Kamis, 19 Mei 2022

MAKALAH MENGELOLA KONFLIK ORGANISASI

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.   Latar Belakang

Secara sosiologis, konflik merupakan suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) yang salah satu pihak diantaranya berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu  masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.

 

B.   Tujuan

Dalam makalah ini penyusun memiliki tujuan dan harapan yang ingin di capai meliputi:

1.        Mengetahui pengertian konplik

2.        Pemecahan masalan dalam menghadapi konplik

3.        Untuk memenuhi tugas dari mata kuliah organisasi, kepemimpinan dan manajemen personalia

 

 

 

 

 

 

BAB II

ISI

 

A.      KAJIAN TEORI

1.        Konplik Menurut Para Ahli

Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977), konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada berbangkitnya keadaan ketidak setujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan.

Menurut Gibson, et al (1997: 437), hubungan selain dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing – masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri – sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain.

Menurut Robbin (1996), keberadaan konflik dalam organisasi dalam organisasi ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak menyadari adanya konflik di dalam organisasi maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa di dalam organisasi telah ada konflik maka konflik tersebut telah menjadi kenyataan.

Dipandang sebagai perilaku, konflik merupakan bentuk minteraktif yang terjadi pada tingkatan individual, interpersonal, kelompok atau pada tingkatan organisasi (Muchlas, 1999). Konflik ini terutama pada tingkatan individual yang sangat dekat hubungannya dengan stres.

Menurut Minnery (1985), Konflik organisasi merupakan interaksi antara dua atau lebih pihak yang satu sama lain berhubungan dan saling tergantung, namun terpisahkan oleh perbedaan tujuan.

Konflik dalam organisasi sering terjadi tidak simetris terjadi hanya satu pihak yang sadar dan memberikan respon terhadap konflik tersebut. Atau, satu pihak mempersepsikan adanya pihak lain yang telah atau akan menyerang secara negatif (Robbins, 1993).

Konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok dengan kelompok lain karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini, pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih individu yang diekspresikan, diingat, dan dialami (Pace & Faules, 1994:249).

Konflik dapat dirasakan, diketahui, diekspresikan melalui perilaku-perilaku komunikasi (Folger & Poole: 1984).

Konflik senantisa berpusat pada beberapa penyebab utama, yakni tujuan yang ingin dicapai, alokasi sumber – sumber yang dibagikan, keputusan yang diambil, maupun perilaku setiap pihak yang terlibat (Myers,1982:234-237; Kreps, 1986:185; Stewart, 1993:341).

Interaksi yang disebut komunikasi antara individu yang satu dengan yang lainnya, tak dapat disangkal akan menimbulkan konflik dalam level yang berbeda – beda (Devito,1995:381)

 

2.        Penyebab Konflik

            Menurut Robbins (1996), konflik muncul karena ada kondisi yang melatar – belakanginya (antecedent conditions). Kondisi tersebut, yang disebut juga sebagai sumber terjadinya konflik, terdiri dari tiga ketegori, yaitu: komunikasi, struktur, dan variabel pribadi.

a.         Komunikasi yang buruk, dalam arti komunikasi yang menimbulkan kesalah – pahaman antara pihak-pihak yang terlibat, dapat menjadi sumber konflik. Suatu hasil penelitian menunjukkan bahwa kesulitan semantik, pertukaran informasi yang tidak cukup, dan gangguan dalam saluran komunikasi merupakan penghalang terhadap komunikasi dan menjadi kondisi anteseden untuk terciptanya konflik. Struktur. Istilah struktur dalam konteks ini digunakan dalam artian yang mencakup: ukuran (kelompok), derajat spesialisasi yang diberikan kepada anggota kelompok, kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja), kecocokan antara tujuan anggota dengan tujuan kelompok, gaya kepemimpinan, sistem imbalan, dan derajat ketergantungan antara kelompok. Penelitian menunjukkan bahwa ukuran kelompok dan derajat spesialisasi merupakan variabel yang mendorong terjadinya konflik. Makin besar kelompok, dan makin terspesialisasi kegiatannya, maka semakin besar pula kemungkinan terjadinya konflik.

b.        Karakteristik kepribadian yang menyebabkan individu memiliki keunikan (idiosyncrasies) dan berbeda dengan individu yang lain. Kenyataan menunjukkan bahwa tipe kepribadian tertentu, misalnya, individu yang sangat otoriter, dogmatik, dan menghargai rendah orang lain, merupakan sumber konflik yang potensial. Jika salah satu dari kondisi tersebut terjadi dalam kelompok, dan para karyawan menyadari akan hal tersebut, maka muncullah persepsi bahwa di dalam kelompok terjadi konflik. Keadaan ini disebut dengan konflik yang dipersepsikan (perceived conflict). Kemudian jika individu terlibat secara emosional, dan mereka merasa cemas, tegang, frustrasi, atau muncul sikap bermusuhan, maka konflik berubah menjadi konflik yang dirasakan (felt conflict). Selanjutnya, konflik yang telah disadari dan dirasakan keberadaannya itu akan berubah menjadi konflik yang nyata, jika pihak-pihak yang terlibat mewujudkannya dalam bentuk perilaku. Misalnya, serangan secara verbal, ancaman terhadap pihak lain, serangan fisik, huru-hara, pemogokan, dan sebagainya.

c.         Perbedaan individu yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan. Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.

d.        Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.

e.       Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda.

3.        Bentuk Konflik Dalam Organisasi

Richard (1969:2) mengemukakan, terdapat dua macam konflik dalam organisasi yangtidak dapat di hindari, yaitu :

1. Substantive conflict, yaitu konflik secara substantive yang meliputi ketidaksesuaian paham tentang hal-hal seperti tujuan, kebijakan dan prosedur-prosedur serta penugasan pegawai;

2. Emotional conflict, yaitu timbul karena perasaan-perasaan marah, idakperketcayaan, takut dan sikap menentang, maupun bentrokan-bentrokan kepribadian.

           Kedua konflik tersebut dapat memiliki sisi konstruktif dan destruktif.

a.         Konflik destruktif

Konflik destrukitif menimbulkan kerugian bagi individu atau organisasi yang terlibat didalamnya, misalnya apabila dua orang karyawan tidak dapat bekerjasama  karena tejadi sikap permusuhan antara perorangan atau

Menurut Winardi (1994:6) macam-macam kerugian yang ditimbulkan karena konflik destruktif, yaitu:

(a)   Perasaan cemas/tegang (stress) yang mencekam

(b)   Komunikasi yang menyusut

(c)   Persaingan yang semakin menghebat

(d)   Perhatian yang makinmenyusutterhadap tujuan bersama

b.        Konflik konstruktif

       Konflik konstruktif menyebabkan banyak keuntungan bagi  individu atau organisasi yang terlibat di dalamnya.

       Adapun keuntungan yang dapat dicapai menurut Winari (1994:6) adalah:

(a)     Kreativitas dan inovasi yang meningkat. Akibat adanya konflik  orang-orang berupaya  berprilaku dengan cara-cara baru yang lebih baik

(b)     Upaya yang meningkat (intensitasnya) konflik dapat menyebabkan orang-orang yang terlibat dengannya bekerja lebih keras

(c)     Ikatan (kohesi) yang makin kuat. Konflik yang terjadi dengan pihak luar menyebabkan diperkuatnya identitas kelompok dan diperkuatnya komitmen untuk mencapai tujuan bersama

(d)     Ketegangan yang menyusut. Konflik dapat membantu menyusutnya ketegangan-ketegangan antar pribadi.

 

4.        Mengelola Konflik dalam Organisasi  dan Penyelesaiannya

Dalam proses interaksi antara suatu sub sistem dengan sub sistem lainnya tidak ada jaminan akan selalu terjadi kesesuaian atau kecocokan antara individu pelaksananya. Setiap saat ketegangan dapat saja muncul, baik antar individu maupun antar kelompok dalam organisasi. Banyak faktor yang melatarbelakangi munculnya ketidakcocokan atau ketegangan, antara lain: sifat-sifat pribadi yang berbeda, perbedaan kepentingan, komunikasi yang “buruk”, perbedaan nilai, dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan inilah yang akhirnya membawa organisasi ke dalam suasana konflik. Agar organisasi dapat tampil efektif, maka individu dan kelompok yang saling tergantung itu harus menciptakan hubungan kerja yang saling mendukung satu sama lain, menuju pencapaian tujuan organisasi.

Namun, sebagaimana dikatakan oleh Gibson, et.al. (1997:437), selain dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing-masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri-sendiri dan tidak saling bekerjasama satu sama lain. Konflik dapat menjadi masalah yang serius dalam setiap organisasi, tanpa peduli apapun bentuk dan tingkat kompleksitas organisasi tersebut. Konflik dapat menurunkan kinerja organisasi yang bersangkutan, jika konflik tersebut dibiarkan berlarut-larut tanpa penyelesaian. Karena itu keahlian untuk mengelola konflik sangat diperlukan bagi setiap pimpinan atau manajer organisasi.

Jika dikelola, konflik sebenarnya memiliki nilai positif bagi interaksi manusia. Masalahnya pengetahuan dan ketrampilan yang memadai untuk mengelola konflik sering tidak dimiliki oleh mereka yang terlibat konflik ataupun yang menangani konflik. Akibatnya konflik tidak hanya tidak berhasil dikelola, dalam banyak kasus bahkan memperparah konflik yang terjadi.

Konflik di sini tidak selamanya harus dimaknai permusuhan atau pertikaian, karena dalam kajian sosiologis, konflik itu juga bisa bermakna kompetisi, tegangan (tension) atau sekadar ketidaksepahaman. Itu pula sebabnya, kehadiran konflik itu tidak selamanya harus dimaknai sebagai sebuah kekuatan yang menghancurkan – a necessarily destructif force, karena dalam banyak hal konflik itu juga bernilai positif, bahkan konstruktif, dan karenanya fungsional.

Persisnya, dengan konflik dinamika lahir, dengan konflik kreativitas muncul. Bahkan menurut pakar sosiologi, konflik asal Jerman, George Mills, konflik adalah penggerak sejarah sekaligus sumber perubahan, dan karenanya, konflik akan besar sumbangannya dalam mencegah kebekuan sosial. 

 Untuk meminimalkan terjadinya konflik maka perlu adanya manajemen konflik, yaitu mengelola konflik yang akan terjadi. Mengelola konflik di sini tidak berarti kita harus menghindari konflik, apalagi menguburnya, karena bagaimanapun konflik memang harus ada. Menekan konflik sering menimbulkan lahirnya sebuah kebijakan yang prematur. Menekan konflik juga cenderung mengundang hadirnya kesalahpahaman yang tidak mewakili kepentingan siapa pun. Bahkan menurut penulis buku “Social Conflict” itu, tanpa konflik, keadilan sulit bisa diwujudkan. Karenanya, mengubur konflik akan sama artinya dengan menyimpan bom sosial yang siap meledak kapan saja ketika ada kesempatan yang memicunya.

Namun sebaliknya, mengelola konflik itu juga tidak berarti harus membiarkan apalagi menumbuhsuburkan konflik. Mengelola konflik di sini berarti cerdas memilih dan menentukan strategi pengelolaannya. Dalam bukunya yang berjudul “Social Conflict” (1986), Rubin dan Pruitt mengajukan beberapa strategi dasar yang bisa digunakan dalam pengelolaan konflik sosial yang sifatnya sangat alami itu.

Pertama, adalah strategi yang disebut dengan contending atau bertanding. Intinya, masing-masing pihak yang akan berebut kepentingan bisa melakukan segala upaya untuk menjadi pemenang tanpa harus memperhatikan kepentingan pihak lain yang menjadi lawan politiknya, bahkan berusaha agar pihak lain menyerah atau mengalah. Bentuknya pun sangat beragam. Bisa dengan membuat janji, ancaman, atau bahkan hukuman. Bahkan bisa pula dilakukan dengan ditunjukkan hanya dengan cara membuat argumentasi persuasif kalau bukan dengan cara sebaliknya, ngotot dengan pendirian sepihaknya. Tentu dengan segala dampak sosial yang bakal ditimbulkannya.

Berbeda dengan yang pertama, maka strategi kedua dilakukan dengan cara mencari alternatif cara yang seoptimal mungkin bisa memuaskan masing-masing pihak yang akan berebut kepentingan. Itu sebabnya, strategi ini disebut dengan cara problem solving (pemecahan masalah). Intinya, strategi dasar ini menyarankan agar masing-masing pihak yang terlibat konflik berusaha mempertahankan aspirasinya, tetapi sekaligus menghormati akan kepentingan lawan politiknya. Upaya kompromi, rekonsiliasi, adalah dua bentuk cara yang biasa digunakan dalam strategi kedua ini.

Memang tidak mudah untuk mencari cara pemecahan yang bisa memuaskan sepenuhnya semua pihak yang saling berebut kepentingan, lebih-lebih dalam perebutan kekuasaan. Itu sebabnya, ada beberapa strategi dasar lain yang lazim muncul dalam proses mengatasi konflik. Yielding (sikap mengalah), withdrawing (menarik diri), dan inaction (aksi diam), adalah tiga alternatif strategi lain yang mesti dijadikan acuan dalam menyelesaikan konflik. Dalam konteks itu, satu atau beberapa pihak yang terlibat dalam perebutan kepentingan bersedia menurunkan aspirasinya, bahkan jika perlu mundur menarik diri, atau sekadar tidak berbuat apa pun semata demi menghindari konflik yang membahayakan karena sudah cenderung destruktif.

Menurut Kreitner dan Kinicki (1995) dalam mengelola konflik ada 5 gaya antara lain:

a. Integrating (Problem Solving). Dalam gaya ini pihak-pihak yang berkepentingan secara bersama-sama mengidentifikasikan masalah yang dihadapi, kemudian mencari, mempertimbangkan dan memilih solusi alternatif pemecahan masalah. Gaya ini cocok untuk memecahkan isu-isu kompleks yang disebabkan oleh salah paham (misunderstanding), tetapi tidak sesuai untuk memecahkan masalah yang terjadi karena sistem nilai yang berbeda. Kelemahan utamanya adalah memerlukan waktu yang lama dalam penyelesaian masalah.

b. Obliging (Smoothing). seseorang yang bergaya obliging lebih memusatkan perhatian pada upaya untuk memuaskan pihak lain daripada diri sendiri. Gaya ini sering pula disebut smothing (melicinkan), karena berupaya mengurangi perbedaan-perbedaan dan menekankan pada persamaan atau kebersamaan di antara pihak-pihak yang terlibat. Kekuatan strategi ini terletak pada upaya untuk mendorong terjadinya kerjasama. Kelemahannya, penyelesaian bersifat sementara dan tidak menyentuh masalah pokok yang ingin dipecahkan.

c. Dominating (Forcing). Orientasi pada diri sendiri yang tinggi, dan rendahnya kepedulian terhadap kepentingan orang lain, mendorong seseorang untuk menggunakan taktik “saya menang, kamu kalah”. Gaya ini sering disebut memaksa (forcing) karena menggunakan legalitas formal dalam menyelesaikan masalah. Gaya ini cocok digunakan jika cara-cara yang tidak populer hendak diterapkan dalam penyelesaian masalah, masalah yang dipecahkan tidak terlalu penting, dan waktu untuk mengambil keputusan sudah mepet. Tetapi tidak cocok untuk menangani masalah yang menghendaki partisipasi dari mereka yang terlibat. Kekuatan utama gaya ini terletak pada minimalnya waktu yang diperlukan. Kelemahannya, sering menimbulkan kejengkelan atau rasa berat hati untuk menerima keputusan oleh mereka yang terlibat.

d. Avoiding. Taktik menghindar (avoiding) cocok digunakan untuk menyelesaikan masalah yang sepele atau remeh, atau jika biaya yang harus dikeluarkan untuk konfrontasi jauh lebih besar daripada keuntungan yang akan diperoleh. Gaya ini tidak cocok untuk menyelesaikan masalah-malasah yang sulit atau “buruk”. Kekuatan dari strategi penghindaran adalah jika kita menghadapi situasi yang membingungkan atau mendua (ambiguous situations), sedangkan kelemahannya, penyelesaian masalah hanya bersifat sementara dan tidak menyelesaikan pokok masalah.

e. Compromising. Gaya ini menempatkan seseorang pada posisi moderat, yang secara seimbang memadukan antara kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain. Ini merupakan pendekatan saling memberi dan menerima (give-and-take approach) dari pihak-pihak yang terlibat. Kompromi cocok digunakan untuk menangani masalah yang melibatkan pihak-pihak yang memiliki tujuan berbeda tetapi memiliki kekuatan yang sama. Misalnya, dalam negosiasi kontrak antara buruh dan majikan. Kekuatan utama dari kompromi adalah pada prosesnya yang demokratis dan tidak ada pihak yang merasa dikalahkan. Tetapi penyelesaian konflik kadang bersifat sementara dan mencegah munculnya kreativitas dalam penyelesaian masalah.

 

5.        Konsekuensi Konflik

a.       Dampak positif

-       memberikan bukti kehidupan dan vitalitas

-       memperbaharui motivasi

-       menyalurkan fustrasi

-       menumbuhkan dan mematangkan kepribadian seseorang

b.      Dampak negatif konflik

-       perubahan yang dibutuhkan tidak terlaksana

-       perasaan disakiti meningkat

-       terjadinya gejolak emosi

-       bertumbuhnya rasa tidak puas, gosif, dan bicara dibelakang

c.    paradoks konflik

-       semakin saling memperhatikan, semakin mereka berada dalam konflik

-       kegagalan mengenali motif secara jujur seseorang menyebabkan konflik makin besar

-       konflik semakin besar, maka organisasi makin stabil

 

6.        Konflik di Lingkungan Organisasi Sekolah

Konflik  dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang dihadapkan dengan motif, keyakinan, nilai dan tujuan yang saling bertentangan. Konflik bisa dialami oleh siapapun dan di manapun, termasuk oleh komunitas di sekolah. Siswa, guru, atau pun kepala sekolah dalam waktu-waktu tertentu sangat mungkin dihadapkan dengan konflik.

Konflik yang dialami individu di sekolah dapat hadir dalam berbagai bentuk, bisa dalam bentuk individu dengan individu, individu dengan kelompok atau kelompok dengan kelompok. Misalnya, seorang guru berhadapan seorang guru, seorang guru berhadapan dengan sekelompok guru, sekelompok guru tertentu berhadapan dengan sekelompok guru lainnya., dan sejenisnya. Konflik yang terjadi diantara mereka bisa bersifat tertutup, terbuka atau bahkan menjadi konfrontasi.

Apabila konflik yang terjadi di sekolah tidak terkelola dan bersifat destruktif, maka selain dapat mengganggu kesehatan dan kualitas kehidupan seseorang, juga dapat mengganggu terhadap pencapaian efektivitas dan efisiensi pendidikan di sekolah secara keseluruhan.

Terkait dengan upaya mengelola konflik di sekolah, Daniel Robin (2004) dalam sebuah artikelnya menawarkan tujuh sikap yang diperlukan untuk mencairkan konflik.

1. Define what the conflict is about

Definisikan secara jelas konflik apa yang sedang berkembang. Tanyakan pada setiap orang “Ada issue apa?”, lalu tanyakan pula “Apa kepedulian Anda di sini? atau “Apa yang kamu rasakan dan manfaat dari pertengkaran ini”. Secara berkala tanyakan pula “Apa yang ingin Anda capai dan bagamana kita harus mengerjakannya?”

2. It’s not you versus me; it’s you and me versus the problem

Memiliki keyakinan bahwa “Ini bukanlah pertentangan antara anda dengan saya, tetapi ini adalah saya bersama anda melawan masalah itu”. Masalah yang sebenarnya adalah masalah itu sendiri, yang harsus diselesaikan, bukan terletak pada orangnya. Adalah hal yang amat bodoh, jika Anda mencoba mengalahkan salah satu dari antara pihak yang berkonflik, karena suatu saat setelah mereka dikalahkan, meraka akan kembali melakukan pertempuran ulang (rematch) yang terus-menerus, yang mungkin dengan daya tembak yang lebih kuat. Jangan paksa orang untuk bertekuk lutut!

3. Identify your shared concerns against your one shared separation.

     Lakukan identifikasi orang-orang yang memiliki kepedulian yang sama dengan Anda dan orang–orang yang justru berseberangan dengan Anda. Jika dihadapkan pada suatu konflik, buatlah semacam kesepakatan dengan kelompok yang memiliki hubungan paling kuat (dimana Anda menyetujuinya), tidak dengan kelompok yang paling lemah. Ini akan lebih mudah dan juga lebih efektif, apabila Anda hendak mengalihkan hal-hal yang disetujui maupun tidak disetujui. Pahami sudut pandang mereka dan berikan penghargaan atas perbedaaan yang ada.

 

 

4. Sort out interpretations from facts.

Memilah interpretasi berdasarkan fakta. Jangan meminta suatu pendapat dari orang yang sedang berkonflik, karena hanya akan memperoleh pendapat dan penafsiran versi mereka. Tetapi sebaiknya ungkapkan “Apa yang telah kamu lakukan atau katakan?” pertanyaan semacam ini akan lebih menggiring pada fakta, yang selanjutnya dapat dijadikan dasar bagi pemecahan konflik

5. Develop a sense of forgiveness.

Kembangkan rasa untuk memaafkan. Tidak mungkin terjadi rekonsiliasi tanpa belajar memaafkan kesalahan orang lain. Banyak orang melakukan perdamaian tetapi tidak bisa mengubur kejadian yang sudah-sudah sehingga pada hari kemudian memunculkan lagi pertengkaran. Oleh karena itu, setiap orang penting untuk dibelajarkan mau memaafkan orang lain secara tulus. Yang lalu biar berlalu, hari ini kenyataan dan esok hari adalah harapan!

6. Learn to listen actively

Belajar mendengar secara aktif. Putarlah paradigma dari ungkapan “ Ketika saya bicara, orang lain mendengarkan” menjadi “Ketika saya mendengarkan, orang lain berbicara kepada saya”. Mendengarkan dengan tujuan untuk memahami, bukan untuk menjawab Mulailah dengan berusaha memahami, kemudian menjadi dipahami. Setidaknya dengan cara ini, akan membantu melepaskan ego atau uneg-uneg yang bersangkutan (katarsis)

7. Purify your heart.

Terakhir, berusaha mensucikan hati. Hati yang bersih merupakan benteng utama dari berbagai serangan dari luar  dan juga akan pembimbing kita dalam setiap tindakan. Rasa benci, iri dan dengki yang bercokol di hati kerapkali menjadi pemicu terjadinya konflik.

 

B.     PENERAPAN KONSEP

Dalam menghapi konflik baik dalam organisasi maupun di masyarakat. Untuk memecahkan konplik tersebut dapat di lakukan sebagai berikut:

a.         Mengakui adanya konflik.

b.        Mengidentifikasi konflik yang sebenarnya.

c.         Mendengarkan semua pendapat atau sudut pandang dari aktor yang terlibat.

d.        Bersama-sama mencari cara terbaik untuk menyelesaikan konflik.

e.         Mendapatkan kesepakatan dan tanggung jawab untuk menemukan solusi

Adapun yang dapat dilakukan untuk memecahkan masalah yang mengakibatkan terjadinya konflik  antara lain:

a.         Integrating (Problem Solving). Dalam gaya ini pihak-pihak yang berkepentingan secara bersama-sama mengidentifikasikan masalah yang dihadapi, kemudian mencari, mempertimbangkan dan memilih solusi alternatif pemecahan masalah. Gaya ini cocok untuk memecahkan isu isu kompleks yang disebabkan oleh salah paham (misunderstanding), tetapi tidak sesuai untuk memecahkan masalah yang terjadi karena sistem nilai yang berbeda. Kelemahan utamanya adalah memerlukan waktu yang lama dalam penyelesaian masalah.

b.        Dominating (Forcing). Orientasi pada diri sendiri yang tinggi, dan rendahnya kepedulian terhadap kepentingan orang lain, mendorong seseorang untuk menggunakan taktik “saya menang, kamu kalah”. Gaya ini sering disebut memaksa (forcing) karena menggunakan legalitas formal dalam menyelesaikan masalah. Gaya ini cocok digunakan jika cara-cara yang tidak populer hendak diterapkan dalam penyelesaian masalah, masalah yang dipecahkan tidak terlalu penting, dan waktu untuk mengambil keputusan sudah mepet. Tetapi tidak cocok untuk menangani masalah yang menghendaki partisipasi dari mereka yang terlibat. Kekuatan utama gaya ini terletak pada minimalnya waktu yang diperlukan. Kelemahannya, sering menimbulkan kejengkelan atau rasa berat hati untuk menerima keputusan oleh mereka yang terlibat.

c.         Avoiding. Taktik menghindar (avoiding) cocok digunakan untuk menyelesaikan masalah yang sepele atau remeh. Gaya ini tidak cocok untuk menyelesaikan masalah – malasah yang sulit atau “buruk”. Kekuatan dari strategi penghindaran adalah jika kita menghadapi situasi yang membingungkan atau mendua (ambiguous situations). Sedangkan kelemahannya, penyelesaian masalah hanya bersifat sementara dan tidak menyelesaikan pokok masalah.

d.        Compromising. Gaya ini menempatkan seseorang pada posisi moderat, yang secara seimbang memadukan antara kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain. Ini merupakan pendekatan saling memberi dan menerima (give-and-take approach) dari pihak-pihak yang terlibat.Kompromi cocok digunakan untuk menangani masalah yang melibatkan pihak-pihak yang memiliki tujuan berbeda tetapi memiliki kekuatan yang sama. Misalnya, dalam negosiasi kontrak antara buruh dan majikan. Kekuatan utama dari kompromi adalah pada prosesnya yang demokratis dan tidak ada pihak yang merasa dikalahkan. Tetapi penyelesaian konflik kadang bersifat sementara dan mencegah munculnya kreativitas dalam penyelesaian masalah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

A.    Simpulan

Konflik merupakan hal yang  tidak  bisa  dihindari dalam sebuah organisasi, disebabkan oleh banyak faktor yang pada intinya  karena organisasi terbentuk dari banyak individu dan kelompok yang memiliki sifat & tujuan yang berbeda satu sama lain. Untuk memecahkan konplik tersebut dapat di lakukan dengan cara:

1.      Mengakui adanya konflik.

2.      Mengidentifikasi konflik yang sebenarnya.

3.      Mendengarkan semua pendapat atau sudut pandang dari aktor yang terlibat.

4.      Bersama-sama mencari cara terbaik untuk menyelesaikan konflik.

5.      Mendapatkan kesepakatan dan tanggung jawab untuk menemukan solusi.

6.      Integrating (Problem Solving)

7.      Dominating (Forcing).

8.      Avoiding. Taktik menghindar (avoiding)

9.      Compromising

 

B.     Rekomendasi

1.      Bagi orang yang aktif diorganisasi dan dipekerjaan  jadikanlah Konflik menjadi sebuah rohmat bukan menjadi musibah atau masalah

2.      Biasakan dalam menylesaikan maslah/konfik menggunakan akal sehat atau pikiran yang jernih/dingin dan ilmu, jangan sekali kali memakai otot(hawa nafsu)

3.      Pahamilah dalam setiap permasalahan yang muncul di sekitar kita (pribadi, organisasi, pekerjaan )  dan kembalikan kepda nilai nilai ajaran agama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selamat Datang di Website Imas Siti Nurjanah " Pendidikan, Kepramukaan, Materi SMP/MTS, Perangkat Pembelajaran" Kunjungi Youtube kami di Https://bit.ly/YT-ImasSN