Kamis, 19 Mei 2022

PENDIDIKAN UNTUK REFORMASI WATAK BANGSA

 Krisis dan reformasi.

   Saat ini semua telah menyadari bahwa kita sedang berada dalam situasi yang serba sulit dan tidak menentu sebagai dampak dari apa yang disebut “krisis moneter”.  “Krisis moneter” yang dianggap sebagai sumber kemelut situasi saat ini akan mempunyai keterkaitan dengan berbagai aspek tatanan kehidupan. Dari “krisis moneter” kemudian  berkembang menjadi krisis ekonomi, krisis kepercayaan, krisis rumah tangga, krisis sosial, krisis pribadi, krisis pendidikan, dsb. Sebutan “krisis moneter” kemudian mencuat dalam berbagai situasi pembicaraan dengan persepsi tertentu yang mungkin berbeda antara satu dengan lainnya. 

   Krisis merupakan bagian dari kehidupan perilaku manusia dalam dinamika interaksi dengan lingkungannya sebagai bentuk upaya mencapai tujuan hidupnya. Dalam keseluruhan perjalanan hidupnya individu selalu akan mengalami berbagai kemungkinan yang terjadi dan akan  berhadapan dengan berbagai hambatan dalam proses  mencapai tujuannya. Dengan kondisi seperti itu, tidak selamanya proses perjalanan itu dapat berjalan dengan lancar dan mulus. Untuk mencapai keberhasilan hidupnya, individu harus mampu mengatasi berbagai hambatan yang dihadapinya.   Apabila individu mampu mengatasi berbagai hambatan yang dihadapinya, maka besar kemungkinan individu akan memperoleh kelancaran dan mencapai tujuan sehingga menghasilkan kebahagiaan hidup. Namun apabila tidak mampu, maka yang akan terjadi adalah suasana kekecewaan yang dapat menimbulkan frustrasi. Keadaan frustrasi yang terus menerus secara akumulatif, akan menimbulkan keadaan ketegangan yang lebih berat atau stres sehingga dapat berpengaruh terhadap kondisi keseimbangan kepribadian. Dalam situasi menghadapi berbagai ketegangan ini, individu harus memiliki kematangan emosional yang mantap untuk mampu mengendalikan diri sehingga dapat memilih tindakan yang tepat. Bila hal itu tidak mampu diwujudkan maka besar kemungkinan akan berkembang menjadi suatu keadaan yang disebut “krisis”. Krisis, dapat diartikan sebagai suatu kondisi emosional yang parah karena ketidak-mampuan mengatasi masalah dengan cara-cara yang biasa dilakukan. Dengan pengertian ini, maka “krisis moneter” dapat diartikan sebagai suatu kondisi emosional yang parah karena jatuhnya nilai mata uang sehingga tidak-mampu lagi memecahkan masalah  yang dihadapi. Kita semua maklum bahwa “uang” merupakan instrumen tatanan kehidupan manusia dalam memenuhi kebutuhan dan kelangsungan hidupnya. Pada masa kini, uang bukan hanya merupakan alat tukar, akan tetapi telah menjadi komoditi dalam peredaran berbagai kebutuhan manusia. Demikian kuatnya ketergantungan manusia akan uang, maka pada saat terjadi kemerosotan nilai mata uang, segalanya mengalami kegoncangan dan mempengaruhi berbagai dimensi tatanan kehidupan. Semua aspek kehidupan mulai dari kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara mengalami gangguan keseimbangan. Dunia usaha, pendidikan, perbankan, perdagangan, pertanian, pemerintahan, organisasi, tenaga kerja, dsb. mengalami kelesuan, kegoncangan, dan bahkan kebangkrutan. Keadaan ini kemudian menyentuh tombol-tombol emosional dan mempengaruhi keseluruhan perilakunya untuk kemudian berkembang menjadi situasi “krisis”.  Yang paling parah penderitaannya adalah mereka yang menjadikan “uang” sebagai segala-galanya dalam kehidupan.

 

   Dalam keadaan krisis, perilaku indidivu akan terganggu keseimbangannya dan nampak serba salah dalam perwujudannya baik pikiran, perasaan, ataupun tindakan. Hal yang paling menonjol adalah ketegangan emosional dan rendahnya kemampuan penalaran sehingga tindakannya lebih emosional dan tidak terkendali. Keadaan dirinya diliputi oleh berbagai ketegangan emosional seperti rasa takut, cemas, khawatir, menyesali diri, marah-marah, sedih yang tidak beralasan, dsb. dan disertai kepanikan dalam tindakannya. Keadaan demikian sudah tentu akan mempengaruhi keseimbangan kepribadian dan dinamika kehidupannya.  Dalam situasi krisis moneter seperti yang terjadi sekarang ini  banyak yang tidak mampu mengendalikan dirinya dalam bentuk panik seperti memborong barang dan makanan dari toko, mengambil simpanan, menjual barang, menimbun, saling mencurigai, saling menyalahkan dsb. Kondisi kurangnya kendali diri, dapat membuat orang menjadi lebih sugestibel atau mudah terpengaruh oleh berbagai hal yang belum jelas.

 

  Moralitas bangsa benar-benar sedang diuji keandalannya dalam menghadapi situasi krisis dan  memperoleh masa depan yang lebih baik. Seluruh bangsa sangat mengharapkan semoga kemelut ini akan segera dapat teratasi sesuai dengan analisis para pakar dan keinginan semua pihak. Namun semua itu sekali lagi akan sangat tergantung pada kualitas moral bangsa dari berbagai lapisan. Dari bahasan di atas, inti dasar “krisis moneter” sesungguhnya terletak pada diri “manusianya” yaitu terletak dalam kualitas keberdayaannya. “Manusia” sebagai pribadi, keluarga, anggota masyarakat, dan bangsa merupakan kunci timbulnya “krisis moneter” dan kunci pula untuk mengatasinya. Aspek manusia ini berpangkal pada watak masing-masing. Konon katanya bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang berwatak luhur dengan ciri-ciri antara lain: orangnya ramah tamah, disiplin tertib, bersikap kekeluargaa, suka menolong, pemurah, dsb. Benarkah itu? Mungkin juga ada benarnya, namun kritikan terhadap watak bangsa ini juga cukup tajam yang menyatakan bahwa beberapa oknum bangsa Indonesia berwatak kurang terpuji, seperti penelantaran calon jemaah haji, penipuan tenaga kerja, penyelewenangan, perusakan, perkosaan, perampasan, korupsi, kolusi, dsb. Situasi krisis moneter sekarang ini banyak ditudingkan kepada pada watak sebagai sumber awal perilaku tak bertanggung jawab sehingga menimbulkan berbagai krisis. Situasi kerusuhan yang terjadi beberapa waktu yang lalu, perkelahian remaja, meningkatnya kejahatan, pelanggaran disiplin, dsb. dinilai sebagai perwujudan watak yang tidak terpuji. Berbagai manifestasi itu pada gilirannya  akan dikembalikan pada pola-pola pendidikan yang dipandang kurang mampu menghasilkan manusia yang berwatak baik. Misalnya ada beberapa pihak yang mempertanyakan mengenai pelajaran budi pekerti yang di masa lalu dianggap cukup efektif untuk menumbuhkan watak yang baik. Hal itu sangat logis karena berbicara mengenai watak, pada hakekatnya adalah berbicara mengenai pendidikan.  Dalam kaitan ini pendidikan dituntut untuk mampu menyiapkan sumber daya manusia yang berwatak utuh  dengan kekuatan moral yang tinggi sehingga mampu menghadapi berbagai tantangan tanpa kehilangan nilai-nilai kepribadian dan budaya bangsanya. Hal ini mengandung makna bahwa reformasi pendidikan tidak hanya pada aspek struktural, manajerial, dan operasional namun pada hakekatnya adalah menempatkan pendidikan pada pembentukan watak sumber daya manusia. Upaya menuju hal itu memerlukan reformasi pendidikan secara fundamental, konsepsional, dan menyeluruh.  

 

Watak bangsa yang utuh

              GBHN (1998) telah menggariskan bahwa pendidikan nasional diarahkan untuk mencapai kondisi watak bangsa yang utuh. Watak bangsa yang utuh bersumber dari watak-watak pribadi yang terbentuk melalui pendidikan baik di sekolah maupun di luar sekolah ( di dalam keluarga dan di masyarakat). Apakah watak yang utuh itu?  Watak atau karakter pada hakekatnya merupakan ciri kepribadian yang berkaitan dengan timbangan nilai moralitas normatif yang berlaku. Kualitas watak seseorang akan tercermin pada penampilan kepribadiannya ditinjau dari sudut timbangan nilai moral normatif. Seseorang dikatakan memiliki kualitas watak yang baik apabila menampilkan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai moral yang berlaku.. Misalnya orang yang melakukan perbuatan “merusak fasilitas umum” dapat dikatakan berwatak tidak baik  karena tidak sesuai dengan nilai moral normatif yang berlaku. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa “watak yang utuh” merupakan keseluruhan penampilan kepribadian dalam keutuhan perilaku berdasarkan timbangan nilai-nilai moralitas bangsa. Di Indonesia nilai moral normatif yang menjadi landasan timbangan watak adalah moral Pancasila.  Apakah ciri-ciri watak yang utuh itu?

           

   Watak yang utuh dapat merupakan penampilan moralitas kepribadian secara paripurna menurut timbangan keutuhan nilai yang mencakup aspek emosional, intelektual, moral, dan spiritual. Dalam sebuah tulisan yang dimuat dalam Jurnal “The ASCA Counselor” Vol. 35 no. 2 (1998),  Sharon Wisniewski & Keneth Miller menyebutkan bahwa watak dipandang sebagai suatu hubungan timbal balik yang sehat antara diri (self) dengan tiga hal yang pasti ada yaitu lingkungan internal (diri), lingkungan eksternal (orang lain dan lingkungan fisik), dan lingkungan spiritual (sesuatu yang maha besar dan abadi dari diri). Atas dasar pandangan itu, ada empat tingkatan mutu watak yaitu tingkatan 0 (nol), tingkatan satu, tingkatan dua, dan tingkatan tiga. Watak tingkatan nol,  merupakan tingkatan watak yang sifatnya sedikit atau tidak ada timbangan-timbangan moral  dalam perilaku sebagai ciri-ciri kepribadiannya. Tingkatan nol ini disebut sebagai “reactive personality”  atau kepribadian reaktif yaitu kepribadian yang terwujud dari perilaku-perilaku yang sifatnya reaktif. Dalam tingkatan ini, perilaku  orang lebih bersifat impulsif atau spontan tanpa timbangan-timbangan nilai moralitas. Misalnya kalau dia tersinggung sedikit saja lalu bereaksi dengan memukul atau mengeluarkan kata-kata yang kotor tanpa ada timbangan apakan perbuatan itu sopan atau tidak, baik atau tidak. Perilakunya lebih banyak dikendalikan oleh gejolak emosional menurut kepuasannya sendiri tanpa mempertimbangkan berbagai timbangan nilai. Beberapa peristiwa perusakan, perkelahian, perampokan, pembunuhan, dsb. yang berasal dari hal-hal yang sepele, adalah merupakan scontoh manifestasi watak tingkatan nol ini. Pribadi dalam watak tingkatan nol, menunjukkan beberapa ciri seperti: lebih bersifat pasif, impulsif, kurang inisiatif, bersifat menunggu, pasrah, menanti belas kasihan, ingin diperhatikan, emosional, tidak peduli dengan resiko, berpandangan pendek, dsb.

              Watak tingkatan satu, merupakan watak yang ditandai dengan kemampuan melakukan hubungan timbal balik secara sehat terhadap dirinya sendiri dengan kendali emosional yang mantap. Stephen Covey menyebutnya sebagai “proactive personality” atau kepribadian proaktif yaitu kepribadian yang mempunyai keberdayaan sehingga mampu mewujudkan perilaku yang aktif dan terarah sesuai dengan tuntutan dirinya sendiri dan lingkungan. Tingkatan ini disebut juga sebagai watak yang dilandasi oleh “emotional intelligence” atau “kecerdasan emosional”,  yaitu kualitas kemampuan menampilkan kepribadian dengan kekuatan emosional yang mantap sehingga mampu mewujudkan perilaku yang sesuai dengan timbangan nilai moral secara bermakna. Menurut Dabiel Goleman (1995) kecerdasan emosional seseorang merupakan sumber watak seseorang dalam menghadapi berbagai tantangan. Kecerdasan emosional didukung oleh lima kemampuan yaitu: (1) mengenali emosi diri, (2) mengelola emosi, (3) memotivasi diri, (4) mengenali emosi orang lain, dan (5) membina hubungan dengan orang lain. Orang yang berwatak pada tingkatan ini mampu menunjukkan perilaku yang terkendali secara emosional dan mencerminkan kepribadian yang baik dari sudut timbangan nilai moralitas. Dalam menghadapi berbagai persoalan atau tantangan watak dalam tingkatan ini akan mampu berinteraksi dengan dirinya sendiri dengan pertimbangan-pertimbangan emosional yang mantap serta memperhatikan berbagai alternatif dan resiko yang mungkin timbul. Tindakan yang diambil didasarkan atas timbangan resiko minimal dan keuntungan maksimal atau “herang caina beunang laukna”.

              Watak tingkatan kedua, merupakan watak dalam tingkatan kemampuan untuk melakukan hubungan timbal balik secara sehat antara dirinya dengan orang lain dan lingkungan yang lebih luas.  Stephen Covey menyebutnya sebagai “interdependent personality”  atau kepribadian yang mampu melakukan hubungan timbal balik dengan pihak-pihak di luar dirinya.  Watak tingkatan ini merupakan tingkatan yang lebih luhur karena seluruh perilaku kepribadiannya lebih banyak didasarkan atas timbangan moral. Oleh karena itu tingkatan ini disebut juga sebagai watak “moral intelligence” atau kecerdasan moral”  yaitu watak yang terwujud karena kepribadiannya tercermin atas dasar perilaku berdasarkan timbangan moral yang matang. Orang dalam tingkatan ini memahami, menghayati, dan mampu mengamalkan nilai-nilai moral secara utuh dalam keseluruhan perilakunya sehingga mencerminkan kepribadian yang tergolong baik. Dalam menghadapi berbagai situasi masalah (termasuk situasi krisis) orang yang berwatak tingkatan dua mampu membuat tindakan atas dasar timbangan moral secara utuh sehingga tidak hanya menghasilkan kondisi sehat bagi dirinya akan tetapi juga bagi kepentingan orang lain dan lingkungan. Mereka mampu bertindak secara cermat, tenang, berkepala dingin, penuh keyakinan dan optimisme, dsb. sehingga menghasilkan sesuatu yang bermakna bagi dirinya dan orang lain dalam suasana silih asih, silih asah, dan silih asuh

              Watak tingkatan tiga, adalah watak yang ditandai dengan kemampuan melakukan hubungan timbal balik secara sehat dengan lingkungan Maha besar di luar dirinya yaitu “Tuhan Yang Maha Kuasa”, disamping kemampuannya berhubungan timbal balik secara sehat dengan dirinya sendiri dan orang lain serta lingkungan. Landasan utama dari watak tingkatan ini adalah kualitas keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu watak tingkatan ini disebut sebagai watak “spiritual intelligence” atau “kecerdasan spiritual”, yaitu watak yang muncul dari keseluruhan perilaku yang terwujud atas dasar timbangan-timbangan spiritual yang berakar pada nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan yang Maha Esa. Pada tingkatan ini akan tercermin keseluruhan kepribadian yang paripurna dan  sehat sejalan dengan keseluruhan nilai-nilai moralitas normatif-religius. Dalam menghadapi berbagai situasi (terutama situasi kritis) orang berwatak tingkatan tiga ini, akan mampu mengendalikan dirinya dan menjaga keseimbangan dengan lingkungan atas dasar keyakinan spiritual yang kuat terhadap kuasa Allah swt. Semua pikiran, sikap, dan tindakan mencerminkan kondisi kepribadian yang sehat, sehinga memberikan makna yang sangat luas bagi dirinya dan umat di sekitarnya.

 

Pendidikan watak bangsa

              Dengan memperhatikan uraian di atas, pada dasarnya makna watak yang utuh akan tercermin apabila telah mencapai pada tingkatan ketiga secara kumulatif. Watak tingkatan ketiga itu akan mencerminkan suatu keluhuran budi pekerti uyang bersumber dari keutuhan moral pribadi, sosial, dan spiritual. Bagi bangsa Indonesia, pada hakekatnya nilai-nilai moral Pancasila merupakan rujukan fundamental bagi pembentukan watak bangsa yang utuh. Tujuan Pendidikan Nasional sesungguhnya telah menggariskan arahannya untuk mencapai watak bangsa yang utuh sejalan dengan konsep di atas, sebagaimana tersurat dan tersirat dalam pasal 4 Undang-undang nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem pendidikan Nasional, sebagai berikut: “Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”.

 

            Dengan memperhatikan hal di atas, keluarga memegang peranan yang penting dalam membentuk dan mengembangkan watak yang utuh sesuai dengan bahasan di atas. Pendidikan dalam keluarga merupakan wahana yang paling strategis bagi pembentukan watak, karena dari keluargalah anak berasal. Keteladan orang tua yang dikembangkan dalam komunikasi yang efektif serta didasari nilai-nilai keagamaan yang kokoh, sesungguhnya merupakan azas upaya pembentukan watak dalam keluarga. Beberapa asas yang dapat dikaji dan dikembangkan melalui pendidikan dalam keluarga antara lain:

              Pertama, pendidikan agama dalam keluarga sebagai inti dari pendidikan secara keseluruhan. Landasan kehidupan agama yang kokoh akan merupakan penangkal yang paling ampuh dan mendasar dalam mengahadapi berbagai pengaruh negatif. Pendidikan agama ini hendaknya diwujudkan sejak dini melalui berbagai cara dan pendekatan. Dengan pendidikan agama yang baik, kualitas keimanan dan ketaqwaan makin meningkat dan mendasari pola-pola kehidupan.

              Kedua, pendidikan watak dilakukan secara kontekstual yaitu disesuaikan dengan konteks atau keadaan masa kini. Nilai yang dimiliki oleh orang tua yang dialami di masa lalu hendaknya diwariskan kepada anak-anak dalam konteks masa kini.

              Ketiga, keteladanan dari orang tua dan anggota keluarga lainnya. Sebagaimana dimaklumi, perkembangan anak banyak terjadi melalui proses peniruan terhadap apa yang terjadi di lingkungannya. Orang tua sebagai lingkungan pertama dan paling dekat dengan anak, berperan sebagai tokoh model (role model) bagi perwujudan watak. Perilaku orang tua dalam kehidupan sehari-hari dapat menjadi sumber keteladanan untuk menumbuhkan dan mengembangkan berbagai nilai dalam berbagai sisi kehidupan. Misalnya bagaimana menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, bersopan santun kepada sesama, memberikan bantuan kepada orang yang memerlukan, bekerjasama atau bergotong royong, dsb.

              Keempat, menciptakan lingkungan dan suasana yang kondusif, yaitu lingkungan yang mendukung bagi berkembangnya nilai. Misalnya suasana kehidupan keagamaan, kehidupan hubungan soaial, perilaku normatif, dsb. Disamping itu dapat dikembangkan pemasangan atribut-atribut tertentu seperti seperti bendera, lambang negara, perpustakaan keluarga, musik-musik yang digelar, bacaan yang disajikan, film yang ditonton, dsb. dapat mempengaruhi berkembangnya nilai-nilai yang menunjang watak kebangsaan. Termasuk ke dalam azas ini adalah penyediaan sarana yang sedemikian rupa dapat menunjang perkembangan kehidupan anak.

              Kelima, hidup bersama anak dan bukan hidup untuk anak. Asas ini menyarankan bahwa hidup bersama anak melalui komunikasi yang berdasarkan kasih sayang yang tulus akan banyak menumbuhkan rasa cinta diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan bangsa secara luas. Hidup bersama anak dapat menimbulkan saling memahami antar-anggota keluarga dan memotivasi untuk mengembangkan nilai.

              Keenam, memberikan dukungan terhadap berbagai inisiatif anak sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai asassi  Pancasila. Kehidupan anak dengan segala dinamika dan kretivitasnya perlu dipupuk dan dikembangkan dalam konteks yang tepat. Beberapa kegiatan anak dan remaja yang memberikan manfaat seperti pramuka, palang merah remaja, mengumpulkan perangko, perkumpulan pecinta alam, perkumpulan olahraga dan kesenian, mengembangkan budaya daerah,dsb.

              Ketujuh, mengembangkan kerjasama yang erat antara keluarga dengan sekolah. Dengan kerjasama yang baik antara keluarga dan sekolah, upaya pembentukan dan pelestarian nilai ini dapat berlangsung secara terpadu dan berkesinambungan. Sekolah sebagai satuan pendidikan formal tidak akan mampu berbuat banyak tanpa dukungan dan kerjasama dengan keluarga dan masyarakat.

 

---------------

*)Prof. Dr. H. Mohamad Surya Guru Besar IKIP Bandung/Ketua PB-PGRI 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selamat Datang di Website Imas Siti Nurjanah " Pendidikan, Kepramukaan, Materi SMP/MTS, Perangkat Pembelajaran" Kunjungi Youtube kami di Https://bit.ly/YT-ImasSN