Kamis, 19 Mei 2022

LANDASAN TEORETIS KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN

 

 

LANDASAN TEORETIS

KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN

Prof. Dr. Nana Syaodih Sukmadinata

 

 

1.Tiga Dimensi Kurikulum

Kurikulum dapat dilihat dalam tiga dimensi yaitu, sebagai ilmu (curriculum as a body of knowledge), sebagai sistem (curriculum as a system) dan sebagai rencana (curriculum as a plan).

Dalam kurikulum sebagai ilmu dikaji konsep, landasan, asumsi, teori, model, praksis, prinsip-prinsip dasar tentang kurikulum. Dalam kurikulum sebagai sistem dijelaskan kedudukan kurikulum dalam hubungannya dengan sistem dan bidang-­bidang pendidikan lain, komponen-komponen kurikulum, kurikulum berbagai jalur, jenjang, jenis pendidikan, manajemen kurikulum, dsb.

Dalam kurikulum sebagai rencana tercakup macam-macam rencana dan rancangan atau desain kurikulum. Kurikulum sebagai rencana ada yang bersifat menyeluruh untuk semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan dan ada pula yang khusus untuk jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu. Mengenai rancangan atau desain kurikulum ini ada bermacam-macam, ada desain kurikulum berdasarkan konsep, tujuan, isi, proses, masalah, kebutuhan siswa, dll. Kurikulum sebagai rancangan juga menyangkut implementasi dan pengendaliannya.

Dalam tulisan ini pembahasan akan menyangkut ketiga dimensi tersebut tetapi hanya pada fokus-fokus tertentu. Dalam kurikulum sebagai sistem pembahasan difokuskan pada manajemen pengembangan kurikulum yang terkait dengan KTSP, kurikulum sebagai ilmu difokuskan pada model-model kurikulum yang dapat dikembangkan dalam KTSP. Kurikulum sebagai rencana tidak dibahas tersendiri tetapi bersatu dengan manajemen maupun model-model kurikulum. Penjelasan singkat dikemukakan dalam bagian ini.

Kurikulum sebagai rencana merupakan dimensi kurikulum yang paling banyak dikenal dan diketahui orang, baik oleh para pelaksana kurikulum (guru/dosen dan pimpinan satuan pendidikan) maupun masyarakat terutama orang tua. Kurikulum inilah yang akan dikembangkan oleh guru-guru atau para dosen dalam KTSP. Kurikulum sebagai rencana (a plan of action) atau disebut juga kurikulum tertulis (written curriculum) atau kurikulum sebagai dokumen (document curriculum) menjadi acuan, pedoman atau pegangan bagi guru-guru dan para pelaksana kurikulum lainnya dalam implementasi kurikulum. Sebagai suatu acuan atau pedoman, kurikulum berbentuk dokumen tertulis yang sering juga disebut sebagai kurikulum formal (formal curriculum) atau kurikulum lembaga (official curriculum). Berpegang pada kurikulum tertulis tersebut maka dilaksanakan kurikulum perbuatan (curriculum in action), implementasi kurikulum ( curriculum implementation), mencakup apa yang terjadi di kelas dan di luar kelas (actual curriculum or activity curriculum), baik yang dikerjakan oleh guru maupun siswa (experiencial curriculum).

Sebagai dokumen tertulis kurikulum tidak hanya terdiri atas mata pelajaran (course of study), atau uraian isi mata pelajaran (course content) atau persiapan mengajar (teaching preparation) dalam bentuk silabus dan satuan pelajaran (sillaby and lesson unit), tetapi mencakup semua dokumen tertulis yang berkaitan dengan rencana pengajaran/pembelajaran. Kurikulum tertulis selain mencakup hal-hal di atas, juga meliputi landasan dan azas-azas pengembangan kurikulum, struktur dan sebaran mata pelajaran, garis-garis besar program pembelajaran, pedoman-pedoman pelaksanaan seperti pedoman: pengelolaan, bimbingan, dan evaluasi; media dan sumber pembelajaran seperti: media elektronik dan non elektronik; buku, modul dan handout; program-program pembelajaran seperti pembelajaran melalui: komputer, film, video, audio.

Implementasi kurikulum atau kurikulum sebagai aktivitas atau kurikulum sebagai pengalaman, mencakup proses belajar-mengajar yang berlangsung di kelas, di laboratorium, di workshop/bengkel, di studio, di perpustakaan, dan di lapangan (kegiatan kurikuler) maupun kegiatan ko- dan ekstra kurikuler yang dilaksanakan di sekolah dan luar sekolah. Memang beberapa waktu yang lalu banyak yang mengartikan kurikulum secara sempit, yaitu hanya mencakup kegiatan kurikuler, atau dokumen tertulis, atau malahan hanya kumpulan dari mata-mata pelajaran. Dewasa ini kurikulum diartikan lebih luas, yaitu sebagai semua rancangan yang berfungsi mengoptimalkan perkembangan .siswa, dan .semua pengalaman belajar yang diperoleh siswa berkat arahan, bimbingan dan dipertanggung jawabkan oleh sekolah.

Kurikulum merupakan inti dari pendidikan, sebab selain berisi rumusan tentang tujuan yang menentukan ke mana siswa akan dibawa dan diarahkan, juga berisi rumusan tentang isi dan kegiatan belajar, yang akan membekali siswa dengan pengetahuan, kecakapan, keterampilan serta nilai-nilai yang mereka perlukan dalam kehidupan dan pelaksanaan tugas pekerjaan di masa yang akan datang. Kurikulum memberikan dasar­-dasar bagi pengembangan kepribadian dan kemampuan profesional, yang akan menentukan kualitas insan dan sumber daya manusia suatu bangsa.

 

2. Manajemen Pengembangan Kurikulum

Berbeda dengan pengembangan-pengembangan kurikulum sebelumnya, kurikulum disusun oleh pusat, satu kurikulum berlaku di seluruh tanah air, dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), kurikulum disusun oleh satuan pendidikan, yaitu sekolah atau perguruan tinggi. Tiap sekolah atau perguruan tinggi menyusun kurikulum sendiri, oleh karena itu setiap sekolah atau perguruan tinggi memiliki kurikulum sendiri. KTSP bukan model kurikulum atau model desain (rancangan) kurikulum. KTSP adalah model pengelolaan pengembangan kurikulum. Selama ini kurikulum atau desain kurikulum dikembangkan secara terpusat, oleh tim pusat. Dari segi pengelolaan disebut pengelolaan pengembangan kurikulum sentralistik atau pengelolaan birokratik.

Dalam KTSP pengelolaan pengembangan kurikulum dilakukan secara lokal oleh satuan pendidikan, oleh sekolah atau perguruan tinggi. Pengelolaan pengembangan kurikulum ini bersifat desentralistik. Pengembangan kurikulum memiliki makna yang cukup luas, meliputi penyusunan kurikulum baru, penyempurnaan atau perbaikan kurikulum yang ada, implementasi atau pelaksanaan kurikulum, serta pengendalian kurikulum. Pengendalian ini juga terdiri atas evaluasi dan monitoring kurikulum, serta penyempurnaan kurikulum berdasarkan masukan dari hasil evaluasi dan monitoring.

 

 

 

Manajemen Kurikulum

Manajemen kurikulum berkenaan dengan bagaimana kurikulum dirancang, diimplementasikan (dilaksanakan), dan dikendalikan (dievaluasi dan disempurnakan), oleh siapa, kapan, dalam lingkup mana, dst. Manajemen kurikulum juga menyangkut kebijakan: siapa yang diberi tugas, wewenang dan tanggung jawab dalam merancang, melaksanakan dan mengendalikan kurikulum. Dari  sudut siapa yang diberi tugas, wewenang dan tanggung jawab dalam pengembangan kurikulum, secara umum dibedakan antara manajemen pengembangan kurikulum terpusat (centralized curriculum development management atau top down curriculum development) dan manajemen pengembangan kurikulum tersebar (decentralized curriculum development management atau bottom up curriculum development). Kemp dalam Brady (1990:9) melihat pendekatan pengembangan kurikulum tersebut dalam suatu kontinum. ”At one extreme is center-based or top down curriculum development in which the curriculum is determined by the centre, and there is little autonomy for schools. At the other extreme is the bottom-up or school-based curriculum, developed entirely by individual schools”.

Pendapat Kemp tersebut menegaskan bahwa kurikulum (desain kurikulum) dapat bervariasi mulai dari yang sepenuhnya terstandar (seluruh komponen dirumuskan secara tuntas oleh pusat), sebagian besar komponen (dasar dan komponen utama), sebagian komponen dirumuskan oleh tim pusat, sedang komponen lainnya (penjabarannya) dikembangkan oleh daerah atau satuan pendidikan, sampai dengan yang seluruh komponennya dikembangkan oleh satuan pendidikan. Kurikulum yang seluruh komponennya dikembangkan oleh pusat pengelolaannya sepenuhnya sentralistik, yang seluruh komponennya dikembangkan oleh satuan pendidikan pengelolaannya sepenuhnya desentralistik, dan yang sebagian komponen dirumuskan oleh pusat dan sebagian oleh satuan pendidikan terletak di antaranya, dekonsentrasi atau sentral-desentral. Manajemen sentral­desentral inipun masih bervariasi pula, lebih berat ke arah sentralisasi atau desentralisasi, atau seimbang antara keduanya.

 

 

 

 Manajemen Pengembangan Kurikulum Sentralistik

Pada negara yang bersifat kesatuan seperti Indonesia sentralisasi ini berada pada tingkat pemerintah pusat, sedang pada negara federal sentralisasi dapat pada tingkat pemerintah federal (pusat) atau tingkat negara bagian. Dalam manajemen pengembangan kurikulum yang terpusat atau sentralistik, selain tugas, wewenang dan tanggung jawab pengembangan kurikulum dipegang oleh pejabat pusat, tetapi juga inisiatif, gagasan, bahkan model kurikulum yang akan dikembangkan juga berasal dari pemegang kekuasaan di pusat. Manajemen kurikulum sentralistik menghasilkan kurikulum nasional, satu kurikulum yang berlaku di seluruh wilayah negara.

Dalam manajemen kurikulum sentralistik, mungkin seluruh perangkat kurikulum, mulai dari landasan atau dasar-dasar pengembangan kurikulum, struktur dan sebaran mata pelajaran/mata kuliah, silabus atau garis besar program pembelajaran, rincian materi dan kegiatan pembelajaran, buku, media, alat-alat penunjang, penilaian hasil belajar beserta pedoman-pedoman pelaksanaannya disusun oleh pusat. Dalam manajemen sentralistik, mungkin juga yang disusun oleh pusat hanya landasan atau dasar-dasar penyusunan kurikulum, struktur clan sebaran mata pelajaran/mata kuliah, sedang penjabarannya lebih lanjut dalam silabus, satuan pelajaran/perkuliahan, rincian materi, buku, media dan alat pembelajaran, dikembangkan oleh daerah atau satuan pendidikan (sekolah atau perguruan tinggi).

Manajemen kurikulum sentralistik memiliki beberapa kelebihan di samping kekurangan atau kelemahan. Kelebihannya adalah: 1) kurikulum seragam untuk seluruh daerah dan sekolah, dapat dikembangkan standar kemampuan dan tingkat pencapaian yang bersifat nasional; 2) karena kurikulumnya seragam, maka lebih mudah dalam pengendalian, atau pengawasan dan evaluasinya; 3) pembinaan para pelaksana kurikulum lebih mudah karena pengetahuan dan keterampilan yang dituntut untuk melaksanannya hampir sama, 4) penyediaan media clan sumber belajar lebih mudah karena jenisnya sama untuk setiap daerah dan satuan pendidikan, 5) memungkinkan diadakan penilaian hasil belajar yang bersifat nasional, karena desain atau rancangan kurikulum dan sasaran belajarnya sama untuk seluruh daerah dan satuan pendidikan.

Manajemen kurikulum sentralistik juga memiliki beberapa kelemahan atau kekurangan, di antaranya: 1) wilayah yang cukup luas memiliki keragaman dalam kondisi, kebutuhan clan tingkat kemajuannya, kurikulum yang bersifat nasional tidak dapat mengakomodasi keragaman kondisi tersebut; 2) pemahaman dan penguasaan kurikulum nasional oleh para pelaksana di seluruh wilayah tanah air membutuhkan waktu yang relatif lebih lama; 3) penerapan satu jenis kurikulum untuk wilayah yang cukup luas dapat menghadapi banyak hambatan dan kemungkinan penyimpangan.

 

Manajemen Pengembangan Kurikulum Desentralistik

Dalam manajemen kurikulum desentralistik, penyusunan desain, pelaksanaan, dan pengendalian kurikulum (evaluasi dan penyempurnaan), dilakukan secara lokal oleh satuan pendidikan (sekolah atau perguruan tinggi). Penyusunan desain kurikulum dilakukan oleh guru-guru atau dosen, melibatkan ahli, komite sekolah/madrasah dan pihak-pihak lain di masyarakat, yang memiliki keahlian, perhatian dan kepedulian terhadap kurikulum. Pengembangan kurikulum demikian disebut pengembangan kurikulum berbasis sekolah (School based curriculum developement atau SBCD), yang dalam Permen Diknas no 24 tahun 2006 disebut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan atau KTSP.

Dalam SBCD atau KTSP pengembangan kurikulum dapat mencakup seluruh komponen kurikulum atau hanya sebagian komponen saja. Penyusunannya dapat dilakukan hanya oleh seorang, sekelompok atau seluruh guru/dosen dan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan-program satuan pendidikan dan sesuai dengan kondisi satuan pendidikan dan masyarakat sekitarnya. KTSP merupakan pengembangan kurikulum yang berbeda dengan pengembangan kurikulum birokratis (mengikuti gagasan, konsep pemegang kebijakan, hierarkis dari SD sampai perguruan tinggi).

Dalam pengembangan KTSP, desain kurikulum yang meliputi sasaran atau tujuan kurikulum, materi atau isi kurikulum, model pembelajaran dan penilaian hasil belajar disesuaikan dengan kebutuhan, tantangan, karakteristik, dan tahap perkembangan sekolah dan masyarakat dimana sekolah berada. Kurikulum menjadi lebih bermakna, karena bertolak dari situasi dan kondisi setempat dan diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan, tuntutan dan perkembangan setempat. Pengembangan kurikulum oleh satuan pendidikan (KTSP) akan menghasilkan desain kurikulum yang beragam, tetapi lebih mudah difahami, dikuasai dan dilaksanakan oleh guru/dosen, sebab mereka sendiri yang mengembangkannya, minimal ikut serta dalam pengembangannya.

Pengembangan kurikulum oleh satuan pendidikan memiliki beberapa kebaikan atau kelebihan dan juga beberapa kelemahan dan kekurangan. Kebaikan atau kelebihannya adalah: 1) kurikulumnya sesuai dengan kebutuhan, kondisi, karakteristik, dan perkembangan satuan pendidikan dan masyarakat setempat, sehingga satuan pendidikan secara langsung atau tidak langsung dapat membantu perkembangan masyarakat; 2) lebih mudah dilaksanakan karena desain kurikulum disusun oleh guru-guru/dosen sendiri dengan mempertimbangkan faktor-faktor pendukung pelaksanaannya yang ada di sekolah/ perguruan tinggi dan masyarakat sekitar.

Pengembangan kurikulum oleh satuan pendidikan juga memiliki beberapa kelemahan dan kekurangan : 1) tidak semua guru/dosen memiliki keahlian atau kecakapan dalam pengembangan kurikulum, atau tidak semua satuan pendidikan/daerah memiliki guru/dosen atau orang yang ahli atau cakap dalam pengembangan kurikulum; 2) kurikulum dapat bersifat lokal, lulusannya kurang memiliki kemampuan atau daya saing secara nasional; 3) desain kurikulum sangat beragam, dapat menimbulkan kesulitan dalam pengawasan dan evaluasi kurikulum dan evaluasi basil belajar secara nasional; 4) kepindahan siswa dari satu sekolah atau daerah ke sekolah atau daerah lain dapat menimbulkan kesulitan.

Pengembangan kurikulum oleh satuan pendidikan memiliki beberapa variasi, Skilbeck (1984) menggambarkan variasi tersebut dalam sebuah diagram yang menggambarkan keterlibatan guru-guru dalam kegiatan pengembangan kurikulum.

 

 

 

 

 

 

 

 

Kreasi              (Creation)

 

Adaptation (Adaptation)

 

Pemilihan     (Selection)

 

 

2

1

 

 

4

3

 

 

 

 

Perorangan

(Individual)

 

Perorangan dengan acuan (Individual in parameter

 

Kelompok (Group)

 

Seluruh Staf

(Whole staff)

 

 

 

 

Bagan 1: Kemungkinan variasi dari PKBS (sumber Skilbeck: 1984)

 

Kreasi (creation), kurikulum yang dikembangkan merupakan desain kurikulum baru yang berbeda dari kurikulum yang ada. Adaptasi (adaptation), kurikulum baru merupakan adaptasi atau modifikasi dari kurikulum yang ada, sedang seleksi atau pemilihan (selection), kurikulum baru merupakan basil pemilihan dari kurikulum­ kurikulum yang ada di daerah atau sekolah lain, diambil tanpa perubahan atau penyesuaian dengan kebutuhan dan kondisi setempat. Cara ini disebut juga adopsi (adoption) pengambilan sebagaimana adanya.

Pada sisi keterlibatan staf atau pelaksana kurikulum, penyusunan kurikulum bervariasi mulai dari melibatkan seluruh staf atau pelaksana kurikulum di sekolah, kepada penyusunan kurikulum oleh kelompok atau tim khusus, oleh individu (perorangan) dengan acuan atau kriteria tertentu, sampai pada pilihan oleh individu tanpa acuan atau kriteria sama sekali. Penyusunan kurikulum satuan pendidikan yang paling baik, adalah yang bersifat kreasi dan melibatkan seluruh staf (pada diagram terletak pada kotak kanan-atas atau kotak nomor 1), dan yang paling kurang baik adalah pemilihan hanya oleh individu, kepala sekolah atau seorang guru (kotak sudut kiri bawah). Meskipun demikian penyusunan kurikulum dengan model pada kotak 1, 2, 3, dan 4 masih dipandang dipandang cukup baik

 

 

3. Pengembangan KTSP

 

            Penyusunan KTSP

Dengan menggunakan acuan konsep yang telah dikemukakan di atas, di mana posisi desentralisasi dari KTSP? Dalam KTSP tidak semua komponen kurikulum dikembangkan oleh sekolah. Standar kompetensi lulusan, standar kompetensi, kompetensi dasar, kerangka dasar dan struktur kurikulum disusun secara terpusat oleh BSNP, penjabarannya dalam bentuk silabus, program pembelajaran tahunan atau semester, satuan pelajaran atau rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), rencana penilaian dan perangkat kurikulum-pembelajaran lainnya dikembangkan oleh sekolah. Dengan demikian KTSP tidak murni desentralisasi, tetapi masih ada unsur sentralisasinya, sehingga dapat disebut sebagai pengembangan kurikulum sentral-desentral.

Dalam posisinya ke arah desentralisasi, pengembangan kurikulum dalam KTSP masih berisi variasi kemungkinan. Mengacu pada rincian yang dikemukakan oleh Skillbeck dapat bergerak dari penyusunan desain kurikulum baru atau penyempurnaan desain kurikulum yang ada atau memilih/mengadopsi desain kurikulum yang telah disusun oleh satuan pendidikan lain; yang pengembangannya melibatkan seluruh guru/dosen, atau kelompok guru/dosen, sampai dengan hanya oleh perorangan dengan acuan atau tanpa acuan. Yang dipandang baik adalah pengembangan desain baru, minimal penyempurnaan desain kurikulum yang ada, yang penyusunannya melibatkan seluruh guru/ dosen, minimal sekelompok guru/dosen yang memiliki keahlian atau pengetahuan clan kepedulian dalam pengembangan kurikulum.

Sebaiknya dihindari penyusunan kurikulum yang hanya mengambil kurikulum yang ada yang telah disusun oleh sekolah atau perguruan tinggi lain (Pilihan atau adopsi). Desain kurikulum yang telah disusun oleh satuan pendidikan lain belum tentu cocok untuk sekolah/perguruan tinggi kita, karena kondisi, kebutuhan, perkembangan peserta didik, lembaga pendidikan dan masyarakatnya belum tentu sama. Dalam penyusunannya juga sebaiknya dihindari yang hanya disusun oleh seseorang, meskipun yang bersangkutan sangat ahli dalam pengembangan kurikulum.

Ada beberapa karakteristik utama dari pengembangan kurikulum oleh satuan pendidikan, yaitu: 1) menekankan partisipasi seluruh guru/dosen atau perwakilan guru/dosen secara proporsional, 2) pengembangan seluruh komponen dan kegiatan kurikulum, 3) guru/dosen dan pimpinan perlu terus meningkatkan kemampuannya, 4) harus selektif, adaptif dan kreatif, 5) merupakan proses berkelanjutan dan dinamis, 6) berfokus pada kebutuhan dan perkembangan siswalmahasiswa, 7) memperhatikan kondisi dan perkembangan sosial-budaya masyarakat, 8) memperhatikan kondisi dan kebutuhan faktor-faktor pendukung pelaksanaan.

Dalam karakteristik di atas sebenarnya ada tiga hal yang mendapatkan perhatian utama dalam pengembangan kurikulum oleh satuan pendidikan, yaitu kepentingan siswa atau mahasiswa, kondisi satuan pendidikan dan masyarakat serta peranan para pengembang kurikulum terutama guru atau dosen. Siswa atau mahasiswa mendapatkan perhatian utama karena merekalah subyek dan sasaran pokok pendidikan. Semua upaya pendidikan diarahkan pada pengembangan siswa atau mahasiswa secara optimal. Pengembangan seluruh aspek kepribadiannya, balk aspek fisik-motorik, intelektual, sosial maupun emosi.

Hal kedua yang mendapatkan perhatian dalam pengembangan kurikulum oleh satuan pendidikan adalah pelaksana kurikulum terutama guru atau dosen. Guru atau dosen memegang peranan kunci dalam pengembangan kurikulum, balk dalam tahap penyusunan desain, implementasi, maupun dalam pengendalian keurikulum. Sering dikatakan guru atau dosen adalah ujung tombak pendidikan, yang menentukan keberhasilan atau kekurang berhasilan pendidikan.

Dalam hubungan dengan pengembangan kurikulum oleh satuan pendidikan, ada beberapa tuntutan terhadap guru atau dosen: 1) Guru atau dosen bekerja dalam sistem sosial tertentu, dituntut bekerja sesuai dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat; 2) Pendidikan bersifat normatif, guru atau dosen dituntut untuk menjadi contoh-teladan, balk dalam penguasaan ilmu dan teknologi maupun dalam kepribadian; 3) Guru atau dosen bekerja dalam keterbatasan waktu, variasi kondisi siswalmahasiswa keragaman tugas dan peran dalam pekerjaan, dia harus mampu mengelola din dan tugas­tugasnya; 4) Guru atau dosen dituntut terus meningkatkan diri sejalan dengan perkembangan masyarakat, siswa/mahasiswa dan kelembagaan pendidikan.

Ketiga adalah kondisi sekolah/perguruan tinggi dan masyarakat. Pengembangan kurikulum oleh satuan pendidikan (KTSP) memiliki makna yang luas, sebab sekolah atau perguruan tinggi di sini bukan berarti lingkungan sekolah/perguruan tinggi yang dibatasi oleh pagar kampus. Sekolah/perguruan tinggi dalam konteks atau hubungan dengan masyarakat sekitarnya, mungkin seluas desa atau kecamatan di mana sekolah itu berada, tetapi dapat juga seluas kota atau kabupaten dan propinsi, bahkan untuk perguruan tinggi dapat bersifat nasional atau internasional. Hal itu tergantung pada luas cakupan asal siswa/mahasiswa, sebaran lulusan, dan keluasan kerjasama antara sekolah/perguruan tinggi dengan lembaga-lembaga yang ada di masyarakat.

Sekolah atau perguruan inggi bukan hanya penyampai ilmu dan teknologi, dan pengembang kepribadian siswa/mahasiswa tetapi juga merupakan sistem sosial, yang kaya dengan interaksi sosial, balk antara unsur di dalamnya maupun dengan sistem sosial lainnya. Brady (1990) mengemukakan beberapa karakteristik dari sekolah sebagai sistem sosial.

1.      Saling ketergantungan antar bagian,

2.      Populasinya terumuskan dengan jelas,

3.      Ada keragaman karena latar belakang lingkungannya,

4.      Jaringan hubungan sosial yang kompleks,

5.      Tiap lembaga pendidikan memiliki keunikan budaya.

 

Secara berkala kurikulum perlu dievaluasi dan disempurnakan, karena sebagai komponen utama dari pendidikan, sebagai sistem sosial juga berinteraksi dengan sistem yang lainnya, dengan lembaga pendidikan lain, lembaga pemerintahan, lembaga sosial, dunia pekerjaan, serta sistem sosial-budaya. Baik pendidikan (dengan kurikulum di dalamnya), maupun lembaga-lembaga lainnya selalu berada dalam perubahan dalam perkembangan. Perubahan ini memiliki beberapa ciri: 1) Perubahan terjadi secara kontinu dalam semua komponen, berjalan secara cepat maupun lambat; 2) Perubahan dalam kelembagaan pendidikan terjadi karena perkembangan ilmu dan teknologi; 3) Perubahan pada siswa terjadi karena perkembangan, kematangan dan belajar; 4) Perubahan pada guru terjadi karena belajar-latihan dan pengalaman; 5) Semua perubahan tersebut membutuhkan redesigning (dan reprograming), dalam pendidikan khususnya kurikulum.

 

Implementasi KTSP

          Manajemen pengembangan kurikulum, tidak hanya berkenaan dengan penyusunan desain atau rancangan kurikulum atau kurikulum tertulis, tetapi juga dengan pelaksanaan atau implementasinya (curriculum implementation) dan pengendaliannya (curriculum control). Kebaikan suatu kurikulum bukan hanya terletak pada desainnya atau kurikulum tertulis, tetapi lebih banyak pada implementasi atau pelaksanaannya. Apakah pelaksanaan kurikulum sudah sesuai dengan desain atau rancangannya, makin sesuai pelaksanaan dengan rancangan makin baik kurikulum, dan sudah tentu hasilnya jua akan semakin tinggi pula.

Dalam implementasi kurikulum ini Snyder, Bolin, Zumalt (1992), membedakan tiga model implementasi yang terletak dalam suatu garis kontinum. Pada ujung paling kiri  terletak model implementasi Fidelity (sepenuhnya sesuai), di tengahnya model Mutual adaptive (penyesuaian timbal balik) dan pada ujung paling kanan adalah Enactment (inisiatif sendiri) .

 

         Fidelity                           Mutual adaptif                         Enactment

 

 

 


Dalam model Fidelity, implementasi kurikulum harus persis sesuai dengan desain kurikulum. Desain kurikulumnya bersifat standar, dokumen kurikulum lengkap, dan seluruh komponen kurikulum telah dijabarkan secara rinci.

Mutual adaptive, implementasi kurikulum memperhatian kondisi, situasi dan kebutuhan siswa yang belajar saat itu. Desain kurikulumnya merupakan kurikulum inti, dalam pelaksanaannya guru atau dosen mengadakan perubahan atau penyempurnaan sesuai kondisi dan situasi sekolah dan kebutuhan perkembangan siswa/mahasiswa yang belajar. Desain kurikulum hanya berisi komponen-komponen pokok, sebagai kurikulum inti, penjabarannya dilakukan oleh guru.

Model Enactment, guru memiliki otonomi untuk menyusun dan mengimplementasikan kurikulum sesuai dengan kondisi dan kebutuhan setempat, baik kondisi, kebutuhan, perkembangan siswa/mahasiswa maupun sekolah/perguruan dan masyarakat sekitar ataupun tuntutan yang lebih luas.

Model fidelity biasanya diterapkan dalam kurikulum standar yang bersifat nasional, tetapi dapat juga diterapkan dalam kurikulum satuan pendidikan, asal desain kurikulum tersebut sudah standar, semua komponen kurikulumnya sudah terumuskan secara rinci dengan indikator-indikator yang jelas. Para pelaksana kurikulum, yaitu guru atau dosen tinggal melaksanakan sesuai dengan desain tersebut. Penyusunan kurikulum standar pada tingkat satuan pendidikan di Indonesia membutuhkan waktu, mengingat kondisi dan tahap perkembangan satuan pendidikan yang ada saat ini sangat beragam.

Mengingat hal itu, model implementasi kurikulum yang mungkin lebih banyak dapat digunakan dalam pelaksanaan KTSP adalah model mutual adaptif dan/atau Enactment. Guru atau dosen dalam mengimplementasikan desain kurikulum yang telah mereka susun dapat mengadakan penyesuaian-penyesuaian sesuai kondisi, kebutuhan dan perkembangan siswa/mahasiswa, lembaga pendidikan dan masyarakat, tetapi tetap dengan sasaran perkembangan siswa/mahasiswa secara optimal. Dalam implementasi yang bersifat mutual adaptif dan enactment tersebut, upaya ke arah pengembangan desain kurikulum yang bersifat standar, perlu terus dilakukan.

 

4. Kurikulum Standar

Dengan diundangkannya PP no 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Indonesia akan memasuki babak baru pengembangan pendidikan standar. Pendidikan ini diarahkan pada pencapaian atau penguasaan mutu pendidikan tingkat tinggi, taraf nasional bahkan internasional.  Pengembangan pendidikan ini sepertinya mengabaikan keragaman kondisi daerah dan kemampuan siswa. Pada negara-negara yang telah menerapkan pendidikan standar, keragaman tersebut diakui adanya, tetapi tidak menjadi penghalang untuk dilaksanakan  Pendidikan standar atau "Standards-based education (SBE). Menurut Parkay” SBE is based on the belief that all students are capable of meeting high standards" (Parkay, FW. et all (2006: 223).

Mulai tahun 1990 Amerika Serikat menerapkan pendidikan berbasis standar. Berkenaan dengan penerapan pendidikan ini di Amerika Serikat lebh lanjut Parkay et all, menjelaskan " In the past, expectations for students from poor families and students who are member of minority groups are sometimes lower than for other students. Todays, SBE is seen as a way of ensuring that excellence and equity become part of our nation's public school system" (2006: 224). Walaupun dalam kondisi dan tahap perkembangan masyarakat yang berbeda, dengan kesungguhan dan kerja keras, secara berangsur pendidikan standar diharapkan dapat diterapkan di Indonesia.

Dalam PP 19 tahun 2005 dinyatakan ada delapan standar nasional pendidikan, yaitu, standar: isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan. Kurikulum secara operasional berkenaan dengan seluruh komponen pendidikan yang distandarkan, tetapi dalam desainnya terutama berkenaan dengan komponen: kemampuan lulusan, isi, proses, dan penilaian hasil pembelajaran.

Banyak pandangan tentang kurikulum standar, secara konseptual para ahli (Parkay, et all; Marsh, CJ; Marzano & Kendall; etc.) membedakan antara standar isi (content standards) dan standar performansi (performance standards). Standar isi berkenaan dengan pengetahuan dan keterampilan yang harus dikuasai siswa dalam berbagai mata pelajaran, " what students should know and be able to do". Standar performansi menunjukkan tingkat penguasaan siswa dalam standar isi, " how good is is good enough" (Parkay, 2006: 225). Kedunya tidak dapat dipisahkan, dan standarnya sendiri sebenarnya terletak dalam tingkat performansinya, inilah yang menentukan apakah standar tersebut standar local, nasional atau internasional.

Dalam KTSP standar isi sudah ditentukan dan dirumuskan dalam Standar kompetensi lulusan, Standar kompetensi dan Kompetensi dasar tiap mata pelajaran, dan ini merupakan standar kompetensi nasional minimal. Dengan demikian satuan pendidikan dapat menambahnya. Mengenai standar performansinya tidak dinyatakan dalam ketentuan­ketentuan KTSP, hal itu berarti sekolah atau daerah dapat menentukan sendiri.

Pengembangan pendidikan standar diarahkan pada realisasi pendidikan secara profesional. Hal itu sudah dimulai dengan pengembangan profesi guru dan dosen menuju terwujudnya guru dan dosen profesional (UU nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen). Pendidikan yang dilaksanakan secara profesional, oleh guru-guru dan dosen profesional, akan melahirkan lulusan yang menguasai isi dan performansi standar dan profesional pula.

Dalam KTSP, untuk satuan pendidikan dasar dan menengah mata-mata pelajaran dikelompokkan atas: Agama dan akhlak mulia, Kewarganegaraan dan akhlak kepribadian, Ilmu pengetahuan dan teknologi, Estetika, Jasmani olah raga dan kesehatan. Penguasaan isi dan performansi secara standar dalam bidang atau kelompok mata pelajaran Agama dan akhlak mulia, Kewarganegaraan dan akhlak kepribadian, Estetika, dan Jasmani, olah raga dan kesehatan mengarah pada pengembangan lulusan yang memiliki integritas kepribadian dan komitmen nilai yang tinggi. Penguasaan isi dan performansi secara standar dalam kelompok mata pelajaran Ilmu pengetahuan dan teknologi mengarah pada pengembangan lulusan yang memiliki keunggulan di bidang ilmu dan teknologi dan daya saing yang tinggi.

Keduanya menjadi landasan dalam pengembangan profesionalisme, sebab profesionalisme didasari oleh penguasaan pengetahuan dan kemampuan secara standar (keunggulan dan daya saing), dan berkinerja secara standar (integritas kepribadian dan komitmen pada nilai). Keduanya berkembang dan dikembangkan melalui pendidikan, latihan, pengalaman sebelumnya, pembinaan dan penciptaan iklim kerja dalam lingkungan kerja saat ini.

 

5. Konsep dan Model-Model Kurikulum

Pengembangan kurikulum, selain berkenaan dengan pengelolaan pengembangan, juga berkenaan dengan konsep dan model-model kurikulum yang dikembangkannya. Pada tahun 2004 uji coba pengembangan kurikulum difokuskan pada model kurikulum kompetensi, yang dikenal dengan nama Kurikulum Berbasis Kompetensi atau KBK. Apakah dalam KTSP masih digunakan model KBK? Bila digunakan apakah hanya menggunakan model KBK saja, atau juga model-model kurikulum yang lain?

Kalau melihat rumusan kemampuan-kemampuan yang dituntut baik untuk kemampuan lulusan maupun dalam penguasaan mata pelajaran, menggunakan kata kompetensi, maka model KBK masih digunakan. Apakah hanya model KBK atau juga dapat menggunakan model-model yang lain. Jawabannya ya, sebab dalam Penmen Diknas 22, 23 dan 24 tahun 2006 tidak ada ketentuan yang melarang atau mengharuskan menggunakan model kurikulum tertentu. Dalam pengembangan KTSP boleh menggunakan model-model kurikulum yang lain.

Mengenai model-model kurikulum ini minimal ada empat model kurikulum yang banyak diacu dalam pengembangan kurikulum yaitu model kurikulum: Subyek Akademik, Humanistik, Rekonstruksi Sosial, dan Kompetensi. Berbicara tentang model kurikulum sebenaranya harus hati-hati, sebab banyak jenis model di dalam kurikulum, ada model konsep, model pengembangan, model desain, model implementasi, model evaluasi, model pembelajaran, model pengelolaan, dll.

Keempat model yang akan dijelaskan termasuk model konsep, banyak terkait dengan teori yang mendasarinya. Masing-masing model tersebut sejalan dengan teori yang mendasarinya bertolak dari asumsi atau keyakinan dasar yang berbeda, sehingga menimbulkan pandangan yang berbeda pula tentang kedudukan dan peranan pendidik, peserta didik, isi maupun proses pendidikan. Keempat model kurikulum tersebut memiliki acuan teori atau konsep pendidikan yang berbeda, kurikulum Subyek Akademik banyak mengacu pada pendidikan Klasik yaitu Perenialisme dan Esensialisme, kurikulum Humanistik pada Pendidikan Pribadi, kurikulum Rekontruksi Sosial pada Pendidikan Interaksional, dan kurikulum Kompetensi pada Teknologi Pendidikan.

 

Kurikulum Subyek Akademik

Kurikulum subyek akademik, merupakan model konsep kurikulum yang paling tua, sejak sekolah yang pertama dulu berdiri, kurikulumnya boleh dikatakan mirip dengan model ini. Sampai sekarang, walaupun telah berkembang model-model lain, tetapi kebanyakan sekolah tidak dapat melepaskan diri dari model ini. Mengapa demikian? Kurikulum ini menekankan isi atau materi pelajaran yang bersumber dari disiplin ilmu. Penyusunannya relatif mudah, praktis, dan mudah digabungkan dengan model yang lain.

Kurikulum Subyek Akademis bersumber dari Pendidikan Klasik, Perenialisme dan Esensialisme, berorientasi kepada masa lalu. Semua ilmu pengetahuan dan nilai-nilai telah ditemukan oleh para pemikir masa lalu. Fungsi pendidikan adalah memelihara dan mewariskan ilmu pengetahuan, teknologi dan nilai-nilai budaya masa lalu tersebut kepada generasi baru.

Kurikulum ini lebih mengutamakan isi pendidikan. Belajar adalah berusaha menguasai isi atau mated pelajaran sebanyak-banyaknya. Orang yang berhasil dalam belajar adalah orang yang menguasai seluruh atau sebagian terbesar dari isi pendidikan yang diberikan atau disiapkan oleh guru. Isi pendidikan diambil dari disiplin-disiplin ilmu. Pelajaran IPS diambil dari disiplin Ilmu Sosial, IPA diambil dari disiplin Ilmu Kealaman, dsb. Para ahli sesuai dengan bidang disiplinnya masing-masing telah mengembangkan ilmu-ilmu tersebut secara sistematis, logis dan solid.

Para pengembang kurikulum tidak perlu susah-susah menyusun dan mengembangkan bahan sendiri. Mereka tinggal memilih bahan-bahan materi ilmu yang telah dikembangkan oleh para ahli disiplin ilmu, kemudian mereorganisasinya secara sistematis, sesuai dengan tujuan pendidikan dan tahap perkembangan siswa yang akan mempelajarinya.

Guru atau dosen sebagai penyampai bahan ajaran memegang peranan penting. Mereka harus menguasai semua pengetahuan yang menjadi isi kurikulum. Mereka harus menjadi ahli atau ekspert dalam bidang-bidang studi yang diajarkannya di sekolah. Lebih jauh guru atau dosen dituntut bukan saja menguasai materi pembelajaran, tetapi ia juga menjadi model bagi para siswa atau mahasiswanya. Apa yang disampaikan dan cara penyampaiannya harus menjadi bagian dari pribadi guru/dosen.

Ungkapan guru adalah yang "digugu dan ditiru" (diikuti dan dicontoh) sesuai dengan konsep ini. Karena kurikulum sangat mengutamakan pengetahuan maka pendidikannya menjadi lebih bersifat intelektual. Nama-nama mata pelajaran yang menjadi isi kurikulum hampir sama dengan nama disiplin ilmu, seperti : matematika, bahasa dan sastra, ilmu pengetahuan sosial, ilmu pengetahuan alam, sejarah, geografi, biologi, fisika, dan sebagainya.

Kurikulum Subyek Akademis tidak berarti terus tetap hanya menekankan pada materi yang disampaikan, dalam sejarah perkembangannya secara berangsur memperhatikan juga proses belajar yang dilakukan siswa. Proses belajar yang dipilih sangat tergantung pada segi apa yang dipentingkan dalam materi pelajaran tersebut. Jerome Bruner dalam bukunya "The Process of Education ", menyarankan bahwa disain kurikulum hendaknya didasarkan atas struktur dari disiplin ilmu. Selanjutnya ia menegaskan bahwa kurikulum suatu mata pelajaran harus didasarkan atas pemahaman yang mendasar yang dapat diperoleh dari prinsip-prinsip yang mendasarinya yang memberi struktur kepada suatu disiplin ilmu.

Beberapa kegiatan belajar memberi kemungkinan untuk mengadakan generalisasi, suatu pengetahuan dapat digunakan dalam konteks yang lain daripada hanya sekedar yang dipelajarinya, dapat merangsang ingatan apabila siswa diminta untuk menghubungkannya dengan masalah lain. Seorang siswa yang belajar fisika umpamanya, ia harus melakukan kegiatan belajar sebagaimana seorang ahli fisika melakukannya. Hal seperti itu akan dapat mempermudah proses belajar fisika bagi siswa.

Penekanan pada segi intelektual ini dianut oleh hampir seluruh proyek pengembangan kurikulum pada tahun 1960-an di sekolah-sekolah negara bagian Amerika Serikat. Para pengembang kurikulum pada masa itu, adalah para ahli mata pelajaran yang menyusun bahan ajaran di sekitar unsur-unsur struktural mendasar dari disiplin ilmunya, menyangkut problema, konsep-konsep inti, prinsip-prinsip dan cara-cara bagaimana berinkuiri.

Salah satu contoh dari kurikulum yang didasarkan atas struktur pengetahuan adalah Man: A Course of Study (MACOS). MACOS adalah suatu kurikulum untuk sekolah dasar, terdiri atas buku-buku, film, poster, rekaman, permainan dan perlengkapan kelas lainnya. Kurikulum ini ditujukan untuk mengadakan penyempurnaan dalam pembelajaran ilmu sosial dan humanitas, dengan pengarahan dan bimbingan dari Bruner. Para pengembang kurikulum mengharapkan para siswa dapat menggali faktor-faktor penting yang akan menjadikan manusia sebagai manusia. Melalui perbandingan dengan binatang, anak mengetahui keadaan biologis dari manusia. Dengan membandingkan manusia dan suatu masyarakat dengan masyarkat lainnya, anak-anak akan mempelajari aspek-aspek universal dari kebudyaan manusia.

Sasaran utama dari kurikulum model MACOS adalah perkembangan kemampuan intelektual, yaitu membangkitkan penghargaan dan keyakinan akan kemampuan sendiri dan memberikan serangkaian cara-cara kerja yang memungkinkan anak walaupun dengan cara sederhana mampu menganalisis kehidupan sosial. Melalui serangkaian kegiatan ilmiah seperti observasi, percobaan, penyusunan dan pengujian hipotesis, pemahaman disiplin ilmu-ilmu sosial, kegiatan diskaveri dsb, diharapkan anak dapat menga,mbil banyak manfaat. Pada tahun 1970-an pendekatan struktur pengetahuan dalam pengembangan kurikulum ini mengalami kemunduran, sebab para ahli lebih tertarik pada pemecahan masalah-masalah kemanusiaan.

Sekurang-kurangnya ada tiga pendekatan dalam perkembangan dari Kurikulum Subyek Akademis. Pendekatan pertama, melanjutkan pendekatan struktur pengetahuan. Para siswa belajar bagaimana memperoleh dan menguji fakta-fakta dan bukan hanya sekedar mengingat-ingafiya. Pendekatan kedua, adalah studi yang bersifat integratif. Pendekatan ini merupakan respon terhadap perkembangan masyarakat yang menuntut model-model pengetahuan yang lebih bersifat komprehensif-terpadu. Pelajaran tersusun atas satuan-satuan pelajaran, dalam satuan-satuan pelajaran tersebut batas-batas ilmu menjadi hilang. Pengorganisasian tema-tema pembelajaran didasarkan atas fenomena-­fenomena alam, proses kerja ilmiah dan problema-problema yang ada. Mereka  mengembangkan suatu model kurikulum yang terintegrasi (integrated curriculum).

Ada beberapa ciri dari model kurikulum terintegrasi.

1)      Penentuan tema-tema yang membentuk satu kesatuan (unifying theme). Unifying theme dapat terdiri atas ide atau konsep besar yang dapat mencakup semua ilmu atau suatu proses kerja ilmu, fenomena alam, atau masalah sosial yang membutuhkan pemecahan secara ilmiah.

2)      Menyatukan kegiatan belajar dari beberapa macam disiplin ilmu. Kegiatan belajar melibatkan isi dan proses dari satu atau beberapa ilmu sosial atau prilaku yang mempunyai hubungan dengan tema yang dipilih/dikerjakan.

3)      Menyatukan berbagai cara/metoda belajar. Kegiatan belajar ditekankan pada pengalaman kongkrit yang bertolak dari minat dan kebutuhan siswa serta disesuaikan dengan keadaan setempat.

Pendekatan ketiga, adalah pendekatan yang dilaksanakan pada sekolah-sekolah fundamentalis. Mereka tetap mengajar berdasarkan mata-mata pelajaran dengan tekanan kepada membaca, menulis dan memecahkan masalah-masalah matematis. Pelajaran­ pelajaran lain seperti ilmu kealaman, ilmu sosial dll, dipelajari tanpa dihubungkan dengan kebutuhan praktis pemecahan masalah dalam kehidupan.

 

Kurikulum Humanistik

Model Kurikulum Humanistik menekankan pengembangan kepribadian siswa secara utuh dan seimbang, antara perkembangan segi intelektual, afektif dengan psikomotor. Kurikulum Humanistik menekankan pengembangan potensi dan kemampuan dengan memperhatikan minat dan kebutuhan siswa. Pembelajarannya berpusat pada siswa, student centered atau student based teaching, siswa menjadi subyek dan pusat kegiatan. Pembelajaran segi-segi sosial, moral dan afektif mendapat perhatian utama dalam model kurikulum ini. Model kurikulum ini berkembang dan digunakan dalam pendidikan pribadi.

Kurikulum humanistik dikembangkan oleh para ahli pendidikan humanistik, didasari oleh konsep-konsep pendidikan pribadi (Personalized Education) yaitu John Dewey (Progressive Education) dan J.J. Rousseau (Romantic Education). Konsep ini lebih memberikan tempat utama kepada siswa. Mereka bertolak dari asumsi bahwa anak atau siswa adalah yang pertama dan utama dalam pendidikan. I adalah subyek yang menjadi pusat kegiatan pendidikan. Mereka percaya bahwa siswa mempunyai potensi-potensi, punya kemampuan dan kekuatan untuk berkembang sendiri. Para pendidik Humanis juga berpegang kepada konsep Gestalt, bahwa individu atau anak merupakan satu kesatuan yang menyeluruh. Pendidikan diarahkan kepada membina manusia yang utuh bukan saja segi fisik dan intelektual tetapi juga segi sosial dan afektif: emosi, sikap, perasaan, minat, nilai dan lain-lain).

Pandangan mereka berkembang sebagai reaksi terhadap pendidikan yang lebih menekankan segi intelektual dengan peran utama dipegang oleh guru. Pendidikan humanistik menekankan peranan siswa. Pendidikan merupakan suatu upaya untuk menciptakan situasi yang permisif, rileks, akrab. Berkat situasi tersebut anak mengembangkan segala potensi yang dimilikinya. Menurut Mc Neil "The new humanists are self actualizers who see curriculum as a liberating process that can meet the need for growth and personal integrity (John D.Mc Neil, 1977, h.1). Tugas guru adalah menciptakan situasi yang permisif dan mendorong siswa untuk mencari dan mengembangkan pemecahan sendiri.

Pendidikan lebih menekankan pada bagaimana membelajarksn siswa (mendorong siswa), bagaimana merasakan atau bersikap terhadap sesuatu. Tujuan pembelajaran adalah memperluas kesadaran diri sendiri dan mengurangi kerenggangan dan keterasingan dari lingkungan. Ada beberapa aliran yang termasuk dalam pendidikan Humanistik yaitu pendidikan: Konfluen, Kritikisme Radikal dan Mistikisme modern.

Pendidikan Konfluen menekankan keutuhan pribadi, individu harus merespon secara utuh (baik segi pikiran, perasaan maupun tindakan), terhadap kesatuan yang menyeluruh dari lingkungan.

Kritikisme Radikal bersumber dari aliran Naturalisme atau Romantisme Rousseau. Mereka memandang pendidikan sebagai upaya untuk membantu anak menemukan dan mengembangkan sendiri segala potensi yang dimilikinya. Pendidikan merupakan upaya untuk menciptakan situasi yang memungkinkan siswa berkembang optimal. Pendidik adalah ibarat petani yang berusaha memilih tanah yang gembur, mengusahakan air dart udara yang cukup, terhindar dari berbagai hama, untuk tumbuhnya tanaman yang penuh dengan berbagai potensi. Dalam pendidikan tidak ada pemaksaan, yang ada adalah dorongan dan rangsangan untuk berkembang.

Mistisisme modern adalah atiran-aliran yang menekankan latihan dan pengembangan kepekaan perasaan, kehalusan budi pekerti, melalui latihan sensitivitas (sensitivity training), yoga, meditasi dan sebagainya.

 

Kurikulum Rekonstruksi Sosial

Kurikulum rekonstruksi sosial berbeda dengan model-model kurikulum lainnya, lebih memusatkan perhatiannya pada problema-problema yang dihadapi dalam masyarakat. Kurikulum ini bersumber pada aliran pendidikan Interaksional. Menurut mereka pendidikan bukanlah merupakan upaya sendiri, tetapi merupakan kegiatan bersama, interaksi, kerjasama. Kerjasama atau interaksi bukan hanya terjadi antara siswa dengan guru, tetapi juga antara siswa dengan siswa, siswa dengan orang-orang di lingkungannya dan dengan sumber-sumber belajar lainnya. Melalui interaksi dan kerjasama ini siswa berusaha memecahkan problema-problema yang dihadapinya dalam masyarakat menuju pembentukan masyarakat yang lebih balk.

Pandangan rekonstruksi sosial di dalam kurikulum dimulai sekitar tahun 1920-an. Harold Rug mulai melihat dan menyadarkan kawan-kawannya bahwa selama ini terjadi kesenjangan antara kurikulum dengan masyarakat.la menginginkan para siswa dengan pengetahuan dan konsep-konsep baru yang diperolehnya dapat mengidentifikasi dan memcahkan masalah-masalah sosial. Setelah diharapkan dapat menciptakan masyarakat baru yang lebih stabil.

Theodore Brameld, pada awal tahun 1950-an mengemukakan gagasannya tentang rekonstruksi sosial. Di dalam masyarakat demokratis, seluruh warga masyarakat harus turut serta dalam perkembangan dart pembaharuan masyarakat. Untuk melaksanakan hal itu sekolah mempunyai posisi yang cukup penting. Sekolah bukan saja dapat membantu individu memperkembangkan kemampuan sosialnya, tetapi juga dapat membantu bagaimana berpartisipasi sebaik-baiknya dalam kegiatan sosial.

Para Rekonstruksionis Sosial tidak mau terlalu menekankan kebebasan individu. Mereka ingin meyakinkan para siswa bagaimana masyarakat telah membuat warganya seperti adanya sekarang dan bagaimana masyarakat memenuhi kebutuhan pribadi warganya melalui konsensus sosial. Brameld juga ingin memberikan keyakinan tentang pentingnya perubahan sosial. Perubahan sosial tersebut harus dicapai melalui prosedur demokrasi. Para rekonstruksi sosial menentang intimidasi, menakut-nakuti dan kompromi semu. Mereka mendorong agar para siswa mempunyai pengetahuan yang cukup tentang masalah-masalah sosial yang mendesak (crucial) dan kerjasama atau bergotong royong untuk memecahkannya.

Kurikulum Rekonstruksi Sosial memiliki desain kurikulum yang berbeda dengan model kurikulum lain. Beberapa ciri dari disain kurikulum ini.

1)      Asumsi. Tujuan utama dari kurikulum rekonstruksi sosial adalah menghadapkan para siswa pada tantangan, ancaman, hambatan-hambatan atau gangguan-gangguan yang dihadapi manusia. Tantangan-tantangan tersebut bukan sesuatu yang terlepas dari kurikulum, tetapi merupakan bidang garapan dari studi sosial yang perlu didekati dari bidang-bidang lain seperti ekonomi, sosiologi psikologi, estetika, bahkan pengetahuan alam dan matematika. Masalah-masalah masyarakat bersifat universal clan hal ini dapat dikaji dalam kurikulum.

2)      Masalah-masalah sosial yang mendesak. Kegiatan belajar dipusatkan pada masalah­masalah sosial yang mendesak. Masalah-masalah tersebut dirumuskan dalam pertanyaan, seperti: Dapatkah kehidupan seperti sekarang ini memberikan kekuatan untuk menghadapi ancaman-ancaman yang akan mengganggu integritas kemanusiaan? Dapatkah tata ekonomi dan politik yang ada dibangun kembali agar setiap orang dapat memanfaatkan sumber-sumber daya alam dan sumber daya manusia seadil mungkin. Pertanyaan-pertanyaan tersebut mengundang pengungkapan lebih mendalam, bukan saja dari buku-buku dan kegiatan laboratorium tetapi juga clan hidupan nyata dalam masyarakat.

3)      Pola-pola organisasi. Pada tingkat sekolah menengah, pola organisasi kurikulum disusun seperti sebuah roda. Di tengah-tengahnya sebagai poros dipilih sesuatu masalah yang menjadi tema utama dan dibahas secara pleno (klasikal). Dan' terna utama dijabarkan sejumlah topik yang dibahas dalam diskusi-diskusi kelompok, latihan-latihan, kunjungan dll. Topik-topik dengan berbagai kegiatan kelompok ini merupakan jari jari. Semua kegiatan jari jari tersebut dirangkumkan menjadi satu kesatuan sebagai bingkai atau velk.

 

 

 

 

 

 


                                                                                                                                           22

 

 

 

     Bagan 1: Pola disain kurikulum rekonstruksi sosial

Kurikulum Rekonstruksi Sosial memiliki komponen-komponen yang sama dengan model kurikulum lain tetapi isi dan bentuk-bentuknya berbeda.

1)      Tujuan dan isi kurikulum. Setiap tahun program pendidikan mempunyai tujuan yang berbeda. Dalam program pendidikan ekonomi-politik, umpamanya untuk tahun pertama tujuannya membangun kembali dunia ekonomi-politik. Kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut adalah (1) mengadakan survai kritis terhadap masyarakat (2) mengadakan studi tentang hubungan antara keadaan ekonomi lokal dengan ekonomi nasional dan dunia, (3) mengadakan studi tentang latar belakang historis dan kecenderungan-kecenderungan perkembangan ekonomi, hubungannya dengan ekonomi lokal, (4) mengkaji praktek politik dalam hubungannya dengan faktor ekonomi, (5) memantapkan rencana perubahan praktek politik, (6) mengevaluasi semua rencana dengan kriteria apakah telah memenuhi kepentingan sebagian terbesar orang.

2)      Metoda. Dalam pembelajaran Rekonstruksi Sosial para pengembang kurikulum berusaha mencari keselarasan antara tujuan-tujuan nasional dengan tujuan siswa. Guru­guru berusaha membantu para siswa menemukan minat dan kebutuhannya. Para siswa sesuai dengan minatnya masing-masing, balk dalam kegiatan pleno maupun kelompok­kelompok berusaha memecahkan masalah sosial yang dihadapinya. Kedasama balk antara individu dalam kegiatan kelompok, maupun antar kelompok dalam kegiatan pleno sangat mewarnai metoda rekonstruksi sosial. Kerjasama ini juga terjadi antara para siswa dengan manusia sumber dari masyarakat. Bagi rekonstruksi sosial, belajar merupakan kegiatan bersama, ada ketergantungan antara seorang dengan yang lainnya. Dalam kegiatan belajar mereka tidak ada kompetisi yang ada adalah kooperasi atau kerjasama, saling pengertian dan konsensus. Anak-anak sejak sekolah dasarpun diharuskan turut serta dalam survai kemasyarakatan aserta kegiatan-kegiatan sosial lainnya. Untuk kelas-kelas tertinggi selain mereka dihadapkan kepada situasi nyata juga mereka diperkenalkan dengan situasi-situasi ideal. Dengan hal itu diharapkan para siswa dapat menciptakan model-model kasar dari situasi yang akan datang.

3)      Evaluasi. Dalam kegiatan evaluasi para siswa juga dipartisipasikan. Partisipasi mereka terutama dalam memilih, menyusun, dan menilai bahan yang akan diujikan. Soal-soal yang akan diujikan dinilai lebih dulu balk ketepatan maupun keluasan isinya, juga keampuhannya menilai pencapaian tujuan-tujuan pembangunan masyarakat yang sifatnya kualitatif. Evaluasi tidak hanya menilai apa yang telah dikuasai siswa, tetapi juga menilai pengaruh dari kegiatan sekolah terhadap masyarakat. Pengaruh tersebut terutama menyangkut perkembangan masyarakat dan peningkatan taraf kehidupan masyarakat.

 

           Kurikulum Kompetensi                                                           

Abad dua puluh ditandai oleh perkembangan teknologi yang sangat pesat. Perkembangan teknologi mempengaruhi setiap bidang dan aspek kehidupan, termasuk bidang pendidikan. Sejak dahulu teknologi telah diterapkan dalam pendidikan, tetapi yang digunakan adalah teknologi sederhana seperti penggunaan papan tulis dan kapur, pena dan tinta, sabak dan grip dll. Dewasa ini sesuai dengan tahap perkembangannya yang digunakan adalah teknologi maju, seperti audio dan video casssette, overhead projector, film slide dan motion film, mesin pembelajaran, Komputer, CD-rom dan internet.

Sejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi, di bidang pendidikan berkembang pula teknologi pendidikan. Aliran ini ada persamaannya dengan pendidikan klasik, yaitu menekankan isi kurikulum, tetapi diarahkan bukan pada pemeliharaan dan pengawetan ilmu tersebut tetapi pada penguasaan kemampuan atau kompetensi. Suatu kompetensi yang besar diuraikan menjadi kompetensi yang lebih sempitlkhsusus dan akhirnya menjadi perilaku atau kegiatan (performance) yang dapat diamati atau diukur. Penerapan teknologi dalam bidang pendidikan khususnya kurikulum adalah dalam dua bentuk, yaitu bentuk perangkat lunak (software) dan perangkat keras (hardware). Penerapan teknologi perangkat keras dalam pendidikan dikenal sebagai teknologi alat (tools technology), sedang penerapan teknologi perangkat lunak disebut juga teknologi sistem (system technology).

Teknologi pendidikan dalam arti teknologi alat, lebih menekankan kepada penggunaan alat-alat teknologis untuk menunjang efisiensi dan efektivitas pendidikan. Di dalam kurikulumnya berisi rancangan atau desain kurikulum yang ditunjang oleh penggunaan media atau alat bantuan pembelajaran. Dalam arti teknologi sistem, teknologi pendidikan menekankan kepada penyusunan program pengajaran atau rencana pembelajaran dengan menggunakan pendekatan sistem. Program pembelajaran ini bisa semata-mata program sistem, bisa program sistem yang ditunjang dengan alat dan media, dan bisa juga program sistem yang dipadukan dengan alat dan media pembelajaran.

Pada bentuk pertama, pembelajaran tidak membutuhkan alat dan media yang canggih, tetapi bahan ajaran dan proses pembelajaran disusun secara sistem dalam bentuk satuan pelajaran (lesson unit). Alat dan media digunakan sesuai dengan kondisi tetapi tidak terlalu dipentingkan.

Pada bentuk kedua, pembelajaran disusun secara sistem dan ditunjang dengan penggunaan alat dan media pembelajaran. Penggunaan alat dan media belum terintegrasi dengan program pembelajaran, bersifat "on-off”, yaitu bila digunakan alat dan media akan lebih baik, tetapi bila tidak menggunakan alatpun pembelajaran masih tetap berjalan.

Pada bentuk ketiga program pembelajaran telah disusun secara terpadu antara bahan dan kegiatan pembelajaran dengan alat dan media. Bahan ajaran telah disusun dalam kaset audio, video atau film, atau diprogramkan dalam komputer. Pembelajaran tidak bisa berjalan tanpa melibatkan penggunaan alat-alat dan program tersebut. Contoh-cntoh dari model desain pembelajaran tersebut adalah: pembelajaran berprogram, pembelajaran dengan menggunakan video, audio, film, pembelajaran dengan bantuan komputer (compter aided instruction atau CAI), belajar dengan bantuan computer (computer aided learning atau CAL), pembelajaran modul, pembelajaran melalui internet (e-learning atau web site learning), dll.

Ada beberapa ciri dari kurikulum kompetensi yang dikembangkan dari konsep teknologi pendidikan.

1)        Tujuan. Tujuan diarahkan pada penguasaan kemampuan akademik, kemampuan vokasional atau kemampuan pribadi yang dirumuskan dalam bentuk kompetensi. Tujuan-tujuan yang bersifat umum yaitu standar kompetensi dirinci menjadi tujuan­tujuan yang lebih khusus (kompetensi dasar), yang kemudian dijabarkan lagi menjadi perilaku yang dapat diukut atau performansi (indikator).

2)         Metoda. Metoda yang merupakan kegiatan pembelajaran sering dipandang sebagai proses mereaksi terhadap perangsang-perangsang yang diberikan dan apabila terjadi respons yang diharapkan maka respons tersebut diperkuat. Tujuan-tujuan pengajaran telah ditentukan sebelumnya. Pembelajaran dalam konsep awalnya bersifat individual, tiap siswa menghadapi serentetan tugas yang harus dikerjakannya, dan maju sesuai dengan kecepatan masing-masing. Pada saat tertentu ada tugas-tugas yang harus dikerjakan secara kelompok. Setiap siswa harus menguasai secara tuntas tujuan-tujuan dari program pengajaran (pembelajaran tuntas).

 

Pelaksanaan pembelajaran mengikuti langkah-langkah sebagai berikut.

a.       Penegasan tujuan. Para siswa diberi penjelasan tentang pentingnya bahan yang harus dipelajari. Sebagai tanda menguasai bahan mereka harus menguasai secara tuntas tujuan-tujuan dari suatu program.

b.      Pelaksanaan pembelajaran. Para siswa belajar secara individual melalui media buku-buku ataupun media elektronik. Dalam kegiatan belajarnya mereka dapat menguasai keterampilan-keterampilan dasar ataupun perilaku-perilaku yang dinyatakan dalam tujuan program. Mereka belajar dengan cara memberikan respons secara cepat terhadap persoalan-persoalan yang diberikan.

c.       Pengetahuan tentang hasil. Kemajuan siswa dapat segera diketahui oleh siswa sendiri, sebab dalam model kurikulum ini umpan balik selalu diberikan. Para siswa dapat segera mengetahui apa yang telah mereka kuasai dan apa yang masih harus dipelajari lebih serius.

3)         Organisasi bahan ajaran. Bahan ajaran atau isi kurikulum banyak diambil dari disiplin ilmu, tetapi telah diramu sedemikian rupa sehingga mendukung penguasaan sesuatu

        kompetensi. Bahan ajaran atau kompetensi yang luas/besar dirinci menjadi bagian­bagian atau sub kompetensi yang lebih kecil, yang menggambarkan obyektif. Urutan dari obyektif-obyektif ini pada dasarnya menjadi inti dari organisasi bahan.

4)         Evaluasi. Kegiatan evaluasi dilakukan pada setiap saat, pada akhir suatu pelajaran, suatu unit ataupun semester. Fungsi evaluasi ini bermacam-macam, sebagai umpan balik bagi siswa dalam penyempurnaan penguasaan suatu satuan pelajaran (evaluasi formatif), umpan balik bagi siswa pada akhir suatu program atau semester (evaluasi sumatif). Juga dapat menjadi umpan balik bag] guru dan pengembang kurikulum untuk penyempurnaan kurikulum. Evaluasi yang mereka gunakan umumnya berbentuk tes obyektif. Sesuai dengan landasan pemikiran mereka, bahwa model pembelajarannya menekankan sifat ilmiah, bentuk tes ini dipandang yang paling cocok, dapat mengukur perilaku atau performansi.

Program pembelajaran teknologis sangat menekankan efisiensi dan efektivitas. Program dikembangkan melalui beberapa kegiatan uji coba dengan sampel-sampel dari suatu populasi yang sesuai, direvisi beberapa kali sampai standar yang diharapkan dapat dicapai. Dengan model pembelajaran ini tingkat penguasaan siswa dalam standar konvensional jauh lebih tinggi dibandingkan dengan model-model lain. Apalagi kalau digunakan program-program yang lebih bersturktur seperri pengajaran berprogram, pengajaran modul atau pengajaran dengan bantuan video dan komputer, yang dilengkapi dengan sistem umpan balik dan pembimbingan dari tutor yang teratur dapat mempercepat dan meningkatkan penguasaan siswa.

Meskipun memiliki kelebihan-kelebihan, kurikulum teknologis tidak terlepas dari beberapa keterbatasan atau kelemahan. Model ini terbatas kemampuannya untuk mengajarkan bahan ajaran yang kompleks atau membutuhkan penguasaan tingkat tinggi (analisis-sintetis, evaluasi, pemecahan masalah dan kreativitas) juga bahan-bahan ajaran yang bersifat afektif. Beberapa percobaan menunjukkan kemampuan siswa untuk mentransfer hasil belajar cukup rendah. Pengajaran teknologis sukar untuk dapat melayani bakat-bakat siswa belajar dengan metoda-metoda khusus. Metoda mengajar mereka cenderung seragam. Keberhasilan belajar siswa juga sangat dipengaruhi oleh sikap mereka, bila sikapnya positif maka siswa akan berhasil, tetapi bila sikapnya negatif, tingkat penguasaannya pun relatif rendah. Masalah kebosanan juga berpengaruh terhadap proses belajar.

 

 

 

 

Kepustakaan

 

Anderson, L.W. and Krathwohl, (ed). (2001). A Taxonomy for Learning, Teaching and Assessing. New York: Addison Wesley Longman, Inc.

 

Ausubel, D.P. and Robinson, F. G. (1969). School Learning. New York: Holt, Rinehart and Winston,Inc

 

Beanne, J.A and Toepfer, G.F. and Alesi, Jr. S.J. (1986). Curriculum Planning and Development. Boston: Allyn and Bacon,Inc.

 

Beanne, James A (Ed.). (1995). Toward A Coherent Curriculum. Alexandria, Virginia: ASCD.

 

Brady, Laurie. (1990). Curriculum Development. New York: Prentice Hall.

 

Diamond, R.M. (1991). Designing and Improving Courses and Curricula in Higher Education. San Fransisco: Jossey-Bass Publishers.

 

Fogarty, Robin. (1991). Integrate the Curricula. Palatine, Illinois: IRI/Skylight Publishing, Inc.

 

Gardner, Howard. (1993). Creating Minds. New York: Basic Books.

 

Johnson, E.B. (2002). Contextual Teaching and Learning. Thousand Oaks, California: Corwin Press, Inc.

 

Longstreet, W.S. and Shane, H.G. (1993). Curriculum for a New Millennium. Boston: Allyin and Bacon, Inc.

 

Marsh, Colin J. (2006). Key Concepts for Understanding Curriculum. London: RoutledgeFalmer.

 

McNeil, J.D. (1985). Curriculum: A Comprehensive Introduction. Boston: Little, Brown and Company.     .

 

Miller, J.P and Seller, W. (1985). Curriculum: Perspectives and Practice. New York: Longman

 

Nunan, David. (1988). The Learner Centered Curriculum. New York: Cambridge University Press.

 

Oliva, Peter E. (1992). Developing the Curriculum. New York: Harper Collins Publishers.

 

Parkay, Forrest W., Anctil Eric J. and Hass, Glen. (2006). Curriculum Planning: A Contemporary Approah. Boston: Pearson.

 

Schubert, W.H. (1986). Curriculum: Perspective, Paradigm, and Possibility. New York: Macmillan Publishing Co.

 

Slattery, Patrick. (1995). Curriculum Development in the Postmodern Era. New York: Garland Publishing, Inc.

 

Sukmadinata, N.Sy, Ahman, Jami’at, A.N. (2009). Strategi Peningkatan Mutu Pendisdidikan Sekolah Dasar, Bandung: Maestro

 

Sukmadinata, Nana Sy. (2004). Kurikulum dan Pembelajaran Kompeten.si. Bandung: Kesuma karya.

 

Sukmadinata, Nana Sy  (2003). Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: Remaja Roosda Karya.

 

Sukmadinata, N Sy, Ahman, Jamiat, A.N.  (2002). Pengendalian Mutu Pendidikan Sekolah Menengah. Bandung: Kesuma karya.

 

Sukmadinata, Nana Sy  (2001). Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek Bandung: Remaja Roosdakarya.

 

Wiles, John and Bondi, Joseph. (1993). Curriculum Development: New York: Maxwell

          Macmillan International.

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selamat Datang di Website Imas Siti Nurjanah " Pendidikan, Kepramukaan, Materi SMP/MTS, Perangkat Pembelajaran" Kunjungi Youtube kami di Https://bit.ly/YT-ImasSN