dasar Perencanaan dan Sistem
Manajemen (PSM) universitas adalah pengembangan dari suara mahasiswa-model alur
melalui departemen dan tingkatan, adalah sebagai bentuk masa depan kebijakan
izin masuk. Tugas selanjutnya dari PSM adalah menghitung biaya aktivitas utama
dari lembaga. Penggunaan konsep aktivitas sebagai unit opersional telah
membimbing perbandingan yang lebih baik dari biaya dan kemanjurannya. Analisis
yang sensitif kemudian dihubungkan pada pelatihan, untuk mencapai angka
pembiayaan umum dari program studi dan departemen.Sejumlah model perencanaan
institusional telah mempengaruhi negara-negara maju dan negara-negara berkembang.
Model-model CAMPUS (Comprehensive Analytical
Methods of Planning in University System), RRPM (Resource Requirement
Prediction Models), CSM (Cost simulation Model), di Amerika Serikat, HIS
(Hochschul Information System) di Republik Federal Jerman dan Organization for
Economic Cooperation and Development sponsored Institutional Management in
Higher Education Program telah menjadi pioner di lapangan. Pada 1976 sekiatr
400 Akademi di AS dihubungkan dengan type model CAMPUS. Walaupun tidak selalu berhasil
, perencanaan pada tingkat universitas telah berusaha memfasilitasi secara
rational alokasi sumber-sumber pada lembaga pendidikan tinggi.
5) Perencanaan pendidikan
Tinggi dalam Perencana an Ekonomi Terpusat
Walaupun
tehnik perencanaan pendidikan di negara-negara sosialis sangat terkait dengan
konteks nasional, garis besar tehnik ini tetap dapat disketsakan. Pendidikan
tinggi memiliki tiga fungsi, yakni memerankan pelatihan spesialis yang
dibutuhkan oleh semua cabang ekonomi; peran sosiopolitik; dan peran merespon
kepentingan individu untuk meningkatkan pendidikan. Sebagai konsekuensi peran
pertamanya, perencanaan pendidikan di negara sosialis selalu terintegrasi
dengan perencanaan menyeluruh dari
masyarakat sebagai kesatuan besar.
(a) Manpower Methods. Metode
untuk memprediksi kebutuhan spesialis, mengklasifikasi tugas-tugas sesuai
dengan survei tahunan pekerja, serta mengurai lowongan kerja masa depan
berdasar jenis kegiatannya. Data dicocokkan dengan membagi secara adil jumlah
spesialis pada satu cabang kegiatan kepada kekuatan buruh secara keseluruhan.
Perhitungan kebutuhan SDM diperoleh dengan bermacam-macam “metode yang jenuh”
dikombinasi dengan data pada struktur pekerjaan dari perusahaan terdepan dan
dengan asumsi pengembangan tehnik, kenaikan produktivitas buruh, dan yang
lainnya. Revisi tahunan dan alat-alat koreksi digunakan untuk tujuan yang
fleksibel dan penyesuaian.
(b) Pendaftar. Sekali
kebutuhan SDM dirancang untuk satu kekhususan, mereka sudah diterjemahkan pada
pendaftar dalam berbagai disiplin dari pendidikan tinggi. Penerjemahan
ditangani oleh tehnik yang beragam yang memasukkan secara tepat antara jenis
pekerjaan dengan spesialisasi akademik. Secara bersamaan tantangan institusi
dimasukkan pada perencanaan pendidikan tinggi melalui penggunaan tanda-tanda
dan formula.
(c) Perencanaan karir. Fungsinya termasuk
perencanaan bagi tenaga kerja muda berpendidikan. Kombinasi dari prosedur
selektifitas dan perencanaan karier, akan memasukkan pekerja lulusan
universitas yang punya kualifikasi.
B. Rancangan Perencanaan
Pendidikan Tinggi
Persoalan
yang muncul dari meledaknya perencanaan perguruan tinggi dan perluasan krisis
perguruan tinggi adalah hilangnya tujuan. Hal ini bisa dilihat berdasarkan
ciri-ciri beberapa sinyal perubahan:
1)
Sifat campuran dari fungsi dan output pendidikan menjadi
lebih meluas. Sejak itu, batasan antara metode perencanaan menjadi kabur.
Integrasi metodologi merupakan proses yang terus menerus.
2)
Perbedaan antara metode yang digunakan dalam perencanaan
ekonomi secara terpusat dan penerapan dalam ekonomi pasar ternyata mengalami
kehancuran, dalam kasus yang pertama, peran tuntutan sosial jadi menguat, dan
akhirnya banyak penekanan terhadap persyaratan pasar buruh.
3)
Kasus kegagalan perencanaan kadang ditemukan pada ketiadaan
efisiensi dalam implementasi. Phase krusialnya berimplikasi pada tiga hal.
Pertama, pengembangan koleksi data, kedua, pelatihan yang tepat para perencana,
dan ketiga, keterlibatan staf secara mendalam.
4)
Bidang yang menyeluruh untuk dikembangkan adalah
perencanaan kuantitatif. Seperti memakai tongkat ajaib, harapan terbesar
ditempatkan melalui diagnosa rancangan pendidikan dan pada strategi belajar
mengajar yang direformasi sejauh mungkin.
5)
6)
Perencanaan pada negara-negara berkembang kadangkala
alokasinya salah, dan investasi berlebihan dalam program biaya pendidikan
ttinggi, bersama dengan sistem pendidikan kejuruan dan teknik yang berlebihan.
7)
Penambahan pengalaman dalam perencanaan dan akumulasi dari
perencanaan nasional dan institusional mendorong adanya evaluasi keuntungan
real dari aktivitas perencanaan masa lalu sedemikian rupa seperti kenaikan
penggunaan perencanaan masa depan.
Kecenderungan
dan issu hendaklah diperjelas untuk menurunkan prioritas pendidikan tinggi,
meninjau sumber-sumber, dan membanyak keraguan terhadap ketepatan perencanaan
yang dimaksakan. Pada saat yang sama, pendidikan tinggi lebih tertantang oleh
dua faktor yang saling bertentangan. Pertama, oleh perluasan klien baru
(khususnya pada negara maju) untuk pelayanan pendidikan seumur hidup, dan
kedua, oleh pengakuan (khususnya pada negara sedang berkembang) terhadap
kekuatan pelatihan informal pada pendidikan tinggi. Hal-hal inilah yang
menjadikan perencanaan pada perguruan tinggi jadi sangat terbuka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar