BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara
sosiologis, konflik merupakan suatu proses sosial antara dua orang atau lebih
(bisa juga kelompok) yang salah satu pihak diantaranya berusaha menyingkirkan
pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik
dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu
interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri
fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya.
Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik
merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami
konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya
akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Konflik
bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah
siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi.
sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.
B. Tujuan
Dalam
makalah ini penyusun memiliki tujuan dan harapan yang ingin di capai meliputi:
1.
Mengetahui pengertian
konplik
2.
Pemecahan masalan dalam
menghadapi konplik
3.
Untuk memenuhi tugas dari
mata kuliah organisasi, kepemimpinan dan manajemen personalia
BAB
II
ISI
A.
KAJIAN
TEORI
1.
Konplik
Menurut Para Ahli
Menurut
Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977), konflik merupakan warisan kehidupan
sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada berbangkitnya
keadaan ketidak setujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau
lebih pihak secara berterusan.
Menurut
Gibson, et al (1997: 437), hubungan selain dapat menciptakan kerjasama,
hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika
masing – masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri –
sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain.
Menurut
Robbin (1996), keberadaan konflik dalam organisasi dalam organisasi ditentukan
oleh persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak menyadari adanya
konflik di dalam organisasi maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak
ada. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa di dalam organisasi telah ada
konflik maka konflik tersebut telah menjadi kenyataan.
Dipandang
sebagai perilaku, konflik merupakan bentuk minteraktif yang terjadi pada
tingkatan individual, interpersonal, kelompok atau pada tingkatan organisasi
(Muchlas, 1999). Konflik ini terutama pada tingkatan individual yang sangat
dekat hubungannya dengan stres.
Menurut
Minnery (1985), Konflik organisasi merupakan interaksi antara dua atau lebih
pihak yang satu sama lain berhubungan dan saling tergantung, namun terpisahkan
oleh perbedaan tujuan.
Konflik
dalam organisasi sering terjadi tidak simetris terjadi hanya satu pihak yang
sadar dan memberikan respon terhadap konflik tersebut. Atau, satu pihak
mempersepsikan adanya pihak lain yang telah atau akan menyerang secara negatif
(Robbins, 1993).
Konflik
merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok
dengan kelompok lain karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini, pertikaian
menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih individu yang diekspresikan,
diingat, dan dialami (Pace & Faules, 1994:249).
Konflik
dapat dirasakan, diketahui, diekspresikan melalui perilaku-perilaku komunikasi
(Folger & Poole: 1984).
Konflik
senantisa berpusat pada beberapa penyebab utama, yakni tujuan yang ingin
dicapai, alokasi sumber – sumber yang dibagikan, keputusan yang diambil, maupun
perilaku setiap pihak yang terlibat (Myers,1982:234-237; Kreps, 1986:185;
Stewart, 1993:341).
Interaksi
yang disebut komunikasi antara individu yang satu dengan yang lainnya, tak
dapat disangkal akan menimbulkan konflik dalam level yang berbeda – beda
(Devito,1995:381)
2.
Penyebab
Konflik
Menurut
Robbins (1996), konflik muncul karena ada kondisi yang melatar – belakanginya
(antecedent conditions). Kondisi tersebut, yang disebut juga sebagai sumber
terjadinya konflik, terdiri dari tiga ketegori, yaitu: komunikasi, struktur,
dan variabel pribadi.
a.
Komunikasi yang buruk,
dalam arti komunikasi yang menimbulkan kesalah – pahaman antara pihak-pihak
yang terlibat, dapat menjadi sumber konflik. Suatu hasil penelitian menunjukkan
bahwa kesulitan semantik, pertukaran informasi yang tidak cukup, dan gangguan
dalam saluran komunikasi merupakan penghalang terhadap komunikasi dan menjadi
kondisi anteseden untuk terciptanya konflik. Struktur. Istilah struktur dalam
konteks ini digunakan dalam artian yang mencakup: ukuran (kelompok), derajat
spesialisasi yang diberikan kepada anggota kelompok, kejelasan jurisdiksi
(wilayah kerja), kecocokan antara tujuan anggota dengan tujuan kelompok, gaya
kepemimpinan, sistem imbalan, dan derajat ketergantungan antara kelompok.
Penelitian menunjukkan bahwa ukuran kelompok dan derajat spesialisasi merupakan
variabel yang mendorong terjadinya konflik. Makin besar kelompok, dan makin
terspesialisasi kegiatannya, maka semakin besar pula kemungkinan terjadinya
konflik.
b.
Karakteristik kepribadian
yang menyebabkan individu memiliki keunikan (idiosyncrasies) dan berbeda dengan
individu yang lain. Kenyataan menunjukkan bahwa tipe kepribadian tertentu,
misalnya, individu yang sangat otoriter, dogmatik, dan menghargai rendah orang
lain, merupakan sumber konflik yang potensial. Jika salah satu dari kondisi
tersebut terjadi dalam kelompok, dan para karyawan menyadari akan hal tersebut,
maka muncullah persepsi bahwa di dalam kelompok terjadi konflik. Keadaan ini
disebut dengan konflik yang dipersepsikan (perceived conflict). Kemudian jika
individu terlibat secara emosional, dan mereka merasa cemas, tegang, frustrasi,
atau muncul sikap bermusuhan, maka konflik berubah menjadi konflik yang
dirasakan (felt conflict). Selanjutnya, konflik yang telah disadari dan
dirasakan keberadaannya itu akan berubah menjadi konflik yang nyata, jika
pihak-pihak yang terlibat mewujudkannya dalam bentuk perilaku. Misalnya,
serangan secara verbal, ancaman terhadap pihak lain, serangan fisik, huru-hara,
pemogokan, dan sebagainya.
c.
Perbedaan individu yang
meliputi perbedaan pendirian dan perasaan. Setiap manusia adalah individu yang
unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda
satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau
lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab
dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan
kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman,
tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu
karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
d.
Perbedaan latar belakang
kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda Seseorang sedikit
banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya.
Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan
perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
e.
Perbedaan kepentingan
antara individu atau kelompok Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar
belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan,
masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda.
Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang
berbeda-beda.
3.
Bentuk
Konflik Dalam Organisasi
Richard
(1969:2) mengemukakan, terdapat dua macam konflik dalam organisasi yangtidak
dapat di hindari, yaitu :
1.
Substantive conflict, yaitu konflik secara substantive yang meliputi
ketidaksesuaian paham tentang hal-hal seperti tujuan, kebijakan dan prosedur-prosedur
serta penugasan pegawai;
2.
Emotional conflict, yaitu timbul karena perasaan-perasaan marah,
idakperketcayaan, takut dan sikap menentang, maupun bentrokan-bentrokan
kepribadian.
Kedua konflik tersebut dapat memiliki
sisi konstruktif dan destruktif.
a.
Konflik destruktif
Konflik
destrukitif menimbulkan kerugian bagi individu atau organisasi yang terlibat
didalamnya, misalnya apabila dua orang karyawan tidak dapat bekerjasama karena tejadi sikap permusuhan antara
perorangan atau
Menurut
Winardi (1994:6) macam-macam kerugian yang ditimbulkan karena konflik
destruktif, yaitu:
(a)
Perasaan cemas/tegang
(stress) yang mencekam
(b)
Komunikasi yang menyusut
(c)
Persaingan yang semakin
menghebat
(d)
Perhatian yang
makinmenyusutterhadap tujuan bersama
b.
Konflik konstruktif
Konflik
konstruktif menyebabkan banyak keuntungan bagi
individu atau organisasi yang terlibat di dalamnya.
Adapun
keuntungan yang dapat dicapai menurut Winari (1994:6) adalah:
(a)
Kreativitas dan inovasi
yang meningkat. Akibat adanya konflik
orang-orang berupaya berprilaku
dengan cara-cara baru yang lebih baik
(b)
Upaya yang meningkat
(intensitasnya) konflik dapat menyebabkan orang-orang yang terlibat dengannya
bekerja lebih keras
(c)
Ikatan (kohesi) yang
makin kuat. Konflik yang terjadi dengan pihak luar menyebabkan diperkuatnya
identitas kelompok dan diperkuatnya komitmen untuk mencapai tujuan bersama
(d)
Ketegangan yang menyusut.
Konflik dapat membantu menyusutnya ketegangan-ketegangan antar pribadi.
4.
Mengelola Konflik dalam
Organisasi dan Penyelesaiannya
Dalam
proses interaksi antara suatu sub sistem dengan sub sistem lainnya tidak ada
jaminan akan selalu terjadi kesesuaian atau kecocokan antara individu
pelaksananya. Setiap saat ketegangan dapat saja muncul, baik antar individu
maupun antar kelompok dalam organisasi. Banyak faktor yang melatarbelakangi
munculnya ketidakcocokan atau ketegangan, antara lain: sifat-sifat pribadi yang
berbeda, perbedaan kepentingan, komunikasi yang “buruk”, perbedaan nilai, dan
sebagainya. Perbedaan-perbedaan inilah yang akhirnya membawa organisasi ke
dalam suasana konflik. Agar organisasi dapat tampil efektif, maka individu dan
kelompok yang saling tergantung itu harus menciptakan hubungan kerja yang
saling mendukung satu sama lain, menuju pencapaian tujuan organisasi.
Namun,
sebagaimana dikatakan oleh Gibson, et.al. (1997:437), selain dapat
menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan
konflik. Hal ini terjadi jika masing-masing komponen organisasi memiliki
kepentingan atau tujuan sendiri-sendiri dan tidak saling bekerjasama satu sama
lain. Konflik dapat menjadi masalah yang serius dalam setiap organisasi, tanpa
peduli apapun bentuk dan tingkat kompleksitas organisasi tersebut. Konflik
dapat menurunkan kinerja organisasi yang bersangkutan, jika konflik tersebut
dibiarkan berlarut-larut tanpa penyelesaian. Karena itu keahlian untuk
mengelola konflik sangat diperlukan bagi setiap pimpinan atau manajer
organisasi.
Jika
dikelola, konflik sebenarnya memiliki nilai positif bagi interaksi manusia.
Masalahnya pengetahuan dan ketrampilan yang memadai untuk mengelola konflik
sering tidak dimiliki oleh mereka yang terlibat konflik ataupun yang menangani
konflik. Akibatnya konflik tidak hanya tidak berhasil dikelola, dalam banyak
kasus bahkan memperparah konflik yang terjadi.
Konflik
di sini tidak selamanya harus dimaknai permusuhan atau pertikaian, karena dalam
kajian sosiologis, konflik itu juga bisa bermakna kompetisi, tegangan (tension)
atau sekadar ketidaksepahaman. Itu pula sebabnya, kehadiran konflik itu tidak
selamanya harus dimaknai sebagai sebuah kekuatan yang menghancurkan – a
necessarily destructif force, karena dalam banyak hal konflik itu juga
bernilai positif, bahkan konstruktif, dan karenanya fungsional.
Persisnya,
dengan konflik dinamika lahir, dengan konflik kreativitas muncul. Bahkan
menurut pakar sosiologi, konflik asal Jerman, George Mills, konflik adalah
penggerak sejarah sekaligus sumber perubahan, dan karenanya, konflik akan besar
sumbangannya dalam mencegah kebekuan sosial.
Untuk meminimalkan terjadinya konflik maka
perlu adanya manajemen konflik, yaitu mengelola konflik yang akan terjadi.
Mengelola konflik di sini tidak berarti kita harus menghindari konflik, apalagi
menguburnya, karena bagaimanapun konflik memang harus ada. Menekan konflik
sering menimbulkan lahirnya sebuah kebijakan yang prematur. Menekan konflik
juga cenderung mengundang hadirnya kesalahpahaman yang tidak mewakili
kepentingan siapa pun. Bahkan menurut penulis buku “Social Conflict”
itu, tanpa konflik, keadilan sulit bisa diwujudkan. Karenanya, mengubur konflik
akan sama artinya dengan menyimpan bom sosial yang siap meledak kapan saja
ketika ada kesempatan yang memicunya.
Namun
sebaliknya, mengelola konflik itu juga tidak berarti harus membiarkan apalagi
menumbuhsuburkan konflik. Mengelola konflik di sini berarti cerdas memilih dan
menentukan strategi pengelolaannya. Dalam bukunya yang berjudul “Social
Conflict” (1986), Rubin dan Pruitt mengajukan beberapa strategi dasar yang
bisa digunakan dalam pengelolaan konflik sosial yang sifatnya sangat alami itu.
Pertama,
adalah strategi yang disebut dengan contending atau bertanding.
Intinya, masing-masing pihak yang akan berebut kepentingan bisa melakukan
segala upaya untuk menjadi pemenang tanpa harus memperhatikan kepentingan pihak
lain yang menjadi lawan politiknya, bahkan berusaha agar pihak lain menyerah
atau mengalah. Bentuknya pun sangat beragam. Bisa dengan membuat janji,
ancaman, atau bahkan hukuman. Bahkan bisa pula dilakukan dengan ditunjukkan
hanya dengan cara membuat argumentasi persuasif kalau bukan dengan cara
sebaliknya, ngotot dengan pendirian sepihaknya. Tentu dengan segala dampak
sosial yang bakal ditimbulkannya.
Berbeda
dengan yang pertama, maka strategi kedua dilakukan dengan cara mencari
alternatif cara yang seoptimal mungkin bisa memuaskan masing-masing pihak yang
akan berebut kepentingan. Itu sebabnya, strategi ini disebut dengan cara problem
solving (pemecahan masalah). Intinya, strategi dasar ini menyarankan
agar masing-masing pihak yang terlibat konflik berusaha mempertahankan
aspirasinya, tetapi sekaligus menghormati akan kepentingan lawan politiknya.
Upaya kompromi, rekonsiliasi, adalah dua bentuk cara yang biasa digunakan dalam
strategi kedua ini.
Memang
tidak mudah untuk mencari cara pemecahan yang bisa memuaskan sepenuhnya semua
pihak yang saling berebut kepentingan, lebih-lebih dalam perebutan kekuasaan.
Itu sebabnya, ada beberapa strategi dasar lain yang lazim muncul dalam proses
mengatasi konflik. Yielding (sikap mengalah), withdrawing (menarik
diri), dan inaction (aksi diam), adalah tiga alternatif
strategi lain yang mesti dijadikan acuan dalam menyelesaikan konflik. Dalam
konteks itu, satu atau beberapa pihak yang terlibat dalam perebutan kepentingan
bersedia menurunkan aspirasinya, bahkan jika perlu mundur menarik diri, atau
sekadar tidak berbuat apa pun semata demi menghindari konflik yang membahayakan
karena sudah cenderung destruktif.
Menurut
Kreitner dan Kinicki (1995) dalam mengelola konflik ada 5 gaya antara lain:
a. Integrating (Problem
Solving). Dalam gaya ini pihak-pihak yang berkepentingan secara bersama-sama
mengidentifikasikan masalah yang dihadapi, kemudian mencari, mempertimbangkan
dan memilih solusi alternatif pemecahan masalah. Gaya ini cocok untuk
memecahkan isu-isu kompleks yang disebabkan oleh salah paham
(misunderstanding), tetapi tidak sesuai untuk memecahkan masalah yang terjadi karena
sistem nilai yang berbeda. Kelemahan utamanya adalah memerlukan waktu yang lama
dalam penyelesaian masalah.
b. Obliging (Smoothing).
seseorang yang bergaya obliging lebih memusatkan perhatian pada upaya untuk
memuaskan pihak lain daripada diri sendiri. Gaya ini sering pula disebut smothing (melicinkan),
karena berupaya mengurangi perbedaan-perbedaan dan menekankan pada persamaan
atau kebersamaan di antara pihak-pihak yang terlibat. Kekuatan strategi ini
terletak pada upaya untuk mendorong terjadinya kerjasama. Kelemahannya,
penyelesaian bersifat sementara dan tidak menyentuh masalah pokok yang ingin
dipecahkan.
c. Dominating (Forcing).
Orientasi pada diri sendiri yang tinggi, dan rendahnya kepedulian terhadap
kepentingan orang lain, mendorong seseorang untuk menggunakan taktik “saya
menang, kamu kalah”. Gaya ini sering disebut memaksa (forcing) karena
menggunakan legalitas formal dalam menyelesaikan masalah. Gaya ini cocok
digunakan jika cara-cara yang tidak populer hendak diterapkan dalam
penyelesaian masalah, masalah yang dipecahkan tidak terlalu penting, dan waktu
untuk mengambil keputusan sudah mepet. Tetapi tidak cocok untuk menangani
masalah yang menghendaki partisipasi dari mereka yang terlibat. Kekuatan utama
gaya ini terletak pada minimalnya waktu yang diperlukan. Kelemahannya, sering
menimbulkan kejengkelan atau rasa berat hati untuk menerima keputusan oleh
mereka yang terlibat.
d. Avoiding. Taktik menghindar
(avoiding) cocok digunakan untuk menyelesaikan masalah yang sepele atau remeh,
atau jika biaya yang harus dikeluarkan untuk konfrontasi jauh lebih besar
daripada keuntungan yang akan diperoleh. Gaya ini tidak cocok untuk
menyelesaikan masalah-malasah yang sulit atau “buruk”. Kekuatan dari strategi
penghindaran adalah jika kita menghadapi situasi yang membingungkan atau mendua
(ambiguous situations), sedangkan kelemahannya, penyelesaian masalah hanya
bersifat sementara dan tidak menyelesaikan pokok masalah.
e. Compromising. Gaya ini
menempatkan seseorang pada posisi moderat, yang secara seimbang memadukan
antara kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain. Ini merupakan pendekatan
saling memberi dan menerima (give-and-take approach) dari pihak-pihak
yang terlibat. Kompromi cocok digunakan untuk menangani masalah yang melibatkan
pihak-pihak yang memiliki tujuan berbeda tetapi memiliki kekuatan yang sama.
Misalnya, dalam negosiasi kontrak antara buruh dan majikan. Kekuatan utama dari
kompromi adalah pada prosesnya yang demokratis dan tidak ada pihak yang merasa
dikalahkan. Tetapi penyelesaian konflik kadang bersifat sementara dan mencegah
munculnya kreativitas dalam penyelesaian masalah.
5.
Konsekuensi Konflik
a.
Dampak
positif
-
memberikan
bukti kehidupan dan vitalitas
-
memperbaharui
motivasi
-
menyalurkan
fustrasi
-
menumbuhkan
dan mematangkan kepribadian seseorang
b.
Dampak
negatif konflik
-
perubahan
yang dibutuhkan tidak terlaksana
-
perasaan
disakiti meningkat
-
terjadinya
gejolak emosi
-
bertumbuhnya
rasa tidak puas, gosif, dan bicara dibelakang
c.
paradoks
konflik
-
semakin
saling memperhatikan, semakin mereka berada dalam konflik
-
kegagalan
mengenali motif secara jujur seseorang menyebabkan konflik makin besar
-
konflik semakin
besar, maka organisasi makin stabil
6.
Konflik
di Lingkungan Organisasi Sekolah
Konflik dapat diartikan sebagai suatu keadaan
dimana seseorang dihadapkan dengan motif, keyakinan, nilai dan tujuan yang
saling bertentangan. Konflik bisa dialami oleh siapapun dan di manapun,
termasuk oleh komunitas di sekolah. Siswa, guru, atau pun kepala sekolah dalam
waktu-waktu tertentu sangat mungkin dihadapkan dengan konflik.
Konflik yang dialami individu di sekolah dapat
hadir dalam berbagai bentuk, bisa dalam bentuk individu dengan individu,
individu dengan kelompok atau kelompok dengan kelompok. Misalnya, seorang guru
berhadapan seorang guru, seorang
guru berhadapan dengan sekelompok guru, sekelompok guru tertentu berhadapan
dengan sekelompok guru lainnya., dan sejenisnya. Konflik yang terjadi diantara
mereka bisa bersifat tertutup, terbuka atau bahkan menjadi konfrontasi.
Apabila konflik yang terjadi di
sekolah tidak terkelola dan bersifat destruktif, maka selain dapat mengganggu
kesehatan dan kualitas kehidupan seseorang, juga dapat mengganggu terhadap
pencapaian efektivitas dan efisiensi pendidikan di sekolah secara keseluruhan.
Terkait dengan upaya mengelola
konflik di sekolah, Daniel Robin (2004) dalam sebuah artikelnya menawarkan
tujuh sikap yang diperlukan untuk mencairkan konflik.
1.
Define what the conflict is about
Definisikan secara jelas konflik apa yang sedang berkembang.
Tanyakan pada setiap orang “Ada issue apa?”, lalu tanyakan pula “Apa
kepedulian Anda di sini? atau
“Apa yang kamu rasakan dan manfaat dari pertengkaran ini”. Secara
berkala tanyakan pula “Apa yang ingin Anda capai dan bagamana kita harus
mengerjakannya?”
2.
It’s not you versus me; it’s you and me versus the problem
Memiliki keyakinan bahwa “Ini bukanlah pertentangan antara anda
dengan saya, tetapi ini adalah saya bersama anda melawan masalah itu”.
Masalah yang sebenarnya adalah masalah itu sendiri, yang harsus diselesaikan,
bukan terletak pada orangnya. Adalah hal yang amat bodoh, jika Anda mencoba
mengalahkan salah satu dari antara pihak yang berkonflik, karena suatu saat
setelah mereka dikalahkan, meraka akan kembali melakukan pertempuran ulang
(rematch) yang terus-menerus, yang mungkin dengan
daya tembak yang lebih kuat. Jangan
paksa orang untuk bertekuk lutut!
3.
Identify your shared concerns against your one shared separation.
Lakukan identifikasi orang-orang yang memiliki kepedulian yang sama
dengan Anda dan orang–orang yang justru berseberangan dengan Anda. Jika
dihadapkan pada suatu konflik, buatlah semacam kesepakatan dengan kelompok yang
memiliki hubungan paling kuat (dimana Anda menyetujuinya), tidak dengan
kelompok yang paling lemah. Ini akan lebih mudah dan juga lebih efektif, apabila Anda
hendak mengalihkan hal-hal yang disetujui maupun tidak disetujui. Pahami sudut
pandang mereka dan berikan penghargaan atas
perbedaaan yang ada.
4.
Sort out interpretations from facts.
Memilah interpretasi berdasarkan fakta. Jangan meminta suatu
pendapat dari orang yang sedang
berkonflik, karena hanya akan memperoleh pendapat dan penafsiran versi mereka.
Tetapi sebaiknya ungkapkan “Apa yang telah kamu lakukan atau katakan?”
pertanyaan semacam ini akan lebih menggiring pada fakta, yang selanjutnya dapat
dijadikan dasar bagi pemecahan konflik
5.
Develop a sense of forgiveness.
Kembangkan rasa untuk memaafkan. Tidak mungkin terjadi rekonsiliasi
tanpa belajar memaafkan kesalahan orang lain. Banyak orang melakukan perdamaian
tetapi tidak bisa mengubur kejadian yang sudah-sudah sehingga pada hari
kemudian memunculkan lagi pertengkaran. Oleh karena itu, setiap orang penting
untuk dibelajarkan mau memaafkan orang lain secara tulus. Yang lalu biar
berlalu, hari ini kenyataan dan esok hari adalah harapan!
6.
Learn to listen actively
Belajar mendengar secara aktif. Putarlah paradigma dari ungkapan “ Ketika saya bicara, orang lain
mendengarkan” menjadi “Ketika saya mendengarkan, orang lain berbicara
kepada saya”. Mendengarkan dengan tujuan untuk memahami, bukan untuk menjawab Mulailah dengan berusaha memahami,
kemudian menjadi dipahami. Setidaknya dengan cara ini, akan membantu melepaskan
ego atau uneg-uneg yang bersangkutan
(katarsis)
7.
Purify your heart.
Terakhir, berusaha mensucikan hati. Hati yang bersih merupakan benteng utama dari berbagai serangan dari
luar dan juga akan
pembimbing kita dalam setiap tindakan. Rasa benci, iri dan dengki yang bercokol
di hati kerapkali menjadi pemicu terjadinya konflik.
B. PENERAPAN KONSEP
Dalam menghapi konflik baik dalam
organisasi maupun di masyarakat. Untuk memecahkan konplik tersebut dapat di
lakukan sebagai berikut:
a.
Mengakui adanya konflik.
b.
Mengidentifikasi konflik
yang sebenarnya.
c.
Mendengarkan semua
pendapat atau sudut pandang dari aktor yang terlibat.
d.
Bersama-sama mencari cara
terbaik untuk menyelesaikan konflik.
e.
Mendapatkan kesepakatan
dan tanggung jawab untuk menemukan solusi
Adapun
yang dapat dilakukan untuk memecahkan masalah yang mengakibatkan terjadinya
konflik antara lain:
a.
Integrating (Problem
Solving). Dalam gaya ini pihak-pihak yang berkepentingan secara bersama-sama
mengidentifikasikan masalah yang dihadapi, kemudian mencari, mempertimbangkan
dan memilih solusi alternatif pemecahan masalah. Gaya ini cocok untuk
memecahkan isu isu kompleks yang disebabkan oleh salah paham
(misunderstanding), tetapi tidak sesuai untuk memecahkan masalah yang terjadi
karena sistem nilai yang berbeda. Kelemahan utamanya adalah memerlukan waktu
yang lama dalam penyelesaian masalah.
b.
Dominating (Forcing).
Orientasi pada diri sendiri yang tinggi, dan rendahnya kepedulian terhadap
kepentingan orang lain, mendorong seseorang untuk menggunakan taktik “saya
menang, kamu kalah”. Gaya ini sering disebut memaksa (forcing) karena
menggunakan legalitas formal dalam menyelesaikan masalah. Gaya ini cocok
digunakan jika cara-cara yang tidak populer hendak diterapkan dalam
penyelesaian masalah, masalah yang dipecahkan tidak terlalu penting, dan waktu
untuk mengambil keputusan sudah mepet. Tetapi tidak cocok untuk menangani
masalah yang menghendaki partisipasi dari mereka yang terlibat. Kekuatan utama
gaya ini terletak pada minimalnya waktu yang diperlukan. Kelemahannya, sering
menimbulkan kejengkelan atau rasa berat hati untuk menerima keputusan oleh
mereka yang terlibat.
c.
Avoiding. Taktik menghindar
(avoiding) cocok digunakan untuk menyelesaikan masalah yang sepele atau remeh.
Gaya ini tidak cocok untuk menyelesaikan masalah – malasah yang sulit atau
“buruk”. Kekuatan dari strategi penghindaran adalah jika kita menghadapi
situasi yang membingungkan atau mendua (ambiguous situations). Sedangkan
kelemahannya, penyelesaian masalah hanya bersifat sementara dan tidak
menyelesaikan pokok masalah.
d.
Compromising. Gaya ini
menempatkan seseorang pada posisi moderat, yang secara seimbang memadukan
antara kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain. Ini merupakan pendekatan
saling memberi dan menerima (give-and-take approach) dari pihak-pihak yang
terlibat.Kompromi cocok digunakan untuk menangani masalah yang melibatkan
pihak-pihak yang memiliki tujuan berbeda tetapi memiliki kekuatan yang sama.
Misalnya, dalam negosiasi kontrak antara buruh dan majikan. Kekuatan utama dari
kompromi adalah pada prosesnya yang demokratis dan tidak ada pihak yang merasa
dikalahkan. Tetapi penyelesaian konflik kadang bersifat sementara dan mencegah
munculnya kreativitas dalam penyelesaian masalah.
BAB
III
PENUTUP
A. Simpulan
Konflik merupakan hal yang tidak
bisa dihindari dalam sebuah
organisasi, disebabkan oleh banyak faktor yang pada intinya karena organisasi terbentuk dari banyak
individu dan kelompok yang memiliki sifat & tujuan yang berbeda satu sama
lain. Untuk memecahkan konplik tersebut dapat di lakukan dengan cara:
1.
Mengakui adanya konflik.
2.
Mengidentifikasi konflik
yang sebenarnya.
3.
Mendengarkan semua
pendapat atau sudut pandang dari aktor yang terlibat.
4.
Bersama-sama mencari cara
terbaik untuk menyelesaikan konflik.
5.
Mendapatkan kesepakatan
dan tanggung jawab untuk menemukan solusi.
6.
Integrating (Problem
Solving)
7.
Dominating (Forcing).
8.
Avoiding. Taktik
menghindar (avoiding)
9.
Compromising
B. Rekomendasi
1.
Bagi orang yang aktif
diorganisasi dan dipekerjaan jadikanlah Konflik
menjadi sebuah rohmat bukan menjadi musibah atau masalah
2.
Biasakan dalam
menylesaikan maslah/konfik menggunakan akal sehat atau pikiran yang
jernih/dingin dan ilmu, jangan sekali kali memakai otot(hawa nafsu)
3.
Pahamilah dalam setiap
permasalahan yang muncul di sekitar kita (pribadi, organisasi, pekerjaan ) dan kembalikan kepda nilai nilai ajaran agama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar