LANDASAN TEORETIS
KURIKULUM TINGKAT
SATUAN PENDIDIKAN
Prof. Dr. Nana Syaodih Sukmadinata
1.Tiga
Dimensi Kurikulum
Kurikulum dapat dilihat dalam tiga dimensi yaitu, sebagai
ilmu (curriculum as a body
of knowledge), sebagai sistem (curriculum as a
system) dan sebagai rencana (curriculum
as a plan).
Dalam kurikulum sebagai ilmu dikaji konsep, landasan,
asumsi, teori, model, praksis, prinsip-prinsip dasar tentang kurikulum. Dalam
kurikulum sebagai sistem dijelaskan kedudukan kurikulum dalam hubungannya dengan
sistem dan bidang-bidang pendidikan lain, komponen-komponen kurikulum,
kurikulum berbagai jalur, jenjang, jenis pendidikan, manajemen kurikulum, dsb.
Dalam kurikulum sebagai rencana tercakup macam-macam
rencana dan rancangan atau desain kurikulum. Kurikulum sebagai rencana ada yang
bersifat menyeluruh untuk semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan dan ada
pula yang khusus untuk jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu. Mengenai
rancangan atau desain kurikulum ini ada bermacam-macam, ada desain kurikulum
berdasarkan konsep, tujuan, isi, proses, masalah, kebutuhan siswa, dll.
Kurikulum sebagai rancangan juga menyangkut implementasi dan pengendaliannya.
Dalam tulisan ini pembahasan akan menyangkut ketiga
dimensi tersebut tetapi hanya pada fokus-fokus tertentu. Dalam kurikulum
sebagai sistem pembahasan difokuskan pada manajemen pengembangan kurikulum yang
terkait dengan KTSP, kurikulum sebagai ilmu difokuskan pada model-model
kurikulum yang dapat dikembangkan dalam KTSP. Kurikulum sebagai rencana tidak
dibahas tersendiri tetapi bersatu dengan manajemen maupun model-model
kurikulum. Penjelasan singkat dikemukakan dalam bagian ini.
Kurikulum sebagai rencana merupakan dimensi kurikulum yang
paling banyak dikenal dan diketahui orang, baik oleh para pelaksana kurikulum
(guru/dosen dan pimpinan satuan pendidikan) maupun masyarakat terutama orang
tua. Kurikulum inilah yang akan dikembangkan oleh guru-guru atau para dosen
dalam KTSP. Kurikulum sebagai rencana (a
plan of action) atau disebut juga kurikulum tertulis (written curriculum) atau kurikulum
sebagai dokumen (document curriculum)
menjadi acuan, pedoman atau pegangan bagi guru-guru
dan para pelaksana kurikulum lainnya dalam implementasi kurikulum. Sebagai
suatu acuan atau pedoman, kurikulum berbentuk dokumen tertulis yang sering juga
disebut sebagai kurikulum formal (formal
curriculum) atau kurikulum lembaga (official curriculum). Berpegang pada
kurikulum tertulis tersebut maka dilaksanakan kurikulum perbuatan (curriculum in action), implementasi kurikulum ( curriculum implementation), mencakup apa yang terjadi di kelas dan
di luar kelas (actual curriculum or activity curriculum),
baik yang dikerjakan oleh guru maupun siswa (experiencial curriculum).
Sebagai dokumen tertulis kurikulum tidak hanya
terdiri atas mata pelajaran (course of
study), atau uraian isi mata pelajaran (course content) atau
persiapan mengajar (teaching preparation) dalam bentuk silabus dan satuan pelajaran
(sillaby and lesson unit), tetapi mencakup semua dokumen tertulis
yang berkaitan dengan rencana pengajaran/pembelajaran. Kurikulum
tertulis selain mencakup hal-hal di atas, juga meliputi landasan dan azas-azas
pengembangan kurikulum, struktur dan sebaran mata pelajaran, garis-garis besar
program pembelajaran, pedoman-pedoman pelaksanaan seperti pedoman: pengelolaan,
bimbingan, dan evaluasi; media dan sumber pembelajaran seperti: media
elektronik dan non elektronik; buku, modul dan handout; program-program
pembelajaran seperti pembelajaran melalui: komputer, film, video, audio.
Implementasi
kurikulum atau kurikulum sebagai aktivitas atau kurikulum sebagai pengalaman,
mencakup proses belajar-mengajar yang berlangsung di kelas, di laboratorium, di
workshop/bengkel, di studio, di perpustakaan, dan di lapangan (kegiatan
kurikuler) maupun kegiatan ko- dan ekstra kurikuler yang dilaksanakan di
sekolah dan luar sekolah. Memang beberapa waktu yang lalu banyak yang
mengartikan kurikulum secara sempit, yaitu hanya mencakup kegiatan kurikuler,
atau dokumen tertulis, atau malahan hanya kumpulan dari mata-mata pelajaran.
Dewasa ini kurikulum diartikan lebih luas, yaitu sebagai semua rancangan yang berfungsi
mengoptimalkan perkembangan .siswa, dan .semua pengalaman belajar yang
diperoleh siswa berkat arahan, bimbingan dan dipertanggung jawabkan oleh sekolah.
Kurikulum
merupakan inti dari pendidikan, sebab selain berisi rumusan tentang tujuan yang
menentukan ke mana siswa akan dibawa dan diarahkan, juga berisi rumusan tentang
isi dan kegiatan belajar, yang akan membekali siswa dengan pengetahuan,
kecakapan, keterampilan serta nilai-nilai yang mereka perlukan dalam kehidupan
dan pelaksanaan tugas pekerjaan di masa yang akan datang. Kurikulum memberikan
dasar-dasar bagi pengembangan kepribadian dan kemampuan profesional, yang akan
menentukan kualitas insan dan sumber daya manusia suatu bangsa.
2. Manajemen Pengembangan
Kurikulum
Berbeda
dengan pengembangan-pengembangan kurikulum sebelumnya, kurikulum disusun oleh
pusat, satu kurikulum berlaku di seluruh tanah air, dalam Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP), kurikulum disusun oleh satuan pendidikan, yaitu
sekolah atau perguruan tinggi. Tiap sekolah atau perguruan tinggi menyusun
kurikulum sendiri, oleh karena itu setiap sekolah atau perguruan tinggi
memiliki kurikulum sendiri. KTSP bukan model kurikulum atau model desain
(rancangan) kurikulum. KTSP adalah model pengelolaan pengembangan kurikulum.
Selama ini kurikulum atau desain kurikulum dikembangkan secara terpusat, oleh
tim pusat. Dari segi pengelolaan
disebut pengelolaan pengembangan kurikulum sentralistik atau pengelolaan
birokratik.
Dalam KTSP pengelolaan pengembangan kurikulum dilakukan
secara lokal oleh satuan pendidikan, oleh sekolah atau perguruan tinggi.
Pengelolaan pengembangan kurikulum ini bersifat desentralistik. Pengembangan
kurikulum memiliki makna yang cukup luas, meliputi penyusunan kurikulum baru,
penyempurnaan atau perbaikan kurikulum yang ada, implementasi atau pelaksanaan
kurikulum, serta pengendalian kurikulum. Pengendalian ini juga terdiri atas evaluasi
dan monitoring kurikulum, serta penyempurnaan kurikulum berdasarkan masukan
dari hasil evaluasi dan monitoring.
Manajemen
Kurikulum
Manajemen kurikulum berkenaan dengan bagaimana kurikulum
dirancang, diimplementasikan (dilaksanakan), dan dikendalikan (dievaluasi dan
disempurnakan), oleh siapa, kapan, dalam lingkup mana, dst. Manajemen kurikulum
juga menyangkut kebijakan: siapa yang diberi tugas, wewenang dan tanggung jawab
dalam merancang, melaksanakan dan
mengendalikan kurikulum. Dari sudut
siapa yang diberi tugas, wewenang dan tanggung jawab dalam pengembangan
kurikulum, secara umum dibedakan antara manajemen pengembangan kurikulum
terpusat (centralized curriculum
development management atau top down curriculum development) dan manajemen
pengembangan kurikulum tersebar (decentralized
curriculum development management atau bottom up curriculum development). Kemp
dalam Brady (1990:9) melihat pendekatan pengembangan kurikulum tersebut dalam
suatu kontinum. ”At
one extreme is center-based or top down curriculum development in which the
curriculum is determined by the centre, and there is little autonomy for
schools. At the other extreme is the bottom-up or school-based curriculum,
developed entirely by individual schools”.
Pendapat Kemp tersebut menegaskan bahwa kurikulum (desain kurikulum) dapat bervariasi
mulai dari yang sepenuhnya terstandar (seluruh komponen dirumuskan secara
tuntas oleh pusat), sebagian besar komponen (dasar dan komponen utama),
sebagian komponen dirumuskan oleh tim pusat, sedang komponen lainnya
(penjabarannya) dikembangkan oleh daerah atau satuan pendidikan, sampai dengan
yang seluruh komponennya dikembangkan oleh satuan pendidikan. Kurikulum yang
seluruh komponennya dikembangkan oleh pusat pengelolaannya sepenuhnya
sentralistik, yang seluruh komponennya dikembangkan oleh satuan pendidikan
pengelolaannya sepenuhnya desentralistik, dan yang sebagian komponen dirumuskan
oleh pusat dan sebagian oleh satuan pendidikan terletak di antaranya, dekonsentrasi
atau sentral-desentral. Manajemen sentraldesentral inipun masih bervariasi
pula, lebih berat ke arah sentralisasi atau desentralisasi, atau seimbang
antara keduanya.
Manajemen Pengembangan Kurikulum Sentralistik
Pada negara yang bersifat kesatuan seperti Indonesia
sentralisasi ini berada pada tingkat pemerintah pusat, sedang pada negara
federal sentralisasi dapat pada tingkat pemerintah federal (pusat) atau tingkat
negara bagian. Dalam manajemen pengembangan kurikulum yang terpusat atau
sentralistik, selain tugas, wewenang dan tanggung jawab pengembangan kurikulum dipegang
oleh pejabat pusat, tetapi juga inisiatif, gagasan, bahkan model kurikulum yang akan dikembangkan juga berasal
dari pemegang kekuasaan di pusat. Manajemen kurikulum sentralistik menghasilkan
kurikulum nasional, satu kurikulum yang berlaku di seluruh wilayah negara.
Dalam manajemen kurikulum sentralistik, mungkin seluruh
perangkat kurikulum, mulai dari landasan atau dasar-dasar pengembangan
kurikulum, struktur dan sebaran mata pelajaran/mata kuliah, silabus atau garis
besar program pembelajaran, rincian materi dan kegiatan pembelajaran, buku,
media, alat-alat penunjang, penilaian hasil belajar beserta pedoman-pedoman
pelaksanaannya disusun oleh pusat. Dalam manajemen sentralistik, mungkin juga
yang disusun oleh pusat hanya landasan atau dasar-dasar penyusunan kurikulum,
struktur clan sebaran mata pelajaran/mata kuliah, sedang penjabarannya lebih
lanjut dalam silabus, satuan pelajaran/perkuliahan, rincian materi, buku, media
dan alat pembelajaran, dikembangkan oleh daerah atau satuan pendidikan (sekolah
atau perguruan tinggi).
Manajemen kurikulum sentralistik memiliki beberapa
kelebihan di samping kekurangan atau kelemahan. Kelebihannya adalah: 1)
kurikulum seragam untuk seluruh daerah dan sekolah, dapat dikembangkan standar
kemampuan dan tingkat pencapaian yang bersifat nasional; 2) karena kurikulumnya
seragam, maka lebih mudah dalam pengendalian, atau pengawasan dan evaluasinya;
3) pembinaan para pelaksana kurikulum lebih mudah karena pengetahuan dan
keterampilan yang dituntut untuk melaksanannya hampir sama, 4) penyediaan media
clan sumber belajar lebih mudah karena jenisnya sama untuk setiap daerah dan
satuan pendidikan, 5) memungkinkan diadakan penilaian hasil belajar yang
bersifat nasional, karena desain atau rancangan kurikulum dan sasaran belajarnya
sama untuk seluruh daerah dan satuan pendidikan.
Manajemen kurikulum sentralistik juga memiliki beberapa
kelemahan atau kekurangan, di antaranya: 1) wilayah yang cukup luas memiliki
keragaman dalam kondisi, kebutuhan clan tingkat kemajuannya, kurikulum yang
bersifat nasional tidak dapat mengakomodasi keragaman kondisi tersebut; 2)
pemahaman dan penguasaan kurikulum nasional oleh para pelaksana di seluruh
wilayah tanah air membutuhkan waktu yang relatif lebih lama; 3) penerapan satu
jenis kurikulum untuk wilayah yang cukup luas dapat menghadapi banyak hambatan
dan kemungkinan penyimpangan.
Manajemen Pengembangan Kurikulum
Desentralistik
Dalam
manajemen kurikulum desentralistik, penyusunan desain, pelaksanaan, dan
pengendalian kurikulum (evaluasi dan penyempurnaan), dilakukan secara lokal
oleh satuan pendidikan (sekolah atau perguruan tinggi). Penyusunan desain
kurikulum dilakukan oleh guru-guru atau dosen, melibatkan ahli, komite
sekolah/madrasah dan pihak-pihak lain di masyarakat, yang memiliki keahlian, perhatian
dan kepedulian terhadap kurikulum. Pengembangan kurikulum demikian disebut
pengembangan kurikulum berbasis sekolah (School based curriculum developement atau
SBCD), yang dalam Permen Diknas no 24
tahun 2006 disebut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan atau KTSP.
Dalam
SBCD atau KTSP pengembangan kurikulum dapat mencakup seluruh komponen kurikulum
atau hanya sebagian komponen saja. Penyusunannya dapat dilakukan hanya oleh
seorang, sekelompok atau seluruh guru/dosen dan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan-program
satuan pendidikan dan sesuai dengan kondisi satuan pendidikan dan masyarakat
sekitarnya. KTSP merupakan pengembangan kurikulum yang berbeda dengan pengembangan
kurikulum birokratis (mengikuti gagasan, konsep pemegang kebijakan, hierarkis
dari SD sampai perguruan tinggi).
Dalam
pengembangan KTSP, desain kurikulum yang meliputi sasaran atau tujuan
kurikulum, materi atau isi kurikulum, model pembelajaran dan penilaian hasil
belajar disesuaikan dengan kebutuhan, tantangan, karakteristik, dan tahap perkembangan
sekolah dan masyarakat dimana sekolah berada. Kurikulum menjadi lebih bermakna,
karena bertolak dari situasi dan kondisi setempat dan diarahkan kepada
pemenuhan kebutuhan, tuntutan dan perkembangan setempat. Pengembangan kurikulum
oleh satuan pendidikan (KTSP) akan menghasilkan desain kurikulum yang beragam,
tetapi lebih mudah difahami, dikuasai dan dilaksanakan oleh guru/dosen, sebab
mereka sendiri yang mengembangkannya, minimal ikut serta dalam pengembangannya.
Pengembangan
kurikulum oleh satuan pendidikan memiliki beberapa kebaikan atau kelebihan dan
juga beberapa kelemahan dan kekurangan. Kebaikan atau kelebihannya adalah: 1)
kurikulumnya sesuai dengan kebutuhan, kondisi, karakteristik, dan perkembangan
satuan pendidikan dan masyarakat setempat, sehingga satuan pendidikan secara
langsung atau tidak langsung dapat membantu perkembangan masyarakat; 2) lebih
mudah dilaksanakan karena desain kurikulum disusun oleh guru-guru/dosen sendiri
dengan mempertimbangkan faktor-faktor pendukung pelaksanaannya yang ada di
sekolah/ perguruan tinggi dan masyarakat sekitar.
Pengembangan
kurikulum oleh satuan pendidikan juga memiliki beberapa kelemahan dan
kekurangan : 1) tidak semua guru/dosen memiliki keahlian atau kecakapan dalam
pengembangan kurikulum, atau tidak semua satuan pendidikan/daerah memiliki
guru/dosen atau orang yang ahli atau cakap dalam pengembangan kurikulum; 2)
kurikulum dapat bersifat lokal, lulusannya kurang memiliki kemampuan atau daya
saing secara nasional; 3) desain kurikulum sangat beragam, dapat menimbulkan
kesulitan dalam pengawasan dan evaluasi kurikulum dan evaluasi basil belajar
secara nasional; 4) kepindahan siswa dari satu sekolah atau daerah ke sekolah
atau daerah lain dapat menimbulkan kesulitan.
Pengembangan
kurikulum oleh satuan pendidikan memiliki beberapa variasi, Skilbeck (1984)
menggambarkan variasi tersebut dalam sebuah diagram yang menggambarkan
keterlibatan guru-guru dalam kegiatan pengembangan kurikulum.
Kreasi (Creation) Adaptation (Adaptation) Pemilihan
(Selection) |
|
2 |
1 |
||
|
|
4 |
3 |
||
|
|
|
|
Perorangan (Individual) Perorangan
dengan acuan (Individual in parameter Kelompok (Group) Seluruh Staf (Whole staff)
Bagan 1: Kemungkinan
variasi dari PKBS (sumber Skilbeck: 1984)
Kreasi (creation), kurikulum yang dikembangkan
merupakan desain kurikulum baru yang berbeda dari kurikulum yang ada. Adaptasi (adaptation),
kurikulum baru merupakan adaptasi atau modifikasi dari kurikulum
yang ada, sedang seleksi atau pemilihan (selection), kurikulum baru merupakan
basil pemilihan dari kurikulum kurikulum
yang ada di daerah atau sekolah lain, diambil tanpa perubahan atau penyesuaian
dengan kebutuhan dan kondisi setempat. Cara ini disebut juga adopsi (adoption) pengambilan sebagaimana
adanya.
Pada sisi keterlibatan staf atau
pelaksana kurikulum, penyusunan kurikulum bervariasi mulai dari melibatkan
seluruh staf atau pelaksana kurikulum di sekolah, kepada penyusunan kurikulum
oleh kelompok atau tim khusus, oleh individu (perorangan) dengan acuan atau
kriteria tertentu, sampai pada pilihan oleh individu tanpa acuan atau kriteria
sama sekali. Penyusunan kurikulum satuan pendidikan yang paling baik, adalah
yang bersifat kreasi dan melibatkan seluruh staf (pada diagram terletak pada
kotak kanan-atas atau kotak nomor 1), dan yang paling kurang baik adalah
pemilihan hanya oleh individu, kepala sekolah atau seorang guru (kotak sudut
kiri bawah). Meskipun demikian penyusunan kurikulum dengan model pada kotak 1,
2, 3, dan 4 masih dipandang dipandang cukup baik
3. Pengembangan KTSP
Penyusunan
KTSP
Dengan menggunakan acuan konsep yang
telah dikemukakan di atas, di mana posisi desentralisasi dari KTSP? Dalam KTSP
tidak semua komponen kurikulum dikembangkan oleh sekolah. Standar kompetensi
lulusan, standar kompetensi, kompetensi dasar, kerangka dasar dan struktur
kurikulum disusun secara terpusat oleh BSNP, penjabarannya dalam bentuk
silabus, program pembelajaran tahunan atau semester, satuan pelajaran atau
rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), rencana penilaian dan perangkat
kurikulum-pembelajaran lainnya dikembangkan oleh sekolah. Dengan demikian KTSP
tidak murni desentralisasi, tetapi masih ada unsur sentralisasinya, sehingga
dapat disebut sebagai pengembangan kurikulum sentral-desentral.
Dalam posisinya ke arah
desentralisasi, pengembangan kurikulum dalam KTSP masih berisi variasi
kemungkinan. Mengacu pada rincian yang dikemukakan oleh Skillbeck dapat
bergerak dari penyusunan desain kurikulum baru atau penyempurnaan desain
kurikulum yang ada atau memilih/mengadopsi desain kurikulum yang telah disusun
oleh satuan pendidikan lain; yang pengembangannya melibatkan seluruh
guru/dosen, atau kelompok guru/dosen, sampai dengan hanya oleh perorangan
dengan acuan atau tanpa acuan. Yang dipandang baik adalah pengembangan desain
baru, minimal penyempurnaan desain kurikulum yang ada, yang penyusunannya
melibatkan seluruh guru/ dosen, minimal sekelompok guru/dosen yang memiliki
keahlian atau pengetahuan clan kepedulian dalam pengembangan kurikulum.
Sebaiknya dihindari penyusunan
kurikulum yang hanya mengambil kurikulum yang ada yang telah disusun oleh
sekolah atau perguruan tinggi lain (Pilihan atau adopsi). Desain kurikulum yang
telah disusun oleh satuan pendidikan lain belum tentu cocok untuk
sekolah/perguruan tinggi kita, karena kondisi, kebutuhan, perkembangan peserta
didik, lembaga pendidikan dan masyarakatnya belum tentu sama. Dalam
penyusunannya juga sebaiknya dihindari yang hanya disusun oleh seseorang,
meskipun yang bersangkutan sangat ahli dalam pengembangan kurikulum.
Ada beberapa karakteristik utama dari
pengembangan kurikulum oleh satuan pendidikan, yaitu: 1) menekankan partisipasi
seluruh guru/dosen atau perwakilan guru/dosen secara proporsional, 2)
pengembangan seluruh komponen dan kegiatan kurikulum, 3) guru/dosen dan
pimpinan perlu terus meningkatkan kemampuannya, 4) harus selektif, adaptif dan
kreatif, 5) merupakan proses berkelanjutan dan dinamis, 6) berfokus pada
kebutuhan dan perkembangan siswalmahasiswa, 7) memperhatikan kondisi dan
perkembangan sosial-budaya masyarakat, 8) memperhatikan kondisi dan kebutuhan
faktor-faktor pendukung pelaksanaan.
Dalam karakteristik di atas
sebenarnya ada tiga hal yang mendapatkan perhatian utama dalam pengembangan
kurikulum oleh satuan pendidikan, yaitu kepentingan siswa atau mahasiswa,
kondisi satuan pendidikan dan masyarakat serta peranan para pengembang
kurikulum terutama guru atau dosen. Siswa atau mahasiswa mendapatkan perhatian
utama karena merekalah subyek dan sasaran pokok pendidikan. Semua upaya
pendidikan diarahkan pada pengembangan siswa atau mahasiswa secara optimal.
Pengembangan seluruh aspek kepribadiannya, balk aspek fisik-motorik,
intelektual, sosial maupun emosi.
Hal kedua yang mendapatkan perhatian
dalam pengembangan kurikulum oleh satuan pendidikan adalah pelaksana kurikulum
terutama guru atau dosen. Guru atau dosen memegang peranan kunci dalam
pengembangan kurikulum, balk dalam tahap penyusunan desain, implementasi,
maupun dalam pengendalian keurikulum. Sering dikatakan guru atau dosen adalah
ujung tombak pendidikan, yang menentukan keberhasilan atau kekurang berhasilan
pendidikan.
Dalam hubungan dengan pengembangan
kurikulum oleh satuan pendidikan, ada beberapa tuntutan terhadap guru atau
dosen: 1) Guru atau dosen bekerja dalam sistem sosial tertentu, dituntut
bekerja sesuai dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat; 2) Pendidikan bersifat
normatif, guru atau dosen dituntut untuk menjadi contoh-teladan, balk dalam
penguasaan ilmu dan teknologi maupun dalam kepribadian; 3) Guru atau dosen
bekerja dalam keterbatasan waktu, variasi kondisi siswalmahasiswa keragaman
tugas dan peran dalam pekerjaan, dia harus mampu mengelola din dan tugastugasnya;
4) Guru atau dosen dituntut terus meningkatkan diri sejalan dengan perkembangan
masyarakat, siswa/mahasiswa dan kelembagaan pendidikan.
Ketiga adalah kondisi
sekolah/perguruan tinggi dan masyarakat. Pengembangan kurikulum oleh satuan
pendidikan (KTSP) memiliki makna yang luas, sebab sekolah atau perguruan tinggi
di sini bukan berarti lingkungan sekolah/perguruan tinggi yang dibatasi oleh
pagar kampus. Sekolah/perguruan tinggi dalam konteks atau hubungan dengan
masyarakat sekitarnya, mungkin seluas desa atau kecamatan di mana sekolah itu
berada, tetapi dapat juga seluas kota atau kabupaten dan propinsi, bahkan untuk
perguruan tinggi dapat bersifat nasional atau internasional. Hal itu tergantung
pada luas cakupan asal siswa/mahasiswa, sebaran lulusan, dan keluasan kerjasama
antara sekolah/perguruan tinggi dengan lembaga-lembaga yang ada di masyarakat.
Sekolah atau perguruan inggi bukan
hanya penyampai ilmu dan teknologi, dan pengembang kepribadian siswa/mahasiswa
tetapi juga merupakan sistem sosial, yang kaya dengan interaksi sosial, balk
antara unsur di dalamnya maupun dengan sistem sosial lainnya. Brady (1990) mengemukakan beberapa karakteristik dari
sekolah sebagai sistem sosial.
1.
Saling
ketergantungan antar bagian,
2.
Populasinya
terumuskan dengan jelas,
3.
Ada keragaman karena latar belakang lingkungannya,
4.
Jaringan hubungan sosial yang kompleks,
5.
Tiap lembaga pendidikan memiliki keunikan budaya.
Secara berkala kurikulum perlu
dievaluasi dan disempurnakan, karena sebagai komponen utama dari pendidikan,
sebagai sistem sosial juga berinteraksi dengan sistem yang lainnya, dengan
lembaga pendidikan lain, lembaga pemerintahan, lembaga sosial, dunia pekerjaan,
serta sistem sosial-budaya. Baik pendidikan (dengan kurikulum di dalamnya),
maupun lembaga-lembaga lainnya selalu berada dalam perubahan dalam
perkembangan. Perubahan ini memiliki beberapa ciri: 1) Perubahan terjadi secara
kontinu dalam semua komponen, berjalan secara cepat maupun lambat; 2) Perubahan
dalam kelembagaan pendidikan terjadi karena perkembangan ilmu dan teknologi; 3)
Perubahan pada siswa terjadi karena perkembangan, kematangan dan belajar; 4)
Perubahan pada guru terjadi karena belajar-latihan dan pengalaman; 5) Semua
perubahan tersebut membutuhkan redesigning (dan reprograming), dalam pendidikan khususnya kurikulum.
Implementasi KTSP
Manajemen pengembangan kurikulum,
tidak hanya berkenaan dengan penyusunan desain atau rancangan kurikulum atau
kurikulum tertulis, tetapi juga dengan pelaksanaan atau implementasinya (curriculum implementation) dan
pengendaliannya (curriculum control). Kebaikan suatu kurikulum bukan hanya
terletak pada desainnya atau kurikulum tertulis, tetapi lebih banyak pada
implementasi atau pelaksanaannya. Apakah pelaksanaan kurikulum sudah sesuai
dengan desain atau rancangannya, makin sesuai pelaksanaan dengan rancangan makin
baik kurikulum, dan sudah tentu hasilnya jua akan semakin tinggi pula.
Dalam implementasi kurikulum ini
Snyder, Bolin, Zumalt (1992), membedakan tiga model implementasi yang terletak
dalam suatu garis kontinum. Pada ujung paling kiri terletak model implementasi Fidelity
(sepenuhnya sesuai), di
tengahnya model Mutual adaptive (penyesuaian
timbal balik) dan pada ujung paling kanan adalah Enactment
(inisiatif sendiri) .
Fidelity Mutual adaptif Enactment
Dalam model Fidelity,
implementasi
kurikulum harus persis sesuai dengan desain kurikulum. Desain kurikulumnya
bersifat standar, dokumen kurikulum lengkap, dan seluruh komponen kurikulum
telah dijabarkan secara rinci.
Mutual
adaptive, implementasi kurikulum memperhatian kondisi, situasi dan kebutuhan siswa
yang belajar saat itu. Desain kurikulumnya merupakan kurikulum inti, dalam
pelaksanaannya guru atau dosen mengadakan perubahan atau penyempurnaan sesuai
kondisi dan situasi sekolah dan kebutuhan perkembangan siswa/mahasiswa yang
belajar. Desain
kurikulum hanya berisi komponen-komponen pokok, sebagai kurikulum inti,
penjabarannya dilakukan oleh guru.
Model Enactment, guru memiliki otonomi untuk menyusun
dan mengimplementasikan kurikulum sesuai dengan kondisi dan kebutuhan setempat,
baik kondisi, kebutuhan, perkembangan siswa/mahasiswa maupun sekolah/perguruan dan
masyarakat sekitar ataupun tuntutan yang lebih luas.
Model fidelity biasanya diterapkan dalam kurikulum standar yang bersifat
nasional, tetapi dapat juga diterapkan dalam kurikulum satuan pendidikan, asal
desain kurikulum tersebut sudah standar, semua komponen kurikulumnya sudah
terumuskan secara rinci dengan indikator-indikator yang jelas. Para pelaksana
kurikulum, yaitu guru atau dosen tinggal melaksanakan sesuai dengan desain
tersebut. Penyusunan kurikulum standar pada tingkat satuan pendidikan di
Indonesia membutuhkan waktu, mengingat kondisi dan tahap perkembangan satuan
pendidikan yang ada saat ini sangat beragam.
Mengingat hal itu, model implementasi
kurikulum yang mungkin lebih banyak dapat digunakan dalam pelaksanaan KTSP
adalah model mutual adaptif dan/atau Enactment. Guru atau dosen dalam mengimplementasikan desain
kurikulum yang telah mereka susun dapat mengadakan penyesuaian-penyesuaian sesuai
kondisi, kebutuhan dan perkembangan siswa/mahasiswa, lembaga pendidikan dan
masyarakat, tetapi tetap dengan sasaran perkembangan siswa/mahasiswa secara
optimal. Dalam implementasi yang bersifat mutual
adaptif dan enactment tersebut,
upaya ke arah pengembangan desain kurikulum yang bersifat standar, perlu terus
dilakukan.
4. Kurikulum Standar
Dengan diundangkannya PP no 19 tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Indonesia akan memasuki babak baru
pengembangan pendidikan standar. Pendidikan ini diarahkan pada pencapaian atau
penguasaan mutu pendidikan tingkat tinggi, taraf nasional bahkan internasional.
Pengembangan pendidikan ini sepertinya
mengabaikan keragaman kondisi daerah dan kemampuan siswa. Pada negara-negara
yang telah menerapkan pendidikan standar, keragaman tersebut diakui adanya,
tetapi tidak menjadi penghalang untuk dilaksanakan Pendidikan
standar atau "Standards-based
education (SBE). Menurut Parkay” SBE is
based on the belief that all students are capable of meeting high
standards" (Parkay, FW. et all (2006: 223).
Mulai tahun 1990 Amerika Serikat menerapkan pendidikan berbasis standar. Berkenaan
dengan penerapan pendidikan ini di Amerika Serikat lebh lanjut Parkay et all,
menjelaskan " In the past, expectations
for students from poor families and students who are member of minority groups
are sometimes lower than for other students. Todays, SBE is seen as a way of
ensuring that excellence and equity become part of our nation's public school
system" (2006: 224). Walaupun dalam kondisi dan tahap perkembangan masyarakat
yang berbeda, dengan kesungguhan dan kerja keras, secara berangsur pendidikan
standar diharapkan dapat diterapkan di Indonesia.
Dalam PP 19 tahun 2005 dinyatakan
ada delapan standar nasional pendidikan, yaitu, standar: isi, proses,
kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana,
pengelolaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan. Kurikulum secara operasional
berkenaan dengan seluruh komponen pendidikan yang distandarkan, tetapi dalam
desainnya terutama berkenaan dengan komponen: kemampuan lulusan, isi, proses,
dan penilaian hasil pembelajaran.
Banyak pandangan tentang kurikulum standar, secara
konseptual para ahli (Parkay, et all; Marsh, CJ; Marzano & Kendall; etc.)
membedakan antara standar isi (content
standards) dan standar performansi (performance
standards). Standar isi berkenaan dengan pengetahuan dan keterampilan yang
harus dikuasai siswa dalam berbagai mata pelajaran, " what students should know and be able to do". Standar
performansi menunjukkan tingkat penguasaan siswa dalam standar isi, " how good is is good enough" (Parkay,
2006: 225). Kedunya tidak dapat dipisahkan, dan standarnya sendiri
sebenarnya terletak dalam tingkat performansinya, inilah yang menentukan apakah
standar tersebut standar local, nasional atau internasional.
Dalam KTSP standar isi sudah
ditentukan dan dirumuskan dalam Standar kompetensi lulusan, Standar kompetensi
dan Kompetensi dasar tiap mata pelajaran, dan ini merupakan standar kompetensi nasional
minimal. Dengan demikian satuan pendidikan dapat menambahnya. Mengenai standar
performansinya tidak dinyatakan dalam ketentuanketentuan KTSP, hal itu berarti
sekolah atau daerah dapat menentukan sendiri.
Pengembangan pendidikan standar
diarahkan pada realisasi pendidikan secara profesional. Hal itu sudah dimulai
dengan pengembangan profesi guru dan dosen menuju terwujudnya guru dan dosen
profesional (UU nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen). Pendidikan yang
dilaksanakan secara profesional, oleh guru-guru dan dosen profesional, akan
melahirkan lulusan yang menguasai isi dan performansi standar dan profesional
pula.
Dalam KTSP, untuk satuan pendidikan
dasar dan menengah mata-mata pelajaran dikelompokkan atas: Agama dan akhlak
mulia, Kewarganegaraan dan akhlak kepribadian, Ilmu pengetahuan dan teknologi,
Estetika, Jasmani olah raga dan kesehatan. Penguasaan isi dan performansi
secara standar dalam bidang atau kelompok mata pelajaran Agama dan akhlak
mulia, Kewarganegaraan dan akhlak kepribadian, Estetika, dan Jasmani, olah raga
dan kesehatan mengarah pada pengembangan lulusan yang memiliki integritas kepribadian dan komitmen nilai
yang tinggi. Penguasaan isi dan performansi secara standar dalam kelompok
mata pelajaran Ilmu pengetahuan dan teknologi mengarah pada pengembangan
lulusan yang memiliki keunggulan di
bidang ilmu dan teknologi dan daya saing yang tinggi.
Keduanya menjadi landasan dalam
pengembangan profesionalisme, sebab profesionalisme didasari oleh penguasaan
pengetahuan dan kemampuan secara standar (keunggulan dan daya saing), dan
berkinerja secara standar (integritas kepribadian dan komitmen pada nilai).
Keduanya berkembang dan dikembangkan melalui pendidikan, latihan, pengalaman
sebelumnya, pembinaan dan penciptaan iklim kerja dalam lingkungan kerja saat ini.
5. Konsep dan Model-Model Kurikulum
Pengembangan kurikulum, selain
berkenaan dengan pengelolaan pengembangan, juga berkenaan dengan konsep dan
model-model kurikulum yang dikembangkannya. Pada tahun 2004 uji coba
pengembangan kurikulum difokuskan pada model kurikulum kompetensi, yang dikenal
dengan nama Kurikulum Berbasis Kompetensi atau KBK. Apakah dalam KTSP masih
digunakan model KBK? Bila digunakan apakah hanya menggunakan model KBK saja,
atau juga model-model kurikulum yang lain?
Kalau melihat rumusan
kemampuan-kemampuan yang dituntut baik untuk kemampuan lulusan maupun dalam
penguasaan mata pelajaran, menggunakan kata kompetensi, maka model KBK masih digunakan. Apakah hanya
model KBK atau juga dapat menggunakan model-model yang lain. Jawabannya ya,
sebab dalam Penmen Diknas 22, 23 dan 24 tahun 2006 tidak ada ketentuan yang
melarang atau mengharuskan menggunakan model kurikulum tertentu. Dalam
pengembangan KTSP boleh menggunakan model-model kurikulum yang lain.
Mengenai model-model kurikulum ini minimal ada empat
model kurikulum yang banyak diacu dalam pengembangan kurikulum yaitu model
kurikulum: Subyek Akademik, Humanistik, Rekonstruksi Sosial, dan Kompetensi.
Berbicara tentang model kurikulum sebenaranya harus hati-hati, sebab banyak
jenis model di dalam kurikulum, ada model konsep, model pengembangan, model
desain, model implementasi, model evaluasi, model pembelajaran, model
pengelolaan, dll.
Keempat model yang akan dijelaskan termasuk model konsep,
banyak terkait dengan teori yang mendasarinya. Masing-masing model tersebut
sejalan dengan teori yang mendasarinya bertolak dari asumsi atau keyakinan
dasar yang berbeda, sehingga menimbulkan pandangan yang berbeda pula tentang
kedudukan dan peranan pendidik, peserta didik, isi maupun proses pendidikan.
Keempat model kurikulum tersebut memiliki acuan teori atau konsep pendidikan
yang berbeda, kurikulum Subyek Akademik banyak mengacu pada pendidikan Klasik
yaitu Perenialisme dan Esensialisme, kurikulum Humanistik pada Pendidikan Pribadi,
kurikulum Rekontruksi Sosial pada Pendidikan Interaksional, dan kurikulum
Kompetensi pada Teknologi Pendidikan.
Kurikulum
Subyek Akademik
Kurikulum subyek akademik, merupakan model konsep
kurikulum yang paling tua, sejak sekolah yang pertama dulu berdiri,
kurikulumnya boleh dikatakan mirip dengan model ini. Sampai sekarang, walaupun
telah berkembang model-model lain, tetapi kebanyakan sekolah tidak dapat
melepaskan diri dari model ini. Mengapa demikian? Kurikulum ini menekankan isi
atau materi pelajaran yang bersumber dari disiplin ilmu. Penyusunannya relatif
mudah, praktis, dan mudah digabungkan dengan model yang lain.
Kurikulum Subyek Akademis bersumber dari Pendidikan
Klasik, Perenialisme dan Esensialisme, berorientasi kepada
masa lalu. Semua ilmu pengetahuan
dan nilai-nilai telah ditemukan oleh para pemikir masa lalu. Fungsi pendidikan
adalah memelihara dan mewariskan ilmu pengetahuan, teknologi dan nilai-nilai
budaya masa lalu tersebut kepada generasi baru.
Kurikulum ini lebih mengutamakan isi pendidikan. Belajar
adalah berusaha menguasai isi atau mated pelajaran sebanyak-banyaknya. Orang
yang berhasil dalam belajar adalah orang yang menguasai seluruh atau sebagian
terbesar dari isi pendidikan yang diberikan atau disiapkan oleh guru. Isi
pendidikan diambil dari disiplin-disiplin ilmu. Pelajaran IPS diambil dari
disiplin Ilmu Sosial, IPA diambil dari disiplin Ilmu Kealaman, dsb. Para ahli sesuai dengan bidang disiplinnya masing-masing
telah mengembangkan ilmu-ilmu tersebut secara sistematis, logis dan solid.
Para pengembang kurikulum tidak perlu susah-susah
menyusun dan mengembangkan bahan sendiri. Mereka tinggal memilih bahan-bahan
materi ilmu yang telah dikembangkan oleh para ahli disiplin ilmu, kemudian
mereorganisasinya secara sistematis, sesuai dengan tujuan pendidikan dan tahap
perkembangan siswa yang akan mempelajarinya.
Guru atau dosen sebagai penyampai bahan ajaran memegang
peranan penting. Mereka harus menguasai semua pengetahuan yang menjadi isi kurikulum.
Mereka harus menjadi
ahli atau ekspert dalam bidang-bidang studi yang diajarkannya di sekolah. Lebih
jauh guru atau dosen dituntut bukan saja menguasai materi pembelajaran, tetapi
ia juga menjadi model bagi para siswa atau mahasiswanya. Apa yang disampaikan
dan cara penyampaiannya harus menjadi bagian dari pribadi guru/dosen.
Ungkapan guru adalah yang "digugu dan ditiru"
(diikuti dan dicontoh) sesuai dengan konsep ini. Karena kurikulum sangat
mengutamakan pengetahuan maka pendidikannya menjadi lebih bersifat intelektual.
Nama-nama mata pelajaran yang menjadi isi kurikulum hampir sama dengan nama
disiplin ilmu, seperti : matematika, bahasa dan sastra, ilmu pengetahuan
sosial, ilmu pengetahuan alam, sejarah, geografi, biologi, fisika, dan
sebagainya.
Kurikulum Subyek Akademis tidak berarti terus tetap hanya
menekankan pada materi yang disampaikan, dalam sejarah perkembangannya secara
berangsur memperhatikan juga proses belajar yang dilakukan siswa. Proses
belajar yang dipilih sangat tergantung pada segi apa yang dipentingkan dalam
materi pelajaran tersebut. Jerome Bruner dalam bukunya "The Process of Education
", menyarankan bahwa disain kurikulum hendaknya didasarkan atas
struktur dari disiplin ilmu. Selanjutnya ia menegaskan
bahwa kurikulum suatu mata pelajaran harus didasarkan atas pemahaman yang
mendasar yang dapat diperoleh dari prinsip-prinsip yang mendasarinya yang
memberi struktur kepada suatu disiplin ilmu.
Beberapa kegiatan belajar memberi
kemungkinan untuk mengadakan generalisasi, suatu pengetahuan dapat digunakan
dalam konteks yang lain daripada hanya sekedar yang dipelajarinya, dapat
merangsang ingatan apabila siswa diminta untuk menghubungkannya dengan masalah
lain. Seorang siswa yang belajar fisika umpamanya, ia harus melakukan kegiatan
belajar sebagaimana seorang ahli fisika melakukannya. Hal seperti itu akan
dapat mempermudah proses belajar fisika bagi siswa.
Penekanan pada segi intelektual ini
dianut oleh hampir seluruh proyek pengembangan kurikulum pada tahun 1960-an di
sekolah-sekolah negara bagian Amerika Serikat. Para pengembang kurikulum pada
masa itu, adalah para ahli mata pelajaran yang menyusun bahan ajaran di sekitar
unsur-unsur struktural mendasar dari disiplin ilmunya, menyangkut problema,
konsep-konsep inti, prinsip-prinsip dan cara-cara bagaimana berinkuiri.
Salah satu contoh dari kurikulum
yang didasarkan atas struktur pengetahuan adalah Man: A Course
of Study (MACOS). MACOS adalah suatu kurikulum untuk sekolah dasar, terdiri atas buku-buku,
film, poster, rekaman, permainan dan perlengkapan kelas lainnya. Kurikulum ini
ditujukan untuk mengadakan penyempurnaan dalam pembelajaran ilmu sosial dan
humanitas, dengan pengarahan dan bimbingan dari Bruner. Para pengembang
kurikulum mengharapkan para siswa dapat menggali faktor-faktor penting yang
akan menjadikan manusia sebagai manusia. Melalui perbandingan dengan binatang,
anak mengetahui keadaan biologis dari manusia. Dengan membandingkan manusia dan
suatu masyarakat dengan masyarkat lainnya, anak-anak akan mempelajari
aspek-aspek universal dari kebudyaan manusia.
Sasaran utama dari kurikulum model
MACOS adalah perkembangan kemampuan intelektual, yaitu membangkitkan
penghargaan dan keyakinan akan kemampuan sendiri dan memberikan serangkaian
cara-cara kerja yang memungkinkan anak walaupun dengan cara sederhana mampu
menganalisis kehidupan sosial. Melalui serangkaian kegiatan ilmiah seperti
observasi, percobaan, penyusunan dan pengujian hipotesis, pemahaman disiplin
ilmu-ilmu sosial, kegiatan diskaveri dsb, diharapkan anak dapat menga,mbil
banyak manfaat. Pada tahun 1970-an pendekatan struktur pengetahuan dalam
pengembangan kurikulum ini mengalami kemunduran, sebab para ahli lebih tertarik
pada pemecahan masalah-masalah kemanusiaan.
Sekurang-kurangnya ada tiga
pendekatan dalam perkembangan dari Kurikulum Subyek Akademis. Pendekatan
pertama, melanjutkan pendekatan struktur pengetahuan. Para siswa belajar
bagaimana memperoleh dan menguji fakta-fakta dan bukan hanya sekedar
mengingat-ingafiya. Pendekatan kedua, adalah studi yang bersifat integratif. Pendekatan
ini merupakan respon terhadap perkembangan masyarakat yang menuntut model-model
pengetahuan yang lebih bersifat komprehensif-terpadu. Pelajaran tersusun atas
satuan-satuan pelajaran, dalam satuan-satuan pelajaran tersebut batas-batas
ilmu menjadi hilang. Pengorganisasian tema-tema pembelajaran didasarkan atas
fenomena-fenomena alam, proses kerja ilmiah dan problema-problema yang ada. Mereka
mengembangkan suatu model kurikulum yang
terintegrasi (integrated
curriculum).
Ada beberapa ciri dari model
kurikulum terintegrasi.
1)
Penentuan
tema-tema yang membentuk satu kesatuan (unifying theme). Unifying theme dapat terdiri atas ide atau konsep besar
yang dapat mencakup semua ilmu atau suatu proses kerja ilmu, fenomena alam,
atau masalah sosial yang membutuhkan pemecahan secara ilmiah.
2)
Menyatukan
kegiatan belajar dari beberapa macam disiplin ilmu. Kegiatan belajar melibatkan
isi dan proses dari satu atau beberapa ilmu sosial atau prilaku yang mempunyai
hubungan dengan tema yang dipilih/dikerjakan.
3)
Menyatukan
berbagai cara/metoda belajar. Kegiatan belajar ditekankan pada pengalaman kongkrit
yang bertolak dari minat dan kebutuhan siswa serta disesuaikan dengan keadaan
setempat.
Pendekatan ketiga, adalah pendekatan
yang dilaksanakan pada sekolah-sekolah fundamentalis. Mereka tetap mengajar
berdasarkan mata-mata pelajaran dengan tekanan kepada membaca, menulis dan
memecahkan masalah-masalah matematis. Pelajaran pelajaran lain seperti ilmu
kealaman, ilmu sosial dll, dipelajari tanpa dihubungkan dengan kebutuhan praktis
pemecahan masalah dalam kehidupan.
Kurikulum Humanistik
Model Kurikulum Humanistik
menekankan pengembangan kepribadian siswa secara utuh dan seimbang, antara
perkembangan segi intelektual, afektif dengan psikomotor. Kurikulum Humanistik
menekankan pengembangan potensi dan kemampuan dengan memperhatikan minat dan
kebutuhan siswa. Pembelajarannya berpusat pada siswa, student centered atau student
based teaching, siswa menjadi subyek dan pusat kegiatan. Pembelajaran
segi-segi sosial, moral dan afektif mendapat perhatian utama dalam model
kurikulum ini. Model kurikulum ini berkembang dan digunakan dalam pendidikan
pribadi.
Kurikulum humanistik dikembangkan
oleh para ahli pendidikan humanistik, didasari oleh konsep-konsep pendidikan
pribadi (Personalized Education)
yaitu John Dewey (Progressive Education) dan J.J. Rousseau (Romantic
Education). Konsep ini
lebih memberikan tempat utama kepada siswa. Mereka bertolak dari asumsi bahwa
anak atau siswa adalah yang pertama dan utama dalam pendidikan.
I adalah
subyek yang menjadi pusat kegiatan pendidikan. Mereka percaya bahwa siswa
mempunyai potensi-potensi, punya kemampuan dan kekuatan untuk berkembang
sendiri. Para pendidik Humanis juga berpegang kepada konsep Gestalt, bahwa individu
atau anak merupakan satu kesatuan yang menyeluruh. Pendidikan diarahkan kepada
membina manusia yang utuh bukan saja segi fisik dan intelektual tetapi juga
segi sosial dan afektif: emosi, sikap, perasaan, minat, nilai dan lain-lain).
Pandangan mereka berkembang sebagai
reaksi terhadap pendidikan yang lebih menekankan segi intelektual dengan peran
utama dipegang oleh guru. Pendidikan humanistik menekankan peranan siswa.
Pendidikan merupakan suatu upaya untuk menciptakan situasi yang permisif,
rileks, akrab. Berkat situasi tersebut anak mengembangkan segala potensi yang
dimilikinya. Menurut Mc Neil "The new humanists are self actualizers
who see curriculum as a liberating process that can meet the need for growth
and personal integrity (John D.Mc Neil, 1977, h.1). Tugas guru adalah menciptakan situasi yang permisif dan mendorong siswa
untuk mencari dan mengembangkan pemecahan sendiri.
Pendidikan lebih menekankan pada bagaimana membelajarksn
siswa (mendorong siswa), bagaimana merasakan atau bersikap terhadap sesuatu.
Tujuan pembelajaran adalah memperluas kesadaran diri sendiri dan mengurangi
kerenggangan dan keterasingan dari lingkungan. Ada beberapa aliran yang termasuk
dalam pendidikan Humanistik yaitu pendidikan: Konfluen, Kritikisme
Radikal dan Mistikisme modern.
Pendidikan Konfluen menekankan
keutuhan pribadi, individu harus merespon secara utuh (baik segi pikiran,
perasaan maupun tindakan), terhadap kesatuan yang menyeluruh dari lingkungan.
Kritikisme
Radikal
bersumber dari aliran Naturalisme atau Romantisme Rousseau. Mereka memandang
pendidikan sebagai upaya untuk membantu anak menemukan dan mengembangkan
sendiri segala potensi yang dimilikinya. Pendidikan merupakan upaya untuk
menciptakan situasi yang memungkinkan siswa berkembang optimal. Pendidik adalah
ibarat petani yang berusaha memilih tanah yang gembur, mengusahakan air dart
udara yang cukup, terhindar dari berbagai hama, untuk tumbuhnya tanaman yang
penuh dengan berbagai potensi. Dalam pendidikan tidak ada pemaksaan, yang ada
adalah dorongan dan rangsangan untuk berkembang.
Mistisisme
modern adalah
atiran-aliran yang menekankan latihan dan pengembangan kepekaan perasaan,
kehalusan budi pekerti, melalui latihan sensitivitas (sensitivity training), yoga,
meditasi dan sebagainya.
Kurikulum Rekonstruksi Sosial
Kurikulum rekonstruksi sosial berbeda
dengan model-model kurikulum lainnya, lebih memusatkan perhatiannya pada
problema-problema yang dihadapi dalam masyarakat. Kurikulum ini bersumber pada
aliran pendidikan Interaksional. Menurut mereka pendidikan bukanlah merupakan
upaya sendiri, tetapi merupakan kegiatan bersama, interaksi, kerjasama.
Kerjasama atau interaksi bukan hanya terjadi antara siswa dengan guru, tetapi
juga antara siswa dengan siswa, siswa dengan orang-orang di lingkungannya dan
dengan sumber-sumber belajar lainnya. Melalui interaksi dan kerjasama ini siswa berusaha memecahkan problema-problema
yang dihadapinya dalam masyarakat menuju pembentukan masyarakat yang lebih
balk.
Pandangan rekonstruksi sosial di dalam kurikulum dimulai
sekitar tahun 1920-an. Harold Rug mulai melihat dan menyadarkan kawan-kawannya
bahwa selama ini terjadi kesenjangan antara kurikulum dengan masyarakat.la menginginkan para siswa dengan pengetahuan dan
konsep-konsep baru yang diperolehnya dapat mengidentifikasi dan memcahkan
masalah-masalah sosial. Setelah diharapkan dapat menciptakan masyarakat baru
yang lebih stabil.
Theodore Brameld, pada awal tahun 1950-an mengemukakan
gagasannya tentang rekonstruksi sosial. Di dalam masyarakat demokratis, seluruh
warga masyarakat harus turut serta dalam perkembangan dart pembaharuan
masyarakat. Untuk melaksanakan hal itu sekolah mempunyai posisi yang cukup
penting. Sekolah bukan saja dapat membantu individu memperkembangkan kemampuan
sosialnya, tetapi juga dapat membantu bagaimana berpartisipasi sebaik-baiknya
dalam kegiatan sosial.
Para Rekonstruksionis Sosial tidak mau terlalu
menekankan kebebasan individu. Mereka ingin meyakinkan para siswa bagaimana
masyarakat telah membuat warganya seperti adanya sekarang dan bagaimana
masyarakat memenuhi kebutuhan pribadi warganya melalui konsensus sosial.
Brameld juga ingin memberikan keyakinan tentang pentingnya perubahan sosial.
Perubahan sosial tersebut harus dicapai melalui prosedur demokrasi. Para
rekonstruksi sosial menentang intimidasi, menakut-nakuti dan kompromi semu.
Mereka mendorong agar para siswa mempunyai pengetahuan yang cukup tentang
masalah-masalah sosial yang mendesak (crucial) dan kerjasama atau bergotong
royong untuk memecahkannya.
Kurikulum Rekonstruksi Sosial memiliki desain
kurikulum yang berbeda dengan model kurikulum lain. Beberapa
ciri dari disain kurikulum ini.
1) Asumsi.
Tujuan utama dari kurikulum rekonstruksi sosial adalah menghadapkan para siswa
pada tantangan, ancaman, hambatan-hambatan atau gangguan-gangguan yang dihadapi
manusia. Tantangan-tantangan tersebut bukan sesuatu yang terlepas dari
kurikulum, tetapi merupakan bidang garapan dari studi sosial yang perlu
didekati dari bidang-bidang lain seperti ekonomi, sosiologi psikologi,
estetika, bahkan pengetahuan alam dan
matematika. Masalah-masalah masyarakat bersifat universal clan hal ini dapat
dikaji dalam kurikulum.
2)
Masalah-masalah sosial yang mendesak. Kegiatan belajar
dipusatkan pada masalahmasalah sosial yang mendesak. Masalah-masalah tersebut
dirumuskan dalam pertanyaan, seperti: Dapatkah kehidupan seperti sekarang ini
memberikan kekuatan untuk menghadapi ancaman-ancaman yang akan mengganggu
integritas kemanusiaan? Dapatkah tata ekonomi dan politik yang ada dibangun kembali
agar setiap orang dapat memanfaatkan sumber-sumber daya alam dan sumber daya
manusia seadil mungkin. Pertanyaan-pertanyaan tersebut mengundang pengungkapan
lebih mendalam, bukan saja dari buku-buku dan kegiatan laboratorium tetapi juga
clan hidupan nyata dalam masyarakat.
3)
Pola-pola organisasi. Pada tingkat sekolah menengah, pola
organisasi kurikulum disusun seperti sebuah roda. Di tengah-tengahnya sebagai
poros dipilih sesuatu masalah yang menjadi tema utama dan dibahas secara pleno
(klasikal). Dan' terna utama dijabarkan sejumlah topik yang dibahas dalam
diskusi-diskusi kelompok, latihan-latihan, kunjungan dll. Topik-topik dengan
berbagai kegiatan kelompok ini merupakan jari jari. Semua kegiatan jari jari
tersebut dirangkumkan menjadi satu kesatuan sebagai bingkai atau velk.
22
Bagan 1: Pola disain kurikulum rekonstruksi sosial
Kurikulum Rekonstruksi Sosial
memiliki komponen-komponen yang sama dengan model kurikulum lain tetapi isi dan
bentuk-bentuknya berbeda.
1)
Tujuan dan isi kurikulum. Setiap tahun program pendidikan
mempunyai tujuan yang berbeda. Dalam program pendidikan ekonomi-politik,
umpamanya untuk tahun pertama tujuannya membangun kembali dunia
ekonomi-politik. Kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut adalah
(1) mengadakan survai kritis terhadap masyarakat (2) mengadakan studi tentang
hubungan antara keadaan ekonomi lokal dengan ekonomi nasional dan dunia, (3)
mengadakan studi tentang latar belakang historis dan
kecenderungan-kecenderungan perkembangan ekonomi, hubungannya dengan ekonomi
lokal, (4) mengkaji praktek politik dalam hubungannya dengan faktor ekonomi,
(5) memantapkan rencana perubahan praktek politik, (6) mengevaluasi semua
rencana dengan kriteria apakah telah memenuhi kepentingan sebagian terbesar
orang.
2)
Metoda. Dalam pembelajaran Rekonstruksi Sosial para
pengembang kurikulum berusaha mencari keselarasan antara tujuan-tujuan nasional
dengan tujuan siswa. Guruguru berusaha membantu para siswa menemukan minat dan
kebutuhannya. Para siswa sesuai dengan minatnya masing-masing, balk dalam
kegiatan pleno maupun kelompokkelompok berusaha memecahkan masalah sosial yang
dihadapinya. Kedasama balk antara individu dalam kegiatan kelompok, maupun
antar kelompok dalam kegiatan pleno sangat mewarnai metoda rekonstruksi sosial.
Kerjasama ini juga terjadi antara para siswa dengan manusia sumber dari
masyarakat. Bagi rekonstruksi sosial, belajar merupakan kegiatan bersama, ada
ketergantungan antara seorang dengan yang lainnya. Dalam kegiatan belajar
mereka tidak ada kompetisi yang ada adalah kooperasi atau kerjasama, saling
pengertian dan konsensus. Anak-anak sejak sekolah dasarpun diharuskan turut
serta dalam survai kemasyarakatan aserta kegiatan-kegiatan sosial lainnya.
Untuk kelas-kelas tertinggi selain mereka dihadapkan kepada situasi nyata juga
mereka diperkenalkan dengan situasi-situasi ideal. Dengan hal itu diharapkan
para siswa dapat menciptakan model-model kasar dari situasi yang akan datang.
3)
Evaluasi. Dalam kegiatan evaluasi para siswa juga
dipartisipasikan. Partisipasi mereka terutama dalam memilih, menyusun, dan
menilai bahan yang akan diujikan. Soal-soal yang akan diujikan dinilai lebih
dulu balk ketepatan maupun keluasan isinya, juga keampuhannya menilai
pencapaian tujuan-tujuan pembangunan masyarakat yang sifatnya kualitatif.
Evaluasi tidak hanya menilai apa yang telah dikuasai siswa, tetapi juga menilai
pengaruh dari kegiatan sekolah terhadap masyarakat. Pengaruh tersebut terutama
menyangkut perkembangan masyarakat dan peningkatan taraf kehidupan masyarakat.
Kurikulum Kompetensi
Abad dua puluh ditandai oleh
perkembangan teknologi yang sangat pesat. Perkembangan teknologi mempengaruhi
setiap bidang dan aspek kehidupan, termasuk bidang pendidikan. Sejak dahulu
teknologi telah diterapkan dalam pendidikan, tetapi yang digunakan adalah
teknologi sederhana seperti penggunaan papan tulis dan kapur, pena dan tinta,
sabak dan grip dll. Dewasa ini sesuai dengan tahap perkembangannya yang
digunakan adalah teknologi maju, seperti audio dan video casssette, overhead
projector, film slide dan motion film, mesin pembelajaran, Komputer, CD-rom dan
internet.
Sejalan dengan perkembangan ilmu dan
teknologi, di bidang pendidikan berkembang pula teknologi pendidikan. Aliran
ini ada persamaannya dengan pendidikan klasik, yaitu menekankan isi kurikulum,
tetapi diarahkan bukan pada pemeliharaan dan pengawetan ilmu tersebut tetapi
pada penguasaan kemampuan atau kompetensi. Suatu kompetensi yang besar
diuraikan menjadi kompetensi yang lebih sempitlkhsusus dan akhirnya menjadi perilaku
atau kegiatan (performance) yang dapat diamati
atau diukur. Penerapan teknologi dalam bidang pendidikan khususnya kurikulum
adalah dalam dua bentuk, yaitu bentuk perangkat lunak (software) dan perangkat keras (hardware). Penerapan teknologi perangkat keras dalam
pendidikan dikenal sebagai teknologi alat (tools technology), sedang penerapan teknologi perangkat lunak disebut
juga teknologi sistem (system technology).
Teknologi pendidikan dalam arti
teknologi alat, lebih menekankan kepada penggunaan alat-alat teknologis untuk
menunjang efisiensi dan efektivitas pendidikan. Di dalam kurikulumnya berisi rancangan atau desain kurikulum
yang ditunjang oleh penggunaan media atau alat bantuan pembelajaran. Dalam arti
teknologi sistem, teknologi pendidikan menekankan kepada penyusunan program
pengajaran atau rencana pembelajaran dengan menggunakan pendekatan sistem.
Program pembelajaran ini bisa semata-mata program sistem, bisa program sistem
yang ditunjang dengan alat dan media, dan bisa juga program sistem yang
dipadukan dengan alat dan media pembelajaran.
Pada bentuk pertama, pembelajaran tidak membutuhkan alat
dan media yang canggih, tetapi bahan ajaran dan proses pembelajaran disusun
secara sistem dalam bentuk satuan pelajaran (lesson unit). Alat
dan media digunakan sesuai dengan kondisi tetapi tidak terlalu dipentingkan.
Pada bentuk kedua, pembelajaran disusun secara sistem dan
ditunjang dengan penggunaan alat dan media pembelajaran. Penggunaan alat dan
media belum terintegrasi dengan program pembelajaran, bersifat "on-off”,
yaitu bila digunakan alat dan media akan lebih baik, tetapi bila tidak
menggunakan alatpun pembelajaran masih tetap berjalan.
Pada bentuk ketiga program pembelajaran telah disusun
secara terpadu antara bahan dan kegiatan pembelajaran dengan alat dan media.
Bahan ajaran telah disusun dalam kaset audio, video atau film, atau
diprogramkan dalam komputer. Pembelajaran tidak bisa berjalan tanpa melibatkan
penggunaan alat-alat dan program tersebut. Contoh-cntoh dari model desain
pembelajaran tersebut adalah: pembelajaran berprogram, pembelajaran dengan
menggunakan video, audio, film, pembelajaran dengan bantuan komputer (compter aided instruction atau CAI),
belajar dengan bantuan computer (computer aided learning atau CAL),
pembelajaran modul, pembelajaran melalui internet (e-learning atau web site
learning), dll.
Ada beberapa ciri dari kurikulum kompetensi yang
dikembangkan dari konsep teknologi pendidikan.
1)
Tujuan.
Tujuan diarahkan pada penguasaan kemampuan akademik, kemampuan vokasional atau
kemampuan pribadi yang dirumuskan dalam bentuk kompetensi. Tujuan-tujuan yang
bersifat umum yaitu standar kompetensi dirinci menjadi tujuantujuan yang lebih
khusus (kompetensi dasar), yang kemudian dijabarkan lagi menjadi perilaku yang
dapat diukut atau performansi (indikator).
2)
Metoda. Metoda yang merupakan kegiatan pembelajaran
sering dipandang sebagai proses mereaksi terhadap perangsang-perangsang yang
diberikan dan apabila terjadi respons yang diharapkan maka respons tersebut
diperkuat. Tujuan-tujuan pengajaran telah ditentukan sebelumnya. Pembelajaran
dalam konsep awalnya bersifat individual, tiap siswa menghadapi serentetan
tugas yang harus dikerjakannya, dan maju sesuai dengan kecepatan masing-masing.
Pada saat tertentu ada tugas-tugas yang harus dikerjakan secara kelompok.
Setiap siswa harus menguasai secara tuntas tujuan-tujuan dari program
pengajaran (pembelajaran tuntas).
Pelaksanaan pembelajaran mengikuti
langkah-langkah sebagai berikut.
a.
Penegasan tujuan. Para siswa diberi penjelasan tentang
pentingnya bahan yang harus dipelajari. Sebagai tanda menguasai bahan mereka
harus menguasai secara tuntas tujuan-tujuan dari suatu program.
b.
Pelaksanaan pembelajaran. Para siswa belajar secara
individual melalui media buku-buku ataupun media elektronik. Dalam kegiatan
belajarnya mereka dapat menguasai keterampilan-keterampilan dasar ataupun
perilaku-perilaku yang dinyatakan dalam tujuan program. Mereka belajar dengan
cara memberikan respons secara cepat terhadap persoalan-persoalan yang
diberikan.
c.
Pengetahuan tentang hasil. Kemajuan siswa dapat segera
diketahui oleh siswa sendiri, sebab dalam model kurikulum ini umpan balik
selalu diberikan. Para siswa dapat segera mengetahui apa yang telah mereka
kuasai dan apa yang masih harus dipelajari lebih serius.
3)
Organisasi bahan ajaran. Bahan ajaran atau isi kurikulum
banyak diambil dari disiplin ilmu, tetapi telah diramu sedemikian rupa sehingga
mendukung penguasaan sesuatu
kompetensi. Bahan ajaran atau
kompetensi yang luas/besar dirinci menjadi bagianbagian atau sub kompetensi
yang lebih kecil, yang menggambarkan obyektif. Urutan dari obyektif-obyektif ini pada dasarnya menjadi
inti dari organisasi bahan.
4)
Evaluasi. Kegiatan evaluasi dilakukan pada setiap saat,
pada akhir suatu pelajaran, suatu unit ataupun semester. Fungsi evaluasi ini
bermacam-macam, sebagai umpan balik bagi siswa dalam penyempurnaan penguasaan
suatu satuan pelajaran (evaluasi formatif), umpan balik bagi siswa pada akhir
suatu program atau semester (evaluasi sumatif). Juga dapat menjadi umpan balik
bag] guru dan pengembang kurikulum untuk penyempurnaan kurikulum. Evaluasi yang
mereka gunakan umumnya berbentuk tes obyektif. Sesuai dengan landasan pemikiran
mereka, bahwa model pembelajarannya menekankan sifat ilmiah, bentuk tes ini
dipandang yang paling cocok, dapat mengukur perilaku atau performansi.
Program pembelajaran teknologis
sangat menekankan efisiensi dan efektivitas. Program dikembangkan melalui
beberapa kegiatan uji coba dengan sampel-sampel dari suatu populasi yang
sesuai, direvisi beberapa kali sampai standar yang diharapkan dapat dicapai.
Dengan model pembelajaran ini tingkat penguasaan siswa dalam standar
konvensional jauh lebih tinggi dibandingkan dengan model-model lain. Apalagi
kalau digunakan program-program yang lebih bersturktur seperri pengajaran
berprogram, pengajaran modul atau pengajaran dengan bantuan video dan komputer,
yang dilengkapi dengan sistem umpan balik dan pembimbingan dari tutor yang
teratur dapat mempercepat dan meningkatkan penguasaan siswa.
Meskipun memiliki kelebihan-kelebihan,
kurikulum teknologis tidak terlepas dari beberapa keterbatasan atau kelemahan.
Model ini terbatas kemampuannya untuk mengajarkan bahan ajaran yang kompleks
atau membutuhkan penguasaan tingkat tinggi (analisis-sintetis, evaluasi,
pemecahan masalah dan kreativitas) juga bahan-bahan ajaran yang bersifat
afektif. Beberapa percobaan menunjukkan kemampuan siswa untuk mentransfer hasil
belajar cukup rendah. Pengajaran teknologis sukar untuk dapat melayani
bakat-bakat siswa belajar dengan metoda-metoda khusus. Metoda mengajar mereka
cenderung seragam. Keberhasilan belajar siswa juga sangat dipengaruhi oleh
sikap mereka, bila sikapnya positif maka siswa akan berhasil, tetapi bila
sikapnya negatif, tingkat penguasaannya pun relatif rendah. Masalah kebosanan
juga berpengaruh terhadap proses belajar.
Kepustakaan
Anderson, L.W. and Krathwohl, (ed). (2001). A Taxonomy
for Learning, Teaching and Assessing. New York: Addison Wesley Longman,
Inc.
Ausubel, D.P. and Robinson, F. G. (1969). School Learning. New York: Holt,
Rinehart and Winston,Inc
Beanne, J.A and Toepfer, G.F. and Alesi, Jr. S.J. (1986).
Curriculum Planning and Development. Boston:
Allyn and Bacon,Inc.
Beanne, James A (Ed.). (1995). Toward A Coherent Curriculum.
Alexandria, Virginia: ASCD.
Brady, Laurie. (1990). Curriculum Development. New York: Prentice Hall.
Diamond, R.M. (1991). Designing
and Improving Courses and Curricula in Higher Education. San Fransisco:
Jossey-Bass Publishers.
Fogarty, Robin. (1991). Integrate the Curricula. Palatine, Illinois: IRI/Skylight
Publishing, Inc.
Gardner,
Howard. (1993). Creating Minds. New
York: Basic Books.
Johnson, E.B. (2002). Contextual
Teaching and Learning. Thousand Oaks, California: Corwin Press, Inc.
Longstreet, W.S. and Shane, H.G. (1993). Curriculum for a New Millennium. Boston:
Allyin and Bacon, Inc.
Marsh, Colin J. (2006). Key Concepts for Understanding Curriculum. London: RoutledgeFalmer.
McNeil, J.D. (1985). Curriculum:
A Comprehensive Introduction. Boston: Little, Brown and Company. .
Miller, J.P and Seller, W. (1985). Curriculum: Perspectives and Practice. New York: Longman
Nunan, David. (1988). The
Learner Centered Curriculum. New York: Cambridge University Press.
Oliva, Peter E.
(1992). Developing the Curriculum. New York: Harper
Collins Publishers.
Parkay, Forrest W., Anctil Eric J. and Hass, Glen. (2006).
Curriculum
Planning: A Contemporary Approah. Boston:
Pearson.
Schubert, W.H. (1986). Curriculum: Perspective, Paradigm, and Possibility. New York: Macmillan Publishing Co.
Slattery, Patrick. (1995). Curriculum Development in the Postmodern Era. New York: Garland Publishing, Inc.
Sukmadinata, N.Sy, Ahman, Jami’at, A.N. (2009). Strategi Peningkatan Mutu Pendisdidikan
Sekolah Dasar, Bandung: Maestro
Sukmadinata, Nana Sy. (2004). Kurikulum dan Pembelajaran Kompeten.si. Bandung: Kesuma karya.
Sukmadinata, Nana Sy (2003). Landasan Psikologi Proses
Pendidikan. Bandung: Remaja Roosda Karya.
Sukmadinata, N Sy, Ahman, Jamiat, A.N. (2002). Pengendalian Mutu Pendidikan Sekolah
Menengah. Bandung: Kesuma karya.
Sukmadinata, Nana Sy (2001). Pengembangan Kurikulum: Teori dan
Praktek Bandung: Remaja Roosdakarya.
Wiles, John and Bondi, Joseph. (1993). Curriculum
Development: New York: Maxwell
Macmillan
International.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar