Krisis dan reformasi.
Saat ini semua telah menyadari bahwa kita
sedang berada dalam situasi yang serba sulit dan tidak menentu sebagai dampak
dari apa yang disebut “krisis moneter”. “Krisis
moneter” yang dianggap sebagai sumber kemelut situasi saat ini akan mempunyai
keterkaitan dengan berbagai aspek tatanan kehidupan. Dari “krisis moneter”
kemudian berkembang menjadi krisis
ekonomi, krisis kepercayaan, krisis rumah tangga, krisis sosial, krisis
pribadi, krisis pendidikan, dsb. Sebutan “krisis moneter” kemudian mencuat
dalam berbagai situasi pembicaraan dengan persepsi tertentu yang mungkin
berbeda antara satu dengan lainnya.
Krisis merupakan bagian dari kehidupan
perilaku manusia dalam dinamika interaksi dengan lingkungannya sebagai bentuk
upaya mencapai tujuan hidupnya. Dalam keseluruhan perjalanan hidupnya individu
selalu akan mengalami berbagai kemungkinan yang terjadi dan akan berhadapan dengan berbagai hambatan dalam
proses mencapai tujuannya. Dengan
kondisi seperti itu, tidak selamanya proses perjalanan itu dapat berjalan
dengan lancar dan mulus. Untuk mencapai keberhasilan hidupnya, individu harus
mampu mengatasi berbagai hambatan yang dihadapinya. Apabila individu mampu mengatasi berbagai
hambatan yang dihadapinya, maka besar kemungkinan individu akan memperoleh
kelancaran dan mencapai tujuan sehingga menghasilkan kebahagiaan hidup. Namun
apabila tidak mampu, maka yang akan terjadi adalah suasana kekecewaan yang
dapat menimbulkan frustrasi. Keadaan frustrasi yang terus menerus secara
akumulatif, akan menimbulkan keadaan ketegangan yang lebih berat atau stres
sehingga dapat berpengaruh terhadap kondisi keseimbangan kepribadian. Dalam
situasi menghadapi berbagai ketegangan ini, individu harus memiliki kematangan
emosional yang mantap untuk mampu mengendalikan diri sehingga dapat memilih
tindakan yang tepat. Bila hal itu tidak mampu diwujudkan maka besar kemungkinan
akan berkembang menjadi suatu keadaan yang disebut “krisis”. Krisis,
dapat diartikan sebagai suatu kondisi
emosional yang parah karena ketidak-mampuan mengatasi masalah dengan cara-cara
yang biasa dilakukan. Dengan pengertian ini, maka “krisis moneter” dapat
diartikan sebagai suatu kondisi emosional yang parah karena jatuhnya nilai mata
uang sehingga tidak-mampu lagi memecahkan masalah yang dihadapi. Kita semua maklum bahwa “uang”
merupakan instrumen tatanan kehidupan manusia dalam memenuhi kebutuhan dan
kelangsungan hidupnya. Pada masa kini, uang bukan hanya merupakan alat tukar,
akan tetapi telah menjadi komoditi dalam peredaran berbagai kebutuhan manusia.
Demikian kuatnya ketergantungan manusia akan uang, maka pada saat terjadi
kemerosotan nilai mata uang, segalanya mengalami kegoncangan dan mempengaruhi
berbagai dimensi tatanan kehidupan. Semua aspek kehidupan mulai dari kehidupan
pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara mengalami gangguan
keseimbangan. Dunia usaha, pendidikan, perbankan, perdagangan, pertanian,
pemerintahan, organisasi, tenaga kerja, dsb. mengalami kelesuan, kegoncangan,
dan bahkan kebangkrutan. Keadaan ini kemudian menyentuh tombol-tombol emosional
dan mempengaruhi keseluruhan perilakunya untuk kemudian berkembang menjadi
situasi “krisis”. Yang paling parah
penderitaannya adalah mereka yang menjadikan “uang” sebagai segala-galanya
dalam kehidupan.
Dalam keadaan krisis, perilaku indidivu akan
terganggu keseimbangannya dan nampak serba salah dalam perwujudannya baik
pikiran, perasaan, ataupun tindakan. Hal yang paling menonjol adalah ketegangan
emosional dan rendahnya kemampuan penalaran sehingga tindakannya lebih
emosional dan tidak terkendali. Keadaan dirinya diliputi oleh berbagai
ketegangan emosional seperti rasa takut, cemas, khawatir, menyesali diri,
marah-marah, sedih yang tidak beralasan, dsb. dan disertai kepanikan dalam
tindakannya. Keadaan demikian sudah tentu akan mempengaruhi keseimbangan
kepribadian dan dinamika kehidupannya.
Dalam situasi krisis moneter seperti yang terjadi sekarang ini banyak yang tidak mampu mengendalikan dirinya
dalam bentuk panik seperti memborong barang dan makanan dari toko, mengambil
simpanan, menjual barang, menimbun, saling mencurigai, saling menyalahkan dsb.
Kondisi kurangnya kendali diri, dapat membuat orang menjadi lebih sugestibel
atau mudah terpengaruh oleh berbagai hal yang belum jelas.
Moralitas bangsa benar-benar sedang diuji
keandalannya dalam menghadapi situasi krisis dan memperoleh masa depan yang lebih baik.
Seluruh bangsa sangat mengharapkan semoga kemelut ini akan segera dapat
teratasi sesuai dengan analisis para pakar dan keinginan semua pihak. Namun
semua itu sekali lagi akan sangat tergantung pada kualitas moral bangsa dari
berbagai lapisan. Dari bahasan di atas, inti dasar “krisis moneter”
sesungguhnya terletak pada diri “manusianya” yaitu terletak dalam kualitas
keberdayaannya. “Manusia” sebagai pribadi, keluarga, anggota masyarakat, dan
bangsa merupakan kunci timbulnya “krisis moneter” dan kunci pula untuk
mengatasinya. Aspek manusia ini berpangkal pada watak masing-masing. Konon
katanya bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang berwatak luhur dengan
ciri-ciri antara lain: orangnya ramah tamah, disiplin tertib, bersikap
kekeluargaa, suka menolong, pemurah, dsb. Benarkah itu? Mungkin juga ada
benarnya, namun kritikan terhadap watak bangsa ini juga cukup tajam yang
menyatakan bahwa beberapa oknum bangsa Indonesia berwatak kurang terpuji,
seperti penelantaran calon jemaah haji, penipuan tenaga kerja, penyelewenangan,
perusakan, perkosaan, perampasan, korupsi, kolusi, dsb. Situasi krisis moneter
sekarang ini banyak ditudingkan kepada pada watak sebagai sumber awal perilaku
tak bertanggung jawab sehingga menimbulkan berbagai krisis. Situasi kerusuhan
yang terjadi beberapa waktu yang lalu, perkelahian remaja, meningkatnya kejahatan,
pelanggaran disiplin, dsb. dinilai sebagai perwujudan watak yang tidak terpuji.
Berbagai manifestasi itu pada gilirannya
akan dikembalikan pada pola-pola pendidikan yang dipandang kurang mampu
menghasilkan manusia yang berwatak baik. Misalnya ada beberapa pihak yang
mempertanyakan mengenai pelajaran budi pekerti yang di masa lalu dianggap cukup
efektif untuk menumbuhkan watak yang baik. Hal itu sangat logis karena
berbicara mengenai watak, pada hakekatnya adalah berbicara mengenai pendidikan. Dalam kaitan ini pendidikan dituntut untuk
mampu menyiapkan sumber daya manusia yang berwatak utuh dengan kekuatan moral yang tinggi sehingga
mampu menghadapi berbagai tantangan tanpa kehilangan nilai-nilai kepribadian
dan budaya bangsanya. Hal ini mengandung makna bahwa reformasi pendidikan tidak
hanya pada aspek struktural, manajerial, dan operasional namun pada hakekatnya
adalah menempatkan pendidikan pada pembentukan
watak sumber daya manusia. Upaya menuju hal itu memerlukan reformasi
pendidikan secara fundamental, konsepsional, dan menyeluruh.
Watak bangsa yang utuh
GBHN (1998) telah
menggariskan bahwa pendidikan nasional diarahkan untuk mencapai kondisi watak
bangsa yang utuh. Watak bangsa yang utuh bersumber dari watak-watak
pribadi yang terbentuk melalui pendidikan baik di sekolah maupun di luar
sekolah ( di dalam keluarga dan di masyarakat). Apakah watak yang utuh
itu? Watak atau karakter pada hakekatnya
merupakan ciri kepribadian yang berkaitan dengan timbangan nilai moralitas
normatif yang berlaku. Kualitas watak seseorang akan tercermin pada penampilan
kepribadiannya ditinjau dari sudut timbangan nilai moral normatif. Seseorang
dikatakan memiliki kualitas watak yang baik apabila menampilkan perilaku yang
sesuai dengan nilai-nilai moral yang berlaku.. Misalnya orang yang melakukan
perbuatan “merusak fasilitas umum” dapat dikatakan berwatak tidak baik karena tidak sesuai dengan nilai moral
normatif yang berlaku. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa “watak yang utuh”
merupakan keseluruhan penampilan kepribadian dalam keutuhan perilaku
berdasarkan timbangan nilai-nilai moralitas bangsa. Di Indonesia nilai moral
normatif yang menjadi landasan timbangan watak adalah moral Pancasila. Apakah ciri-ciri watak yang utuh itu?
Watak yang utuh dapat merupakan penampilan
moralitas kepribadian secara paripurna menurut timbangan keutuhan nilai yang
mencakup aspek emosional, intelektual, moral, dan spiritual. Dalam sebuah
tulisan yang dimuat dalam Jurnal “The ASCA Counselor” Vol. 35 no. 2 (1998), Sharon Wisniewski & Keneth Miller
menyebutkan bahwa watak dipandang sebagai suatu hubungan timbal balik yang
sehat antara diri (self) dengan tiga hal yang pasti ada yaitu lingkungan internal (diri), lingkungan
eksternal (orang lain dan lingkungan fisik), dan lingkungan spiritual (sesuatu
yang maha besar dan abadi dari diri). Atas dasar pandangan itu, ada empat
tingkatan mutu watak yaitu tingkatan 0 (nol), tingkatan satu, tingkatan dua,
dan tingkatan tiga. Watak tingkatan nol, merupakan tingkatan watak yang sifatnya sedikit
atau tidak ada timbangan-timbangan moral
dalam perilaku sebagai ciri-ciri kepribadiannya. Tingkatan nol ini
disebut sebagai “reactive personality” atau
kepribadian reaktif yaitu kepribadian yang terwujud dari perilaku-perilaku
yang sifatnya reaktif. Dalam tingkatan ini, perilaku orang lebih bersifat impulsif atau spontan
tanpa timbangan-timbangan nilai moralitas. Misalnya kalau dia tersinggung
sedikit saja lalu bereaksi dengan memukul atau mengeluarkan kata-kata yang
kotor tanpa ada timbangan apakan perbuatan itu sopan atau tidak, baik atau
tidak. Perilakunya lebih banyak dikendalikan oleh gejolak emosional menurut
kepuasannya sendiri tanpa mempertimbangkan berbagai timbangan nilai. Beberapa
peristiwa perusakan, perkelahian, perampokan, pembunuhan, dsb. yang berasal
dari hal-hal yang sepele, adalah merupakan scontoh manifestasi watak tingkatan
nol ini. Pribadi dalam watak tingkatan nol, menunjukkan beberapa ciri seperti:
lebih bersifat pasif, impulsif, kurang inisiatif, bersifat menunggu, pasrah, menanti
belas kasihan, ingin diperhatikan, emosional, tidak peduli dengan resiko,
berpandangan pendek, dsb.
Watak
tingkatan satu, merupakan watak yang ditandai dengan kemampuan
melakukan hubungan timbal balik secara sehat terhadap dirinya sendiri dengan kendali
emosional yang mantap. Stephen Covey menyebutnya sebagai “proactive
personality” atau kepribadian proaktif yaitu kepribadian yang mempunyai
keberdayaan sehingga mampu mewujudkan perilaku yang aktif dan terarah sesuai
dengan tuntutan dirinya sendiri dan lingkungan. Tingkatan ini disebut juga
sebagai watak yang dilandasi oleh “emotional intelligence” atau “kecerdasan
emosional”, yaitu kualitas
kemampuan menampilkan kepribadian dengan kekuatan emosional yang mantap
sehingga mampu mewujudkan perilaku yang sesuai dengan timbangan nilai moral
secara bermakna. Menurut Dabiel Goleman (1995) kecerdasan emosional seseorang
merupakan sumber watak seseorang dalam menghadapi berbagai tantangan.
Kecerdasan emosional didukung oleh lima kemampuan yaitu: (1) mengenali emosi
diri, (2) mengelola emosi, (3) memotivasi diri, (4) mengenali emosi orang lain,
dan (5) membina hubungan dengan orang lain. Orang yang berwatak pada tingkatan
ini mampu menunjukkan perilaku yang terkendali secara emosional dan
mencerminkan kepribadian yang baik dari sudut timbangan nilai moralitas. Dalam
menghadapi berbagai persoalan atau tantangan watak dalam tingkatan ini akan
mampu berinteraksi dengan dirinya sendiri dengan pertimbangan-pertimbangan
emosional yang mantap serta memperhatikan berbagai alternatif dan resiko yang
mungkin timbul. Tindakan yang diambil didasarkan atas timbangan resiko minimal
dan keuntungan maksimal atau “herang
caina beunang laukna”.
Watak
tingkatan kedua, merupakan watak dalam tingkatan kemampuan untuk
melakukan hubungan timbal balik secara sehat antara dirinya dengan orang lain
dan lingkungan yang lebih luas. Stephen
Covey menyebutnya sebagai “interdependent personality” atau kepribadian yang mampu melakukan
hubungan timbal balik dengan pihak-pihak di luar dirinya. Watak tingkatan ini merupakan tingkatan yang
lebih luhur karena seluruh perilaku kepribadiannya lebih banyak didasarkan atas
timbangan moral. Oleh karena itu tingkatan ini disebut juga sebagai watak “moral
intelligence” atau kecerdasan moral” yaitu watak yang terwujud karena
kepribadiannya tercermin atas dasar perilaku berdasarkan timbangan moral yang
matang. Orang dalam tingkatan ini memahami, menghayati, dan mampu mengamalkan
nilai-nilai moral secara utuh dalam keseluruhan perilakunya sehingga mencerminkan
kepribadian yang tergolong baik. Dalam menghadapi berbagai situasi masalah
(termasuk situasi krisis) orang yang berwatak tingkatan dua mampu membuat
tindakan atas dasar timbangan moral secara utuh sehingga tidak hanya
menghasilkan kondisi sehat bagi dirinya akan tetapi juga bagi kepentingan orang
lain dan lingkungan. Mereka mampu bertindak secara cermat, tenang, berkepala
dingin, penuh keyakinan dan optimisme, dsb. sehingga menghasilkan sesuatu yang
bermakna bagi dirinya dan orang lain dalam suasana silih asih, silih asah, dan silih asuh.
Watak
tingkatan tiga, adalah watak yang ditandai dengan kemampuan melakukan
hubungan timbal balik secara sehat dengan lingkungan Maha besar di luar dirinya
yaitu “Tuhan Yang Maha Kuasa”, disamping kemampuannya berhubungan timbal balik
secara sehat dengan dirinya sendiri dan orang lain serta lingkungan. Landasan
utama dari watak tingkatan ini adalah kualitas keimanan dan ketaqwaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu watak tingkatan ini disebut sebagai watak “spiritual
intelligence” atau “kecerdasan spiritual”, yaitu watak
yang muncul dari keseluruhan perilaku yang terwujud atas dasar
timbangan-timbangan spiritual yang berakar pada nilai-nilai keimanan dan
ketaqwaan terhadap Tuhan yang Maha Esa. Pada tingkatan ini akan tercermin
keseluruhan kepribadian yang paripurna dan
sehat sejalan dengan keseluruhan nilai-nilai moralitas
normatif-religius. Dalam menghadapi berbagai situasi (terutama situasi kritis)
orang berwatak tingkatan tiga ini, akan mampu mengendalikan dirinya dan menjaga
keseimbangan dengan lingkungan atas dasar keyakinan spiritual yang kuat
terhadap kuasa Allah swt. Semua pikiran, sikap, dan tindakan mencerminkan
kondisi kepribadian yang sehat, sehinga memberikan makna yang sangat luas bagi
dirinya dan umat di sekitarnya.
Pendidikan watak bangsa
Dengan
memperhatikan uraian di atas, pada dasarnya makna watak yang utuh akan
tercermin apabila telah mencapai pada tingkatan ketiga secara kumulatif. Watak
tingkatan ketiga itu akan mencerminkan suatu keluhuran budi pekerti uyang
bersumber dari keutuhan moral pribadi, sosial, dan spiritual. Bagi bangsa
Indonesia, pada hakekatnya nilai-nilai moral Pancasila merupakan rujukan
fundamental bagi pembentukan watak bangsa yang utuh. Tujuan Pendidikan Nasional
sesungguhnya telah menggariskan arahannya untuk mencapai watak bangsa yang utuh
sejalan dengan konsep di atas, sebagaimana tersurat dan tersirat dalam pasal 4
Undang-undang nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem pendidikan Nasional, sebagai
berikut: “Pendidikan Nasional bertujuan
mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya,
yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan yang Maha Esa dan
berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani
dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab
kemasyarakatan dan kebangsaan”.
Dengan memperhatikan hal di atas, keluarga memegang
peranan yang penting dalam membentuk dan mengembangkan watak yang utuh sesuai
dengan bahasan di atas. Pendidikan dalam keluarga merupakan wahana yang paling
strategis bagi pembentukan watak, karena dari keluargalah anak berasal.
Keteladan orang tua yang dikembangkan dalam komunikasi yang efektif serta
didasari nilai-nilai keagamaan yang kokoh, sesungguhnya merupakan azas upaya
pembentukan watak dalam keluarga. Beberapa asas yang dapat dikaji dan
dikembangkan melalui pendidikan dalam keluarga antara lain:
Pertama,
pendidikan agama dalam keluarga sebagai inti dari pendidikan secara
keseluruhan. Landasan kehidupan agama yang kokoh akan merupakan penangkal yang
paling ampuh dan mendasar dalam mengahadapi berbagai pengaruh negatif.
Pendidikan agama ini hendaknya diwujudkan sejak dini melalui berbagai cara dan
pendekatan. Dengan pendidikan agama yang baik, kualitas keimanan dan ketaqwaan
makin meningkat dan mendasari pola-pola kehidupan.
Kedua,
pendidikan watak dilakukan secara kontekstual yaitu disesuaikan dengan konteks
atau keadaan masa kini. Nilai yang dimiliki oleh orang tua yang dialami di masa
lalu hendaknya diwariskan kepada anak-anak dalam konteks masa kini.
Ketiga,
keteladanan dari orang tua dan anggota keluarga lainnya. Sebagaimana dimaklumi,
perkembangan anak banyak terjadi melalui proses peniruan terhadap apa yang
terjadi di lingkungannya. Orang tua sebagai lingkungan pertama dan paling dekat
dengan anak, berperan sebagai tokoh model (role model) bagi perwujudan watak.
Perilaku orang tua dalam kehidupan sehari-hari dapat menjadi sumber keteladanan
untuk menumbuhkan dan mengembangkan berbagai nilai dalam berbagai sisi
kehidupan. Misalnya bagaimana menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar,
bersopan santun kepada sesama, memberikan bantuan kepada orang yang memerlukan,
bekerjasama atau bergotong royong, dsb.
Keempat,
menciptakan lingkungan dan suasana yang kondusif, yaitu lingkungan yang
mendukung bagi berkembangnya nilai. Misalnya suasana kehidupan keagamaan,
kehidupan hubungan soaial, perilaku normatif, dsb. Disamping itu dapat
dikembangkan pemasangan atribut-atribut tertentu seperti seperti bendera,
lambang negara, perpustakaan keluarga, musik-musik yang digelar, bacaan yang
disajikan, film yang ditonton, dsb. dapat mempengaruhi berkembangnya
nilai-nilai yang menunjang watak kebangsaan. Termasuk ke dalam azas ini adalah
penyediaan sarana yang sedemikian rupa dapat menunjang perkembangan kehidupan
anak.
Kelima,
hidup bersama anak dan bukan hidup untuk anak. Asas ini menyarankan bahwa hidup
bersama anak melalui komunikasi yang berdasarkan kasih sayang yang tulus akan
banyak menumbuhkan rasa cinta diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan bangsa
secara luas. Hidup bersama anak dapat menimbulkan saling memahami antar-anggota
keluarga dan memotivasi untuk mengembangkan nilai.
Keenam,
memberikan dukungan terhadap berbagai inisiatif anak sepanjang tidak
bertentangan dengan nilai-nilai asassi
Pancasila. Kehidupan anak dengan segala dinamika dan kretivitasnya perlu
dipupuk dan dikembangkan dalam konteks yang tepat. Beberapa kegiatan anak dan
remaja yang memberikan manfaat seperti pramuka, palang merah remaja,
mengumpulkan perangko, perkumpulan pecinta alam, perkumpulan olahraga dan
kesenian, mengembangkan budaya daerah,dsb.
Ketujuh, mengembangkan kerjasama yang erat antara keluarga
dengan sekolah. Dengan kerjasama yang baik antara keluarga dan sekolah, upaya
pembentukan dan pelestarian nilai ini dapat berlangsung secara terpadu dan
berkesinambungan. Sekolah sebagai satuan pendidikan formal tidak akan mampu
berbuat banyak tanpa dukungan dan kerjasama dengan keluarga dan masyarakat.
---------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar